Liputan6.com, Jakarta Takjil adalah salah satu kata paling produktif yang dipakai saban Ramadan di negara ini. Bahasa Indonesia menyerap takjil dari bahasa Arab. Kata dasarnya ‘ajjala (verba transitif), yang artinya ‘menyegerakan’. Kata turunannya ta’jiil (nomina abstrak) berarti ‘penyegeraan (dalam hal berbuka puasa)’.
Dalam bahasa Indonesia, takjil dimaknai sebagai verba ‘menyegerakan (dalam hal berbuka puasa)’ dan nomina konkret ‘makanan untuk berbuka puasa’, seperti yang tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) V (Badan Bahasa, 2016).
Advertisement
Arti takjil sebagai ‘makanan’ tersebut dipersoalkan tiap Ramadan oleh orang-orang yang mempelajari bahasa Arab. Mereka berpandangan bahwa arti takjil dalam bahasa Indonesia harus dikembalikan ke arti aslinya. Mereka juga menyalahkan orang yang menggunakan takjil dengan arti ‘makanan’. Bagi mereka, hal itu merupakan salah kaprah yang perlu diluruskan. Bagaimana seharusnya masyarakat Indonesia memaknai takjil? Benarkah kata itu harus dipakai sesuai dengan artinya dalam bahasa Arab?
Awalnya KBBI Edisi Kesatu (Balai Pustaka, 1988)—agaknya kamus pertama yang memuat entri takjil—menyerap takjil dengan makna ‘menyegerakan berbuka puasa’ sebagai istilah dalam bidang Islam. Karena di Indonesia takjil sering dipakai dengan makna ‘makanan’, baik oleh masyarakat pada umumnya maupun oleh media massa, kamus pun menambah makna takjil. KBBI IV merupakan kamus pertama yang merekam makna ini. Sebelumnya, KBBI hanya memuat entri takjil dengan kelas kata verba.
Kamus lain yang mencatat makna takjil sebagai ‘makanan untuk berbuka puasa’ adalah Loan-Words in Indonesian and Malay (Obor, 2008), yakni ‘food such as dates used to break the fast/makanan seperti kurma yang digunakan untuk berbuka puasa’. Kamus ini juga mencatat takjil dengan arti ‘hastening/menyegerakan’.
Jika dibandingkan pemakaian kata takjil di Indonesia dengan makna sebagai ‘menyegerakan berbuka puasa’ dan makna sebagai ‘makanan untuk berbuka puasa’, makna makna yang terakhir inilah yang dikenal secara luas dan sering dipakai oleh penutur bahasa Indonesia. Makna yang pertama itu hampir tak terdengar digunakan oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Penilaian ini hanya amatan saya alias bukan penilaian berdasarkan survei atau penelitian. Saya yakin pembaca artikel ini juga merasakan hal yang sama.
Saksikan video menarik di bawah ini:
Makna yang berubah
Mengapa masyarakat Indonesia cenderung memaknai takjil sebagai ‘makanan’? Diperlukan penelitian untuk menjawab pertanyaan tersebut. Padahal, dalam bahasa Indonesia ada perbukaan. Setidaknya ada empat kamus yang mencatat kata ini: Kamus Umum Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1952) susunan W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Moderen Bahasa Indonesia (Grafica, tanpa tahun—diperkirakan sekitar 1950-an) susunan M. Zain, KBBI Edisi Kesatu, dan Kamus Umum Bahasa Indonesia (Pustaka Sinar Harapan, 1994) susunan Badudu-Zain.
Dalam kamus Poerwadarminta perbukaan bermakna ‘(1) hal berbuka (puasa); (2) makanan dan sebagainya untuk berbuka puasa’. Dalam kamus M. Zain, ada entri perbukaan puasa dengan definisi ‘minuman atau kue2 atau asam2an untuk membuka puasa dan untuk membukakan napsu makan’. Dalam KBBI Edisi Kesatu, kata perbukaan berarti ‘makanan yang disediakan untuk berbuka puasa (seperti kue, kurma, atau kolak)’. Dalam kamus Badudu-Zain, perbukaan berarti ‘makanan dan minuman untuk berbuka puasa’. Dalam bahasa percakapan sehari-hari, perbukaan sering disebut dengan bukaan.
Kata perbukaan juga terdapat dalam Kamus Dewan Edisi Baru (Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia, 1991). Dalam kamus itu, perbukaan berarti ‘makanan dan minuman yang disajikan untuk berbuka puasa’. Konon kata itu jarang dipakai dalam percakapan di negeri jiran tersebut karena dianggap terlalu baku. Orang di sana memakai kata juadah dalam obrolan sehari-hari. Juadah tidak bermakna spesifik sebagai ‘makanan untuk berbuka puasa’, tetapi hanya bermakna ‘makanan’, yang dalam keseharian dipakai untuk menyebut kudapan. Karena itu, ketika dipakai, kata tersebut didampingi oleh kata puasa: orang Malaysia biasa menyebut juadah puasa. Namun, yang jelas, hingga saat ini kata takjil tidak dipakai di sana.
Advertisement
Takjil dalam bahasa daerah
Kata dasar perbukaan adalah buka. Kata buka/perbukaan ini diserap oleh berbagai bahasa daerah sesuai dengan penyerapan masing-masing, antara lain, pabukoan (bahasa Minang), pappabuka (bahasa Bugis), appabuka (bahasa Makassar), pebukoan (bahasa Lampung), bhukaan (bahasa Madura), dan parbuko (bahasa Mandailing). Saat ini pemakaian kata-kata tersebut mungkin bersaing dengan kata takjil (nomina konkret) di daerah masing-masing, sebagaimana lazimnya kata bahasa asing masuk ke dalam bahasa daerah.
Meskipun terdapat kata perbukaan/bukaan dalam bahasa Indonesia/Melayu, pemakaiannya tidak seluas penggunaan kata takjil ditambah hilangnya kata perbukaan dalam KBBI. Berdasarkan penelusuran, KBBI Edisi Kedua (Balai Pustaka, 1991) hingga KBBI V (2016) tidak memuat kata tersebut. Mayoritas masyarakat Indonesia memilih takjil untuk mewakili pikiran/maksudnya akan makna ‘makanan untuk berbuka puasa’.
Arti kata takjil telah berkembang di Indonesia. Pergeseran maupun perkembangan makna kata serapan asing dalam bahasa sasaran merupakan hal yang lumrah. Jadi, penutur bahasa Indonesia tidak bisa disalahkan mengartikan takjil sebagai ‘makanan’. Masyarakat ingin memaknainya begitu dan tidak seorang pun yang bisa melarangnya. Bahasa adalah kesepakatan dan masyarakat Indonesia bersepakat memakai takjil dengan arti ‘makanan’. Lagi pula, makna kata pinjaman (serapan) terserah peminjamnya. Kadang-kadang peminjam hanya meminjam bentuknya tanpa meminjam maknanya, dan kadang-kadang meminjam bentuk sekaligus artinya.
*Holy Adib, penulis adalah pengamat bahasa. Kumpulan tulisannya soal bahasa segera terbit tahun 2019 oleh penerbit basabasi.