Liputan6.com, Semarang - Penggusuran Tambakrejo oleh Pemerintah Kota Semarang menunjukkan tanda-tanda berakhir. Minggu, 12 Mei 2019 terjadi pertemuan antara warga Tambakrejo, Wali Kota Semarang, dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pemali Juana di ruang Lokakrida, Gedung Moch. Ichsan, Balaikota Semarang.
Dimulai sejak sekitar pukul 16.00, diikuti pula Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Ketua MUI Jawa Tengah K.H. Ahmad Darodji, Kepala BBWS Pemali Juana Rubhan Ruzziyanto, dan Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi membuka dialog dengan penjelasan kronologi peristiwa itu. Hendi menyebut sebagai kegiatan penertiban hunian liar dan bukan penggusuran. Kegiatan itu sudah disosialisasikan sejak awal 2018.
Baca Juga
Advertisement
"Ini bukan peristiwa yang tiba-tiba, sudah tersosialisasi hampir dua tahun lebih, tepatnya 20 Januari 2018 kita sudah sampaikan kepada masyarakat," kata Hendi.
Atas pilihan istilah penertiban hunian liar itu, tak ada reaksi berlebihan dari warga. Mereka tak mempersoalkan penggusuran Tambakrejo dengan istilah lain. Menurut Rohmadi alasan keengganan warga Kampung Tambakrejo untuk pindah adalah karena tanah urugan di area Kalimati sebagai tempat baru belum siap.
"Berpedoman pada kesepakatan bulan Desember, bahwa warga bersedia dipindahkan ke kali mati dan Pemerintah Kota Semarang serta BBWS juga sepakat untuk menguruk dan menyediakan lahan di Kalimati," kata Rohmadi.
Dijelaskan oleh Rohmadi, bahwa masyarakat justru mendorong BBWS agar segera menguruk. Warga Tambakrejo sendiri sudah menanti pengurukan itu agar bisa segera pindah.
"BBWS tidak mengantisipasi bahwa material pengurukan itu berupa lumpur, jadi memakan waktu memakan biaya dan sebagainya," kata Rohmadi.
Hendi kemudian menyebutkan bahwa molornya pengurukan dan penertiban itu sengaja dilakukan usai pemilu. Tujuannya untuk menghindari penumpang gelap yang bisa mempolitisir.
"Saya ditanya oleh Pak Dody (BBWS), saya bilang masih fase kampanye nanti banyak penumpangnya," kata Hendi.
Hendi juga mengaku sudah mendesak BBWS untuk segera menyelesaikan urugan. Namun ia mendapat laporan bahwa operator diancam warga dan peralatan dilempari warga, sehingga tidak berani jalan.
Akhirnya yang terjadi adalah penggusuran Tambakrejo yang diistilahkan dengan penertiban hunian liar.
Simak video kronologi penggusuran Tambakrejo berikut ini:
Kesepakatan Lama
Karena pembongkaran rumah warga sudah dilakukan, sementara urugan di wilayah Kalimati juga belum selesai, mereka sepakat untuk mencari jalan keluar. Warga meminta wilayah Kalimati yang sudah diurug agar segera dibangun barak.
"Untuk kebutuhan hunian sementara kami, untuk kenyamanan anak kita sekolah, atau aktifitas ke laut," kata Riyanto, warga lainnya.
Dengan adanya kesepakan tersebut, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara kemudian mengapresiasi adanya pertemuan yang dilakukan. Beka menyebut bahwa Komnas HAM akan ikut mengawasi pelaksanaan di lapangan.
"Karena sudah kesepakatan, kami meminta komitmen dari kedua belah pihak," kata Beka.
Sebenarnya kesepakatan ini bukanlah kesepakatan baru. Kesepakatan yang sama sudah dilakukan pada bulan Desember 2018. Namun karena daerah Kalimati belum diurug dan masih berupa genangan air, maka warga tidak segera membongkar bangunannya.
Atas hal itu, BBWS selaku pemilik proyek kemudian meminta Pemerintah Kota Semarang segera mengosongkan daerah tersebut. Satpol PP Kota Semarang kemudian langsung membongkar bangunan yang ada tanpa memberi ruang diskusi lebih lanjut.
Kasus penggusuran kampung Tambakrejo ini mirip dengan kasus penggusuran di kampung Kebonharjo. Pemerintah Kota Semarang kemudian memindahkan warga Kebonharjo ke rumah susun Kudu.
Dalam perkembangannya, warga Kebonharjo banyak yang diusir dari rumah susun Kudu atau ditolak. Selengkapnya bisa dibaca di tautan ini.
Advertisement