Empat Fintech Peroleh Izin Usaha dari OJK

Ini menandakan kepercayaan regulator terhadap kematangan penyelenggara fintech peer-to-peer (P2P) lending

oleh Liputan6.com diperbarui 16 Mei 2019, 12:05 WIB
Ilustrasi Fintech. Dok: edgeverve.com

Liputan6.com, Jakarta - Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mengapresiasi keempat anggotanya yang mendapatkan izin usaha sebagai penyelenggara fintech lending dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Terbitnya izin usaha keempat anggota AFPI ini menandakan kepercayaan regulator terhadap kematangan penyelenggara fintech peer-to-peer (P2P) lending dalam menjalankan usahanya.

Adapun keempat P2P lending yang telah mendapatkan izin tersebut adalah PT Investree Radhika Jaya (Investree), PT Amartha Mikro Fintek (Amartha), PT Indo Fint Tek (Dompet Kilat), dan PT Creative Mobile Adventure (Kimo). Keempatnya resmi mendapat izin usaha pada 13 Mei 2019.

"Berita baik bagi industri kami yang baru ini. Pihak OJK memberikan kepercayaan kepada industri ini melalui pemberian izin usaha pinjam meminjam berbasis teknologi yang terdaftar di OJK dan tergabung di AFPI. Kami juga terima kasih kepada keempat platfom yang telah berhasil membuktikan kredibilitas platfomnya selama ini menunjukan bahwa industri ini bisa diandalkan," kata Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI, Tumbur Pardede, dalam konferensi pers AFPI, di Jakarta, Kamis (16/5/2019).

Tumbur melanjutkan, pihaknya juga mengapresiasi kepada masyarakat yang selama ini telah memberikan kepercayaan sebagai pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman dari fintech lending. Dengan diperolehnya izin usaha kepada penyelenggara yang sudah terdaftar ini menjadi jaminan bahwa industri semakin terpercaya.

"Apresiasi sebesarnya juga kepada masyarakat dan stakeholder kepada pengguna platform fintech dan para investor yang terlibat. Ini moment titik awal kita ke depan" katanya.

Di samping itu, dia menekankan bagi para anggota AFPI lainnya yang masih terdaftar di OJK, perolehan izin usaha ini menjadi acuan bahwa kepastian bagi industri ini dalam hal perizinan dari OJK. Di mana, perizinan ini diperoleh sepanjang para penyelenggara melaksanakan bisnis sesuai dengan peraturan OJK dan berjalan sesuai standar pedoman perilaku AFPI.

"Selama patuh terhadap peraturan OJK dan kebijakan asosiasi, serta melewati seluruh proses maka perizinan usaha sebagai penyelenggara fintech lending akan diperoleh. Keempat anggota ini menjadi contoh penyemangat lainnya," ujarnya.

Bertambahnya daftar P2P lending yang berizin ini setelah sekian lama sejak P2P lending pertama yang mendapat perizinan yakni PT Pasar Dana Pinjaman (Danamas) pada 6 Juli 2017. Artinya, butuh hampir 2 tahun bagi OJK untuk akhirnya mengeluarkan izin usaha bagi fintech lending.

Berdasarkan data OJK saat ini, terdapat 113 penyelenggara fintech lending yang terdaftar dan berizij di OJK, yang terdiri dari 107 penyelenggara bisnis konvensional dan 6 penyelenggara bisnis syariah. Dan lima diantaranya sudah berstatus izin.

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Jangan Mudah Tergiur Iming-Iming Fintech Ilegal

Ilustrasi fintech. Dok: sbs.ox.ac.uk

Aduan dari korban aplikasi pinjaman online atau fintech kian marak. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam memilih dan menggunakan produk atau jasa keuangan.

Deputi Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, Sarjito menyebutkan masyarakat agar tidak tersesat oleh iklan dan harus lebih detil memperhatikan penawaran yang diberikan Lembaga Jasa Keuangan (LJK) agar tidak merasa dirugikan di kemudian hari.

Dia mengungkapkan, aduan terbanyak adalah peminjam atau nasabah fintech peer to peer (P2P) lending ilegal, di mana banyak masyarakat yang akhirnya terjerat utang beserta bunganya yang tinggi.

"Misalnya fintech yang korban-korban itu pengaduannya masuk ke tempat saya itu rupanya ada fintech ilegal. Meski sudah ditutup hari ini, besok ada lagi, namanya dunia maya," kata dia di kantornya, Selasa (16/4/2019).

Proteksi diri sendiri adalah salah satu cara terbaik mecegah dari jerat utang tersebut. Sebab penutupan terhadap fintech ilegal dinilai tidak terlalu ampuh sebab mereka masih bisa membuka aplikasi baru dengan nama berbeda.

Dia mengungkapkan, pernah mendapat aduan kasus sepasang suami istri yang melakukan pinjaman masing-masing di 10 fintech P2P lending yang berbeda. Sang suami meminjam di 10 aplikasi, dan sang istri pun melakukan hal serupa sehingga menyebabkan keluarga tersebut terlilit utang Rp 20 juta dari 20 fintech P2P lending beserta bunganya.

"Mereka masing-masing pinjam di 10 fintech, padahal akhirnya ngadu ke OJK dan LBH bisanya bayar 1 fintech saja," ujarnya.

Dia menyarankan, nasabah sebelum melakukan atau mengajukan pinjaman online harus mengukur kemampuan diri sendiri untuk melunasi utang tersebut ke depannya. Sebab jika melakukan peminjaman di luar kemampuan melunasi maka dapat menyebabkan kondisi terlilit utang dan dikejar debt collector atau penagih utang.

"Harusnya kita juga sebagai konsumen baiknya rumongso (merasa tahu diri), kalau enggak punya duit ya sudah (jangan pinjam banyak-banyak). Kalau bisa hanya bayar Rp 1 juta, kenapa pinjam Rp 20 juta. Jadi dari sisi konsumen harus waspada juga," tutupnya.

 


BEI Sebut Ada Perusahaan Fintech yang Jajaki IPO

Suasana kantor Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (10/11). Dari 538 saham yang diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia, 181 saham menguat, 39 saham melemah, 63 saham stagnan, dan sisanya belum diperdagangkan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia (BEI), Inarno Djajadi menuturkan, sudah ada perusahaan financial technology (fintech) yang sedang jajaki untuk menawarkan  saham perdana atau Initial Public Offering (IPO).

Namun, Inarno masih belum mau terbuka lebih jauh, perusahaan mana saja yang hendak mencatatkan namanya sebagai emiten baru di pasar modal.

"Terlalu dini mungkin kalau saya sebutkan. Tapi ada yang sudah menjajaki untuk melantai di bursa. Tapi belum saatnya saya bicara itu siapa saja," ungkap dia di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (23/4/2019).

Saat ditanya kapan perusahaan yang dimaksud bakal melakukan penjajakan IPO, lagi-lagi ia belum mau menjawab lebih rinci.

"Mungkin itu butuh proses. Kalau bisa secepatnya lebih baik. Tapi memang ada beberapa kendala yang dihadapi," sebut dia.

"Salah satunya mungkin bahwasanya bentuk badan hukumnya tidak PT (Perseroan Terbatas). Persyaratan di kita untuk listing salah satunya harus PT," dia menandaskan.


Kehadiran Fintech Genjot Pendapatan UKM dan Serap Tenaga Kerja

Sebuah iklan saat event penyelenggaraan Finspire di Jakarta, Rabu (9/11). Finspire ini diselenggarakan dalam 2 aktivitas yaitu Finspire frontrunner dan Finspire summit yang diikuti oleh 32 startup di bidang fintech. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

CEO dan Founder Amartha, Andi Taufan Garuda Putra mengungkapkan, kehadiran financial technology (fintech) atau teknologi keuangan memberikan dampak ekonomi yang signifikan bagi mitra alias masyarakat yang meminjam dana.

Menurut dia, berdasarkan survei yang dilaksanakan oleh internal Amartha, pemasukan para mitra naik signifikan setelah meminjam dari Amartha.

Mitra Amartha, kata dia, adalah para perempuan pengusaha mikro dan kecil. Sehingga pinjaman digunakan sebagai modal usaha.

"Dari hasil survei yang kita lakukan. Income para peminjam kita memang meningkat setelah mengakses pinjaman dari kita. Awalnya pendapatan Rp 4,5 juta, setelah itu Rp 6 juta. Naik sekitar 40 persen," kata dia, di Jakarta, Rabu (10/4/2019).

 Persentase pembayaran pinjaman tepat waktu (on time repayment) di Amartha pun sangat tinggi, mencapai 97,5 persen per akhir Maret 2019. Hingga saat ini, rasio kredit macet alias NPL berada di kisaran 1 persen.

Tak hanya itu, kehadiran Amartha juga membuka lapangan kerja bagi masyarakat tempatnya beroperasi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya