Liputan6.com, Jakarta - Banyaknya petugas pemilu yang meninggal dunia usai penyelenggaraan pemilu serentak. Tuntutan untuk mengautopsi jenazah para petugas pemilu disampaikan oleh puluhan ibu yang mengatasnamakan Gerakan Anti Pemilu Curang (GAPC). Mereka menggelar aksi dengan memukuli panci.
Namun, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menegaskan autopsi harus didasari fakta hukum. Sebab polisi bekerja berdasarkan suatu fakta hukum.
Advertisement
"Polri bekerja selalu harus berdasarkan suatu fakta hukum. Kalau tidak ada fakta hukumnya, dari pihak keluarga juga tidak merasa adanya satu hal yang mencurigakan, kejanggalan, apa yang mau diautopsi?," ujar Dedi di Gedung Mabes Polri, Jakarta, Jumat, 10 Mei 2019.
Ia menjelaskan bahwa autopsi bertujuan membuat sesuatu menjadi jelas ketika ditemukan indikasi atau terdapat fakta hukum, misalnya penganiayaan atau pembunuhan, sehingga memerlukan kajian yang komprehensif.
Polri dapat bertindak apabila landasan jelas, sedangkan selama fakta hukum tidak jelas maka autopsi tidak dapat dilakukan.
"Kalau misalnya fakta hukumnya juga masih belum jelas kami tidak akan bertindak, semua itu masuk dalam taraf penyelidikan, investigasi dulu," ujar Dedi Prasetyo.
Tuntutan Autopsi
Sebelumnya, GAPC menuntut Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar membentuk tim untuk mengautopsi jenazah petugas pemilu yang gugur.
"Kami menginginkan ada autopsi jenazah ya biar diketahui mereka itu meninggal kenapa, karena kalau kelelahan gak mungkin kan bisa sebanyak itu," kata perwakilan GAPC, Yulia, di depan jalan menuju Kantor KPU Jawa Barat, Jalan Laswi, Kota Bandung, Jumat (10/5/2019).
Hingga saat ini, kata dia, sekitar 570 petugas pemilu gugur, baik petugas KPPS, Bawaslu, maupun petugas keamanan. Selain itu, sekitar empat ribu orang petugas terbaring sakit.
"Ini bukan soal 01 atau 02, ini soal kemanusiaan, keprihatinan kita sebagai warga Indonesia atas kejadian Pemilu 2019 yang memakan korban dan begitu menyisakan duka dan air mata," kata dia.
Advertisement