Liputan6.com, Jakarta - Pemilu serentak 2019 yang baru pertama kali digelar menyisakan berbagai macam persoalan. Salah satunya banyak petugas pemilu yang meninggal dunia atau sakit usai pesta demokrasi 5 tahunan itu digelar.
Menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pada tanggal 4 Mei 2019 tercatat jumlah petugas pemilu yang meninggal sebanyak 440 orang dan yang sakit mencapai 3.788 orang.
Advertisement
Hal ini kemudian mendorong Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk menyelenggarakan riset lintas disiplin ilmu untuk membahas sakit dan meninggalnya para petugas Pemilu 2019.
Antara lain mengajak Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK), dan Fakultas Psikologi untuk mencari tahu penyebab jatuhnya korban di Pemilu 2019.
Dikutip dari litbang.kemendagri.go.id, dr. Abdul Gaffar Karim selaku Koordinator Kajian Pemilu Fisipol UGM menerangkan, pihaknya telah menggelar focus group discussion (FGD) di ruang sidang dekanat Fisipol UGM, Rabu, 8 Mei kemarin.
Sejumlah dugaan awal pun telah disimpulkan. Tim menduga tudingan kecurangan terhadap petugas Pemilu 2019 menjadi salah satu faktor petugas KPPS mengalami stres dan tekanan yang luar biasa selama bekerja.
Dugaan tersebut muncul setelah mereka menerjunkan sejumlah relawan ke lapangan sebagai petugas KPPS dan saksi Pemilu 2019 di beberapa tempat.
"Jadi, belum terjadi saja sudah dituding curang. Sehingga mereka bekerja dalam stres yang luar biasa besar," ujar Abdul Gaffar dalam konferensi pers, Kamis, 9 Mei 2019.
Karena itu, pihaknya bersama tim perlu melakukan riset lebih dalam untuk mencari tahu penyebab utama para petugas KPPS meninggal dunia dan jatuh sakit.
Saat ini mereka telah mengidentifikasi beberapa hal yang mungkin menjadi penyebab jatuhnya korban di Pemilu 2019.
Pertama, adanya celah masalah secara administratif. Seperti syarat keterangan sehat yang tidak dilandasi dengan pemeriksaan kesehatan yang memadai dan banyak petugas Pemilu 2019 yang lanjut usia.
Kedua, cara, ritme dan jam kerja di TPS yang mungkin terjadi masalah. Ketiga, adanya tekanan politik. Seperti tudingan kecurangan yang menjadi faktor meningkatkan kelelahan psikis para petugas Pemilu 2019.
"Karena itu kami akan mendalami tekanan secara politik, psikologis dan fisik," ujarnya.
Gaffar Karim pun juga menduga, tudingan kecurangan yang ditujukan kepada petugas Pemilu 2019 ini datang dari kedua tim sukses 01 maupun 02 dan tekanan besar dari para elit politik.
"Tudingan kecurangan dari berbagai pihak, terutama dari Pilpres. Terutama dari timses 01 dan 02 di lapangan sama-sama sering melontarkan itu. Kami belum bisa menyimpulkan itu tapi dugaan awal tekanan yang besar datang dari elit politik," katanya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Diterapkan pada Pilkada 2020
Lebih lanjut Gaffar menuturkan, hasil riset akan diterapkan pada Pilkada 2020 di DIY. Kontestasi pemilihan kepala daerah di DIY ini siap menjadi laboratorium riset untuk menerapkan kebijakan itu.
Sementara itu, Dekan Fisipol Erwan Agus Purwanto menegaskan, banyaknya petugas pemilu sebagai korban tidak bisa menjadi alasan untuk mendelegitimasi Pemilu. Sebab, kematian itu bukan hal yang direncanakan atau disengaja.
Dia memaparkan, hampir enam juta petugas pemilu tersebar di seluruh penjuru negeri. Pekerjaan dilakukan dalam satu kelompok sehingga penyelenggaraan Pemilu 2019 tetap bisa dilaksanakan tahap demi tahap dan tidak perlu dibatalkan
"Penghormatan kepada mereka harus tetap dihargai dengan tetap mengapresiasi hasil pemilu dan berusaha memahami yang terjadi jangan sampai peristiwa ini terulang lagi," ujar Erwan.
Advertisement
Pemeriksaan Kesehatan Jadi Syarat Utama
Dekan Kedokteran FKKMK UGM Ova Emilia mendukung dilakukannya kajian mendalam. Ia berpendapat perlu dibuat syarat pemeriksaan kesehatan, termasuk fisik dan mental.
"Bukan hanya di selembar kertas," tuturnya.
Ia tidak menampik kelelahan bisa menyebabkan orang meninggal, meskipun hanya sebagai pemicu. Pasalnya, tidak semua orang mengetahui jika dirinya terindikasi gejala penyakit tertentu.
Ova mencontohkan seorang dokter saja sering tidak sadar tubuhnya terindikasi gejala penyakit jantung, apalagi orang awam.
"Kalau orang yang terbiasa lelah dan memiliki ketahanan tubuh yang baik tidak masalah, tetapi jika dia ternyata membawa penyakit yang tidak disadari bisa menjadi pemicu," kata Ova.
Terkait perlu atau tidaknya autopsi, ia menilai tergantung dari kasusnya. Hal pertama yang dilakukan justru autopsi verbal, yakni mewawancarai orang yang berada di sekitar korban. Apabila penyebab langsung kematian dari autopsi verbal sudah jelas, maka tidak perlu dilanjutkan autopsi fisik.
"Namun, kalau ada data-data yang kontroversial maka kami bisa mengusulkan autopsi fisik," ucapnya.
Perlu Asuransi
Sementara itu, Dekan Psikologi UGM Faturochman menuturkan kajian akan fokus pada menganalisis beban kerja petugas pemilu.
"Kami tidak tahu apakah seperti ini sudah dirancang dulu beban kerjanya atau tidak," kata Fatur.
Indikasi awal yang menjadi hipotesisnya adalah beban kerja tidak sebanding dengan tenaga kerja yang tersedia.
Menurut Fatur, kerja temporer seperti petugas pemilu kebanyakan tidak dipikirkan soal kesejahteraan karena yang paling penting bisa terselenggara dengan baik.
Dia mengusulkan perlu ada asuransi sebagai bentuk dukungan supaya mereka lebih aman.
"Termasuk bebas dari tekanan dicurigai berbuat curang," ucapnya.
* Ikuti Hitung Cepat atau Quick Count Hasil Pilpres 2019 dan Pemilu 2019 di sini
Advertisement