Liputan6.com, Blora - Banyak umat muslim menghabiskan waktunya di masjid saat bulan Ramadan. Tak terkecuali masyarakat di Blora, Jawa Tengah.
Salah satu yang menjadi favorit adalah Masjid Baitunnur, masjid tertua di Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Terletak di jantung kota, tepatnya di barat Alun-alun Kota Blora, masjid ini dulunya dibangun Bupati Raden Tumenggung (R.T.) Djajeng Tirtonoto.
Ada beberapa rujukan yang menjadi referensi bahwa Masjid Baitunnur adalah masjid tertua pertama di Blora.
Baca Juga
Advertisement
"Wa awwalu bisai in hadzal babu yaumal isnain fi syahris sawwal wafii sanatil wawu waiddatu hijratun nabi sholallohu 'alaihi wasallam alfu wasittaani wakhomsa wasittuuna sanah."
Tulisan Arab itu dapat dijumpai dalam lembaran arsip keluarga R.M. Tejonoto Kusumaningrat yang diterjemahkan oleh anak cucunya yakni:
"Mulai berdirinya di hari Senin di tahun wawu Hijrah Nabi 1265, dalam tahun Jawa 1775 atau tahun Walanda 1846"
Tahun pendirian masjid ditandai dengan 'Sengkala Catur Ing Pandhita Sabdaning Ratu' yang artinya 1774.
Masjid Baitunnur, menurut catatan didirikan pertama kali oleh R.T. Djajeng Tirtonoto pada tahun 1774 yang saat itu memerintah Kabupaten Blora di bawah Kasunanan Surakarta dari tahun 1762 hingga tahun 1782.
Karena wilayah kekuasaannya semakin luas, R.T. Djajeng Tirtonoto kemudian membangun rumah kabupaten berikut alun-alunnya. Setelah selesai membangun rumah kabupaten dilanjutkan dengan membangun masjid.
Di masa pemerintahan R.T. Djajeng Tirtonoto, masjid telah memiliki bedug yang terbuat dari pohon jati utuh yang berlubang di tengahnya.
Masjid Baiturrahman
Masjid Baiturrahman terletak di Desa Ngadipurwo, Kecamatan Blora Kota. Masjid ini merupakan masjid tertua kedua di Blora setelah masjid agung Baitunnur.
Menurut catatan sejarah, berdirinya Masjid Baiturrahman hampir bersamaan dengan Masjid Agung Baitunnur.
Pada tahun 1774 kedua masjid itu sama-sama didirikan oleh R.T. Djajeng Tirtonoto. Bedanya, Masjid Baiturrahman awal mulanya adalah surau (langgar).
R.T. Djajeng Tirtonoto membuat surau di Ngadipurwo ini setelah memilih sebidang tanah di Desa Ngadipurwo--dulunya bernama Desa Grogol.
Di masa itu, Blora di bawah kekuasaan Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Susuhunan (ISKSS) Pakubuwono III Surakarta.
R.T. Djajeng Tirtonoto sengaja memilih tempat yang jauh dari alun-alun, sejauh 7 kilometer dari pendopo dan alun-alun, untuk dijadikan tempat tinggal ketika nantinya ia meletakkan jabatannya sebagai Bupati Blora, berikut suraunya.
Di tempat ini pula R.T. Djajeng Tirtonoto dimakamkan tahun 1785, yang dikemudian hari tempat ini menjadi 'Komplek Makam Keluarga Tirtonatan'.
Setelah 32 tahun berdirinya, bangunan surau mengalami kerusakan. Hingga Pada tahun 1814, oleh R.T. Prawirojoedo, surau itu direhab kembali dengan 'Sengkalan Sucining Panembah Salira Tunggal'.
Tepatnya pada tanggal 19 Agustus tahun 1894 masehi atau tanggal 17 bulan 2 (Safar) tahun 1312 Hijriah, di hari minggu legi, surau itu diubah menjadi masjid Baiturrahman oleh Kandjeng Raden Mas Tumenggung (K.R.M.T) Tjokronegoro III.
Meskipun diubah menjadi masjid, keaslian kayunya masih terjaga. Selain itu, ada juga mimbar khotib dan mustaka (kepala) masjid jawa yang bentuknya mirip mahkota raja jawa.
Mustaka di atas masjid ini melambangkan ma'rifat, yakni tingkat penyerahan diri kita kepada Allah secara berjenjang, setingkat demi setingkat, hingga sampai pada tingkat keyakinan yang kuat.
Kemudian, pohon jati untuk bedug ditemukan R.T. Djajeng Tirtonoto di suatu tempat yang sekarang dinamakan Desa Growong.
Pohon jati dipotong menjadi 3 bagian untuk membuat 3 bedug. Bedug pertama diperuntukkan Masjid Agung Surakarta yang diambil dari potongan pohon jati pada bagian pangkal.
Sementara potongan pada bagian tengah diperuntukkan untuk bedug Masjid Agung Baitunnur, dan pada bagian pucuk untuk bedug Masjid Baiturrahman.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement