Liputan6.com, Johannesburg - Rabu 12 Mei 2010, sekitar pukul 06.00, pesawat Afriqiyah Airways Penerbangan 771 mendekati Landasan 9 di Bandara Tripoli, Libya. Airbus A330-200 itu tiba dari Johannesburg, Afrika Selatan. Ada 104 orang di dalamnya, penumpang dan awak.
Diduga akibat kabut dan pasir yang menghalangi jarak pandang, pilot memutuskan untuk membatalkan upaya pendaratan atau go-around -- setidaknya itu yang disampaikan para penerbang ke petugas pengatur lalu lintas udara (ATC). Namun, terlambat.
Baca Juga
Advertisement
Berdasarkan kesaksian awak pesawat lain, kapal terbang Afriqiyah Airway Penerbangan 771 bergerak turun, menikung, dengan hidung mengarah ke bawah, menabrak menabrak ambang Landasan 09, lalu mengantam Bumi.
"Afriqiyah Airways mengumumkan bahwa penerbangan kami, 771 mengalami kecelakaan saat mendarat di Bandara Internasional Tripoli," demikian pengumuman pihak maskapai, seperti dikutip dari Fox News.
Para penyelidik Otoritas Penerbangan Sipil Libya mengungkapkan, berdasarkan komunikasi awak dengan menara ATC, tak ada laporan gangguan pada pesawat.
Sementara itu, berdasarkan hasil penyelidikan awal dan analisis perekam data penerbangan (FDR) maupun instrumen perekam kokpit (CVR), tak ada bukti adanya kerusakan teknis, kebakaran, atau ledakan sebelum pesawat menabrak landasan. Juga tak ada bukti kurangnya bahan bakar atau masalah terkait itu.
Seperti dikutip dari avherald.com, awak pesawat juga tidak melaporkan masalah teknis atau medis apa pun. Belakangan diketahui, bandara Tripoli tidak memiliki ILS (instrumen landing system), yang memudahkan pilot mendaratkan pesawat terutama di tengah visibilitas yang buruk.
Sejumlah stasiun televisi Libya menayangkan lokasi jatuhnya pesawat, sebuah tanah lapang di mana puing-puinh kapal terbang berserak, yang sebagian masih membara.
Puing terbesar adalah bagian ekor, yang menyandang logo Afriqiyah Airways yang berwarna cerah dan bertuliskan angka "9,9.99" -- yang merujuk ke tanggal berdirinya Uni Afrika.
Melihat kondisi puing-puing tersebut, mustahil ada yang selamat. Tapi, itulah yang terjadi. Seorang bocah lolos dari kecelakaan pesawat tragis itu.
Korban Selamat Satu-Satunya
Seorang bocah laki-laki berusia 9 tahun ditemukan berada di antara puing-puing pesawat Afriqiyah Airways. Ia masih terikat di kursinya. Kondisinya tak sadarkan diri, tapi masih bernapas.
Ia diduga terlempar sesaat sebelum pesawat menyentuh landasan dan pecah. Para dokter segera beraksi menyelamatkan nyawanya. Operasi darurat berlangsung selama empat jam.
Kakinya patah di beberapa titik. Pasca-operasi, ia tidak bisa menggerakkan bagian tubuhnya. Otaknya mungkin cedera akibat kecelakaan tersebut.
Saat dokter bertanya, dari mana ia berasal, bocah itu bergumam. "Holland, Holland."
Belakangan diketahui, nama bocah itu adalah Ruben van Assouw. Asalnya dari Belanda.
Kala itu, ia dalam perjalanan pulang dari wisata safari bersama orangtua dan saudaranya. Berberapa hari kemudian, Ruben baru menyadari ia sebatang kara. Seluruh keluarganya menjadi korban jiwa dalam kecelakaan tersebut.
Ruben van Assouw kemudian pulang ke Belanda. Bocah itu tumbuh besar di bawah perlindungan paman dan bibinya.
Pada 2011, sang bibi berkata, bocah itu ingin kembali ke Libya. "Ia ingin tahu, apa yang sesungguhnya terjadi. Juga ingin menunjukkan ke masyarakat Libya kondisinya yang membaik," kata dia seperti dikutip dari Daily Mail.
Ruben van Assouw bukan satu-satunya yang selamat dari kecelakaan pesawat yang merenggut banyak korban jiwa.
Setahun sebelumnya, pada 30 Juni 2009, pesawat Yemenia Airways celaka dalam perjalanan menuju Kepulauan Komoro (Comoros Islands). Burung besi itu jatuh dari langit dan tercebur ke Samudera Hindia.
Bahia Bakari menjadi satu-satunya korban selamat, dari 153 orang yang ada di dalamnya. Usianya kala itu baru 12 tahun.
Nyaris tidak bisa berenang dan tanpa rompi pelampung, gadis cilik itu berpegangan erat pada reruntuhan pesawat yang mengambang, selama berjam-jam, sampai ditemukan oleh tim SAR. Dia diterbangkan ke rumah sakit di Prancis untuk mendapat perawatan akibat luka bakar dan patah tulang.
Masih dalam kondisi syok, ia yakin telah jatuh sebelum pesawat yang ditumpanginya celaka, menekan dahinya terlalu keras ke jendela.
Bahia mendapat julukan 'the miracle girl' atau 'gadis ajaib' oleh media-media di dunia. Pada 2010 ia media merilis buku. Judulnya, I'm Bahia, the miracle girl.
Advertisement