Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus mengalami tekanan pada perdagangan Senin ini. Bahkan rupiah hampir menyentuh angka 14.500 per dolar AS.
Mengutip Bloomberg, Senin (13/5/2019), di awal perdagangan rupiah dibuka di angka 14.335 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.326 per dolar AS.
Menuju siang, rupiah terus mengalami tekanan dan pada pukul 15.00 WIB, rupiah menyentuh level 14.440 per dolar AS. Namun jika dihitung dari awal tahun, rupiah masih menguat 0,29 persen.
Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih mengatakan, pelemahan rupiah terjadi pasca rilis data neraca transaksi berjalan (current account) yang dirilis oleh Bank Indonesia akhir pekan lalu.
Baca Juga
Advertisement
"Neraca transaksi berjalan tercatat defisit sebesar 2,6 persen dari PDB, membaik dibandingkan Q4-2018 yang tercatat defisit 3,59 persen dari PDB tetapi relatif masih tinggi dibandingkan Q1-2018 yang sebesar defisit 2,01 persen dari PDB," ujar Lana seperti dikutip dari Antara.
Dari eksternal, inflasi Amerika Serikat (AS) pada April 2019 tercatat 2 persen (tahun ke tahun/yoy), naik dari 1,9 persen (yoy) pada Maret 2019, tetapi masih dibawah proyeksi 2,1 persen (yoy).
Angka inflasi April tersebut merupakan yang tertinggi sejak November 2018. Kenaikan inflasi ini karena naiknya harga minyak mentah.
"Inflasi AS ini masih sangat aman dan belum menjadi kekawatiran naiknya suku bunga The Fed, yang justru berpotensi turun diantaranya karena tekanan permintaan Presiden Trump," kata Lana.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Kebutuhan Dolar AS Naik
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) menyatakan pelemahan rupiah yang terjadi dalam beberapa hari lebih disebabkan oleh faktor internal. Salah satunya yaitu meningkatnya kebutuhan dolar Amerika Serikat (AS) di dalam negeri.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Onny Widjanarko mengatakan, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, pada kuartal II kebutuhan akan dolar memang cenderung mengalami peningkatan.
Hal tersebut karena pada kuartal ini perusahaan melakukan pembagian deviden serta membayar utang luar negeri yang membutuhkan dolar dalam jumlah besar.
BACA JUGA
"April, Mei, Juni ini memang memasuki pembagian dividen multinasional company, pembayaran bunga dan sebagainya," ujar dia di Kantor BI, Jakarta, Kamis (2/5/2019).
Namun, lanjut dia, faktor eksternal juga turut mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, yaitu adanya kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global. "Sentimen risk off memicu pelemahan indeks saham global diikuti penguatan tajam nilai tukar USD (DXY) naik ke level tertinggi sejak Mei 2017,” ungkap dia.
Meski demikian, Onny memastikan BI tetap akan memantau pergerakan nilai tukar ini. Bank sentral juga tetap berada di pasar untuk menjaga rupiah tetap stabil.
"Tapi iya kami tetap berada di pasar," tandas dia.
Advertisement