Protes Peraturan Wajib Jilbab di Universitas Teheran Berujung Ricuh

Bentrokan pecah antara mahasiswa dan aparat di Universitas Teheran pada Senin 13 Mei 2019 dalam demonstrasi menentang peraturan wajib mengenakan penutup kepala.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 14 Mei 2019, 19:19 WIB
(Ilustrasi)Suporter dari Iran saat mendukung timnya beralaga pada ajang bola voli di Stadion Maracanazinho, Rio de Janeiro, (13/8/2016). (AFP/Philippe Lopez)

Liputan6.com, Teheran - Bentrokan pecah di Universitas Teheran, Iran pada Senin 13 Mei 2019 dalam demonstrasi menentang peraturan wajib mengenakan penutup kepala.

"Sejumlah mahasiswa berkumpul ... mengklaim bahwa polisi moralitas dan pasukan keamanan telah memasuki universitas" untuk memperingatkan siswa yang tidak mematuhi undang-undang wajib hijab, kantor berita semi-resmi IranISNA melaporkan, seperti dikutip dari The Strait Times, Selasa (14/5/2019).

Agensi melaporkan bahwa seorang wakil presiden yang bertanggung jawab atas urusan budaya di universitas telah berusaha untuk berbicara kepada para mahasiswa tetapi "secara fisik dicegah" dari melakukannya.

Wakil presiden yang bernama Majid Sarsangi, membantah ada polisi atau pasukan keamanan yang memasuki halaman universitas. Bentrokan justru terjadi antara sesama mahasiswa yang berbeda pandangan.

Namun dia mengatakan, "dua kelompok mahasiswa dengan pemikiran dan cita-cita yang berlawanan sayangnya saling berselisih, sementara kami berusaha menenangkan para siswa yang marah."

ISNA menerbitkan bagian dari pernyataan yang dikeluarkan oleh para siswa yang memprotes metode penegakan hukum yang mengatakan bahwa para siswa perempuan menghadapi "ujian berat ketika memasuki universitas".

"Mewajibkan pemakaian satu jenis pakaian pada siswa ... adalah pelanggaran langsung terhadap hak asasi mereka," tambahnya.

Kantor berita Iran, Fars, yang dekat dengan kaum ultra-konservatif, mengatakan bentrokan pecah antara dua kubu mahasiswa yang mendukung dan menentang peraturan wajib hijab.

Bentrokan pecah ketika para demonstran mulai berbaris di lapangan dan meneriakkan apa yang disebut oleh Fars: "slogan-slogan yang melanggar hukum".

Mereka "meneriakkan slogan-slogan menentang hukum pakaian dan ketaatan berhjab," Ali Tolouie, kepala Organisasi Basij Mahasiswa (sejenis Menwa) Universitas Teheran, mengatakan kepada Fars, menambahkan pernyataan para pengunjuk rasa "menunjukkan mereka menentang Islam itu sendiri".

Tidak ada laporan korban atau penangkapan.

Simak Video Pilihan Berikut:


Penutup Kepala Jadi Busana Wajib

FIFA bakal membantu keinginan suporter wanita asal Iran agar bisa menyaksikan pertandingan sepak bola di dalam stadion. (AFP/Atta Kenare)

Menyusul revolusi Islam Iran 1979, peraturan wajib menggunakan jilbab atau penutup kepala bagi perempuan diberlakukan di seluruh Iran. Para perempuan juga diwajibkan berpakaian sopan dan menutupi diri mereka dengan kerudung.

Setiap tahun, dengan munculnya bulan Ramahan, pihak berwenang secara ketat menegakkan aturan berpakaian Islami wajib.

Ada sejumlah protes, sebagian besar oleh perempuan selama bertahun-tahun, dengan protes besar terakhir adalah "Dokhtaran-e enghelab", atau Girls of Revolution Street.

Protes khusus itu dimulai setelah seorang perempuan Iran berdiri di atas sebuah kotak pilar di Enghelab Avenue pada Desember 2017 tanpa gamis panjang wajib dan mengangkat kerudung putih di atas tongkat, sebuah tindakan yang ditiru oleh perempuann di kota-kota yang berbeda. Namun, kejadian itu berujung pada penangkapan yang terjadi kemudian.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya