21 Tahun Berlalu, Kisah Pilu Masih Selimuti Korban Tragedi Mei 1998

Mal Klender dulunya bernama Mal Yogya diduga dibakar secara sengaja saat tragedi Mei 1998 hingga memakan korban sekitar 200 orang.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 14 Mei 2019, 06:30 WIB
Aktivis 98 melakukan ziarah ke makam pejuang reformasi di TPU Tanah Kusir, Jakarta, Minggu (12/5/2019). Kegiatan itu untuk mengenang kembali empat mahasiswa Universitas Trisakti yang meninggal karena tertembak saat melakukan aksi memperjuangkan reformasi pada Mei 1998. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Tragedi Mei 1998 sudah 21 tahun berlalu. Namun kisahnya, meninggalkan pilu bagi keluarga yang ditinggalkan untuk selama-lamanya.

Salah satu tempat yang menjadi saksi bisu kerusuhan Mei 1998 itu adalah Mal Klender di kawasan Klender, Jakarta Timur.

Mal Klender dulunya bernama Mal Yogya diduga dibakar secara sengaja hingga memakan korban sekitar 200 orang dan kini berganti nama menjadi Citra Plaza.

Untuk mengenang para korban, pihak keluarga pun melakukan upacara tabur bunga mengitari Mal Klender pada Senin, 13 Mei 2019.

Usai tabur bunga, para keluarga korban pergi ziarah ke TPU Pondok Rangon, tempat korban dimakamkan secara massal. Sebuah tugu didirikan di sana untuk mengenang ratusan korban.

Tragedi kerusuhan Mei 1998 itu sungguh menyisakan cerita bagi keluarga yang hingga saat ini masih menuntut kejelasan dari kejadian kala itu.

Berikut kisah pilu keluarga korban kerusuhan Mei 1998 dihimpun Liputan6.com:

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


1. Stevanus Izin Pergi Bermain dan Tak Kunjung Kembali

Keluarga korban kerusuhan Mei 1998 menabur bunga di sekeliling Mal Klender. (Merdeka.com/Hari Ariyanti)

Keluarga korban kerusuhan Mei 1998 menggelar prosesi tabur bunga di Mal Klender, Jakarta Timur, Senin, 13 Mei 2019.

Mal Klender yang dulunya bernama Mal Yogya diduga dibakar secara sengaja hingga memakan korban sekitar 200 orang di bangunan yang kini berganti nama jadi Citra Plaza itu.

Sebelum tabur bunga, puluhan keluarga korban mengheningkan cipta untuk mengenang dan mendoakan orang terkasihnya. Kemudian mereka berkeliling di area mal sembari menabur bunga.

Salah satu keluarga korban yang melakukan tabur bunga adalah Maria Sanu. Anaknya, Stevanus Sanu tewas dalam insiden kebakaran pada Mei 1998 saat berusia 16 tahun. Maria datang berpakaian hitam bermotif tenun dan membawa foto hitam putih Stevanus Sanu.

Maria menceritakan, saat kerusuhan terjadi, Stevanus masih duduk di bangku kelas dua SMP. Saat itu Stevanus izin pergi bermain, namun tak pernah kembali.

Prosesi ini, kata Maria, telah dilakukan secara rutin selama 21 tahun. Setelah tabur bunga, dilakukan ziarah ke TPU Pondok Rangon tempat para korban kerusuhan Mei 1998 dimakamkan secara massal.

Di TPU ini, kata Maria, ada sebuah tugu yang dibangun Pemprov DKI Jakarta di masa pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Tugu yang diperuntukkan untuk mengenang para korban.

"Bersyukur (Ahok) mau peduli dengan keluarga korban. Sekarang rapi pemakaman massal Pondok Rangon ada 113 makam," ujar Maria.

Sampai saat ini, keluarga korban masih menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas tragedi tersebut. Maria berharap kasus kerusuhan 1998 segera diselesaikan.

"Pemerintah harus bertanggung jawab kepada keluarga korban, karena keluarga korban ini menanti agar kasus 98 diselesaikan," pungkasnya.

 


2. Agung Terjebak dalam Mal saat Sedang Bermain

Keluarga korban kerusuhan Mei 1998 menabur bunga di sekeliling Mal Klender. (Merdeka.com/Hari Ariyanti)

Sejak pagi, dengan kostum serba hitam, Murni mendatangi Citra Plaza Klender, Jakarta Timur. Ia juga mengikuti upacara tabur bunga memperingati tragedi Mei 1998.

Selain Stevanus, Agung Tripurnawan juga menjadi korban. Agung adalah anak ketiga dari Murni yang masih duduk di kelas tiga SMP. Saat tragedi Mei 1998 terjadi, Agung minta izin pergi meminjam buku.

"Dia pamitan pinjam buku. Enggak tahu kalau dia ke sini (Mal Klender). Saya dikasih tahu, 'Mak, saya mau pinjam buku sebentar.' Saya lagi mandi waktu itu," tutur Murni.

Sore itu, Murni melihat asap mengepul karena lokasi mal tak terlalu jauh dari rumahnya. Asapnya membumbung tinggi ke langit.

Namun, dia tak mengira anaknya ikut terjebak dalam mal yang terbakar tersebut. Kabar mengejutkan itu didapatnya dari teman Agung. Remaja tersebut mengatakan Agung terjebak dalam mal.

"Temannya bilang terjebak, lagi main-mainan di atas," kenang Murni tentang tragedi Mei 1998 sembari berurai air mata.

Mengenang buah hatinya, Agung merupakan anak yang sangat sayang dan pengertian terhadap empat adiknya. Sebelum hari nahas itu, Agung berkelakar esok hari banyak kawan dan gurunya yang akan datang ke rumahnya.

Terlebih, 14 Mei itu bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Dia pun meminta Murni menyiapkan air minum untuk suguhan.

Hari ini, Senin, 13 Mei 2019, Murni berada di Mal Klender bersama sejumlah keluarga korban kerusuhan Mei 1998 untuk melakukan tabur bunga.

Dia terus memanjatkan doa untuk anaknya dan para korban lainnya. Sesekali dia mengusap mata, tak kuasa menahan tangis saat mengenang 21 tahun kepergian anaknya.

"Saya enggak niat pengin nangis, enggak," ujar Murni berusaha menahan tangisnya.

Pedih yang tak tertahan membuat Murni berharap, tragedi yang menimpa anaknya dan para korban lain Tragedi 1998 tak akan menimpa keluarga lain. Dia berharap, tak ada lagi tragedi serupa yang terjadi di negeri ini.

"Jangan sampai terulang kembali," ucap Murni.

 


3. Menunggu Keadilan Datang

Aktivis 98 melakukan tabur bunga ke makam pejuang reformasi di Tanah Kusir, Jakarta, Minggu (12/5/2019). Kegiatan itu untuk mengenang kembali empat mahasiswa Universitas Trisakti yang meninggal karena tertembak saat melakukan aksi memperjuangkan reformasi pada Mei 1998. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Sri Hidayah dari Ikatan Keluarga Korban Orang Hilang (IKOHI) menyampaikan sampai saat ini para keluarga korban masih menuntut keadilan dari negara. Pihaknya juga bersyukur bahwa para keluarga korban masih solid dan bersemangat menuntut keadilan.

"Rezim terus berganti tapi keadilan belum ada. Dan kita tetap bersemangat dan selalu bersemangat menyelesaikan kasus ini," tegasnya.

Perwakilan Amnesty International, Puri Kencana Putri menyampaikan, para keluarga korban saat ini masih menuntut keadilan dan ingin mengetahui siapa yang bertanggung jawab dalam tragedi Mei 1998 yang membuat keluarga mereka hilang dan tewas.

Negara, lanjutnya, harus mengungkapkan kebenaran yang harus disampaikan kepada publik terkait tragedi berdarah yang menewaskan ribuan orang tersebut, di samping kasus pemerkosaan.

"Ungkapan kebenaran bisa diberikan negara versi resmi dan harus disampaikan ke publik, tak hanya kepada keluarga korban, atas apa yang terjadi beberapa dekade yang lampau," jelasnya.

Puri menyampaikan, presiden terpilih yang akan diumumkan pada 22 Mei mendatang harus memasukkan kasus pelanggaran HAM ini ke dalam agenda pemerintah yang harus dituntaskan.

"Harus ada agenda pemerintah untuk mengungkapkan dan menyelesaikan kasus-kasus masa lampau. Dan jadi kewajiban negara untuk beri jaminan kepastian hukum," jelasnya.

"Peristiwa ini harus tetap kita ingat sebagai memori kelam dan jangan sampai terjadi lagi di generasi-generasi berikutnya," pungkasnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya