Ada Sampah Ilegal, Pemerintah Evaluasi Importir Plastik

Di Surabaya, banyak sampah plastik masuk secara ilegal, dengan membonceng impor limbah non B3 kertas.

oleh Liputan6.com diperbarui 15 Mei 2019, 20:33 WIB
Ilustrasi sampah plastik. (Foto: pexels.com)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan menggelar rapat koordinasi terkait pengendalian impor sampah plastik di kantornya, Jakarta. Rapat kali ini dihadiri sejumlah perwakilan Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Hingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Di temui usai rapat, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (PSLB3) KLHK, Rosa Vivien Ratnawati menjelaskan rapat kali ini digelar menyusul temuan limbah plastik dalam paket impor kertas bekas dari luar negeri yang ditemukan di Surabaya. Kondisi ini menjadi perhatian pemerintah dalam memperketat dan untuk mendalami kebijakan dari ketentuan impor limbah plastik.

"Jadi kalau impor limbah plastik sudah jelas bahwa peraturan kita itu sudah ketat untuk memperbolehkan impor limbah non B3 limbah plastik masuk ke Indonesia. Tapi impor itu harus bentuk biji plastik, homogen sudah bersih dan itu nanti langsung jadi produk jadi tidak dijual di dalam negeri yang limbah diimpor tadi tapi langsung produk jadi, dan konten lokal harus capai 50 persen, jadi dari sana harus 50 persen dan tidak boleh berasal bercampur dari limbah B3," jelasnya, Rabu (15/5/2019).
 
Dia mengungkapkan jika di Surabaya, banyak sampah plastik masuk secara ilegal, dengan membonceng impor limbah non B3 kertas.
 
"Ternyata 30 persen (itu sampah plastik) katanya dari temuan di lapangan Jadi harus dievaluasi dari surveyor-nya. Memang garda terdepan di surveyor," sambungnya.
 
Vivien menegaskan terkait impor sampah sendiri telah dilarang dalam Undang Undang
Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Impor sampah plastik untuk industri daur ulang sesuai UU itu harus dalam kondisi bersih, siap diolah, dan tanpa residu. 
 
 
Reporter: Dwi Aditya Putra
 
Sumber: Merdeka.com

Masuk Konvensi Basel

Ilustraasi foto Liputan6
Menurutnya limbah plastik sebelumnya sudah masuk dalam Konvensi Basel. Namun limbah plastik masuk dalam Annex IX yang dalam pengaturannya belum menyebutkan jenis limbah plastik yang bisa didaur ulang dan yang tak bisa didaur ulang.
 
Kemudian dalam amandemen Konvensi Basel yang diadopsi dalam sidang 29 April – 10 Mei 2019, limbah plastik mulai ditertibkan dengan lebih detail dalam Annex II, Annex VIII, dan Anex IX.
 
Di mana, Annex II meliputi limbah plastik yang tercampur kayu, kain, dan lain-lain yang dilarang masuk ke negara Indonesia karena berkategori sampah yang dilarang dalam UU 18 tahun 2008.
 
"Ada perubahan di Annex II, VIII dan IX, Annex II terkait dengan tercampur sampah tidak boleh. Tapi itu kita udah atur di Undang-Undang Nomor 18 kan memang itu tidak boleh," jelas dia.
 
Kemudian, untuk Annex VIII merupakan limbah plastik yang terkontaminasi limbah bahan beracun berbahaya (B3) atau tercampur dengan limbah B3.
"Annex VIII tercampur limbah B3 itu juga tidak boleh, itu sudah jelas kita atur dalam PP No 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun tidak boleh masuk Indonesia,” kata Rosa Vivien.
 
Selanjutnya, Annex IX yaitu limbah plastik yang bisa didaur ulang dan dibuat produk tertentu. Proses ekspor-impor limbah plastik dalam daftar itu tidak membutuhkan notifikasi. Sehingga dalam regulasi nasional Indonesia telah diatur namun lemah dalam pelaksanaan.
 
"Annex IX bisa di recycle amandeman itu ada yang bisa di-recycle dan tidak butuh notifikasi untuk impornya. ini berjalan dengan Undang-Undang kita," imbuhnya.
 
Selain itu, Vivien juga mendesak Kementerian Perdaagangan untuk merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2016. Di mana aturan tersebut secara keseluruhan mengatur tentang Tata Cara Importasi Limbah Non B3.
 
"Kemudian perintahnya Pertauran Menteri Perdagangan Nomor 31 harus segera direvisi," imbuhnya.
 
 
 

Respons Kemendag

Menanggapi itu, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan (Kemendag), Oke Nurwan mengatakan untuk melakukan revisi permendag tersebut tentu saja perlu ada kajian bersama lebih lanjut. Sebab, perlu ada definisi jelas antara limbah non B3 plastik dengan sampah.
 
"Kita harus duduk bersama yang mana sampah yang mana limbah plastik. Tapi yang penting kalau sampah itu arahan Pak Menteri (Luhut) selama itu homogen plastik tidak masalah tapi kalau di situ ada kertas itu ada golongan sampah," katanya.
 
Dia menyebut Permendag yang berlaku saat ini juga sudah mengacu pada internasional dan tidak ada masalah. Namun dalam implementasinya tetap perlu petunjuk teknis kejelasan dalam rangka realisasinya.
 
"Petunjuk teknis nanti kita bicarakan apakah itu bisa turunan atau revisi Permendagnya bagaimana definisikan sampah dan limbah non B3-nya. kan ini ketentuanya limbah non B3 bukan sampah," tandasnya.
 
Diberikatakan sebelumnya, isu penyelundupan sampah plastik ini disoroti oleh Ecological Observations and Wetlands Conservation (Ecoton). Sampah plastik Australia disebut diselundupkan lewat impor kertas bekas. Kertas bekas ini diimpor dalam rangka kegiatan industri di Indonesia. 
 
Ecoton menyebut impor kertas bekas dari Australia ke Indonesia mencapai 52 ribu ton, tapi 30 persen dari jumlah itu ternyata sampah plastik. Sampah itu mencemari lingkungan Kali Brantas, Jawa Timur. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya