Rencana Pindah Ibu Kota, Pemerintah Pakai Lahan Negara

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas tengah menyelesaikan kajian lengkap mengenai rencana pemindahan ibu kota negara.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 13 Mei 2019, 14:34 WIB
Menteri PPN/Bappenas, Bambang Brodjonegoro memberikan keterangan terkait rencana pemindahan ibu kota negara di Jakarta, Selasa (30/4/2019). Pemerintahan Presiden Jokowi kembali membuka wacana pemindahan ibu kota negara karena kondisi lingkungan Jakarta yang semakin menurun. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas tengah menyelesaikan kajian lengkap mengenai rencana pemindahan ibu kota negara.

Dalam kajian itu, konsep pemindahannya tidak perlu pembebasan lahan. Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro mengatakan, salah satu syarat lokasi yang akan dijadikan ibu kota negara baru adalah memiliki lahan yang sangat luas dan dikuasai negara.

"Lahan yang kita pakai yang dikuasai pemerintah, jadi tidak ada pembebasan lahan. Kalau kita tidak lakukan seperti ini harga lahan akan naik. Jadi kita akan gunakan lahan yang langsung dikuasai pemerintah," kata Bambang di Kantor Staf Presiden, Senin (13/5/2019).

Untuk memindahkan ibu kota, pemerintah membutuhkan lahan kurang lebih 40 ribu hektar (Ha) secara keseluruhan kotanya. 2.000 Ha khusus wilayah pusat pemerintahan. Dengan lahan seluas itu, pada 2020-2021 pemerintah melalui Badan Pertanahan Nasional (BPN) mulai mengeksekusi dan menertibkan lahan yang akan digunakan.

Karena sebagian masih berstatus Haka Guna Usaha (HGU). Bambang juga menegaskan, kota baru yang akan menjadi ibu kota negara ini nantinya juga menjadi contoh pengembangan sebuah kota modern ke depan.

"Selama ini hampir tidak ada kota di Indonesia yang dirancang dan dibangun dari awal, kebanyakan besar dengan sendirinya dari kecil ke besar, jadi penataan kurang. Ini nanti menjadi kota percontohan dalam pengembangan sebuah kota ke depannya, mulau dari tata ruang hingga penataan lingkungannya," tutur Bambang.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


Ini Risiko Jika Ibu Kota Pindah

Sejumlah gedung tinggi yang berfungsi sebagai perkantoran dan hunian memenuhi sebagian kawasan ibu kota di kawasan Jakarta, Kamis (2/5/2019). The Skyscraper Center mencatat pertumbuhan gedung tinggi di ibu kota terus meningkat dengan jumlah saat ini mencapai 382 gedung. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (Jokowi) merencanakan pemindahan Ibu Kota Negara. Sejumlah lokasi di luar Jawa tengah ditinjau untuk memastikan kesiapannya.

Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bima Yudhistira memandang, sebelum merealisasikan pemindahan ibu kota, pemerintah dinilai perlu memperhatikan sejumlah risiko.

Pertama, dengan telah diketahuinya beberapa lokasi yang menjadi opsi Ibu Kota Negara nantinya, menjadikan lahan bagi para spekulan tanah. Ini nanti bisa menyebabkan biaya pembebasan lahan cukup tinggi.

"Ini pada akhirnya bisa terkait beban utang pemerintah yang semakin membengkak," kata dia kepada Liputan6.com, Senin, 13 Mei 2019.

Kedua, jika salah satu alasan pemerintah pemindahan ibu kota karena DKI Jakarta sudah terlalu macet, sebenarnya itu bukan solusi terbaik.

"Ini tidak menyelesaikan masalah kemacetan. Jumlah kendaraan dinas ynag berkurang tidak signifikan dibanding kendaraan pribadi dari swasta dan rumah tangga," tambahnya.

Resiko ketiga adalah mampu meningkatkan inflasi. Pada kenyataannya, dengan adanya arus urbanisasi sebagai dampak pemindahan ibu kota negara ini akan menimbulkan melonjaknya harga kebutuhan pokok di kota yang menjadi pilihan pemindahan ibu kota.

Dan risiko keempat, pemerintah dinilai harus membangun ekonomi masyarakat yang akan menjadi ibu kota baru sebelum nantinya dipindahkan.

"Ketimpangan di ibu kota baru makin melebar imbas pendatang, karena mereka lebih mampu secara ekonomi, dibanding dengan penduduk lokal yang miskin," pungkasnya.

 


Jokowi Tinjau 2 Lokasi Ibu Kota Baru

Ekspresi Presiden Joko Widodo (kiri) dan Wapres Jusuf Kalla saat memimpin rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (29/4/2019). Rapat dihadiri Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, Mendag Enggartiasto Lukita, Menko Polhukam Wiranto, dan Menhan Ryamizard Ryacudu. (Liputan6.com/HO/Radi)

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu telah melakukan peninjauan dua calon lokasi ibu kota baru, yakni yang terletak di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.

Lantas, mana lokasi yang paling tepat untuk dijadikan kantor pemerintahan baru?

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono yang juga turut serta dalam rombongan mengabarkan, pemerintah telah mengantongi beberapa penilaian. "Semua ada plus minusnya," ungkapnya di Gedung Kementerian PUPR, Jakarta, pada Jumat 10 Mei 2019.

Untuk di Kalimantan Timur, ia mengatakan, ada beberapa penilaian positif yang didapat, antara lain keberadaan kota besar seperti Balikpapan dan Samarinda yang jarak tempuhnya tidak jauh dari kawasan laut. 

"Kemudian daratannya kondisi topografi perbukitan. Prasarana jalan sudah ada jalan tol, sehingga kesiapan untuk kehidupan perkotaan positif di situ. Tapi di bawahnya ada lahan batu bara, itu harus diselidiki dulu," sambungnya.

Sedangkan di Kalimantan tengah, ia melanjutkan, faktor lingkungan yang masih alami dan belum banyak terjamah menjadi nilai plus tersendiri. Meskipun menyisakan pekerjaan berupa pembangunan infrastruktur yang harus banyak dimulai.

"Di Kalimantan Tengah, di gunung mas, daerahnya remote. Tapi bagus. Hutannya masih asli. Jalan nasionalnya sudah kita bangun, bagus. Tapi dia jauh dari kota, sehingga perlu prasarana dasar yang lebih dari Kalimantan Timur," terangnya.

Berdasarkan hasil peninjauan itu, Menteri Basuki pun menyatakan, pemerintah juga masih harus mempertimbangkan faktor lain seperti aspek sosial budaya masyarakat setempat untuk menentukan lokasi ibu kota baru.

"Sosial budaya di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur juga mungkin beda. Nah ini harus dikaji dulu oleh Bappenas. Menerima 1,5 juta orang baru kan enggak gampang. Itu harus dipelajari," pungkasnya.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya