Studi: Pengusaha Pesimistis Lebih Sukses Daripada yang Pede

Sifat pesimistis ternyata memiliki sisi positif bila kamu pengusaha.

oleh Siska Amelie F Deil diperbarui 19 Mei 2019, 17:32 WIB
Ilustrasi Grafik Perkembangan, Penjualan, dan atau Pencapaian Perusahaan dan Bisnis. Kredit: Freepik

Liputan6.com, Jakarta - Tak melulu kerja keras, menjalankan roda bisnis juga seringkali menuntut antusiasme yang tinggi. Sebaliknya, studi yang dilakukan sejumlah peneliti di Inggris justru menemukan para pengusaha pesimis lebih sukses dibandingkan mereka yang optimis.

Melansir laman studyfinds.org, Rabu (15/5/2019), para pengusaha baru dengan dengan tingkat optimismme tinggi menghasilkan laba sekitar 30 persen lebih rendah dibandingkan yang dihasilkan para pesimis.

Penelitian ini dilakukan para peneliti dari jurusan Manajemen University of Bath’s School. Para peneliti mengatakan, penemuannya dapat memberikan pencerahan tentang mengapa hanya setengah dari bisnis baru di Inggris yang dapat bertahan dalam lima tahun pertamanya.

Dalam studinya, para peneliti menelusuri sejumlah partisipan yang beralih dari karyawan untun mendirikan bisnis sendiri. Hasilnya menunjukkan bahwa para pengusaha yang secara berlebihan optimis seringkali kurang realistis dalam menentukan target bisnisnya.

Pada akhirnya, para pengusaha baru yang terlalu percaya diri dengan mudah mengestimasi peluang sukses secara berlebihan. Di waktu yang sama mereka juga meremehkan kemungkinan gagal yang dihadapi usahanya.

Dengan begitu, mereka seringkali tidak siap menghadapi tantangan dan hambatan yang dapat meruntuhkan bisnisnya jika tidak diatasi dengan baik.

"Hasil kami menunjukkan bahwa terlalu banyak orang yang kini merintis bisnis sendiri. Ketika sebagian besar masyarakat menganggap optimisme dan pola pikir pengusaha sangat penting, tapi saat kedua sikap itu digabungkan, perlu ada cek realita di lapangan," papar Profesor Ekonomi Bisnis University of Bath’s School of Management, Chris Dawson.

Dia juga menjelaskan, pesimisme tidak selalu menggambarkan sikap putus asa. Tapi sifat itu justru menghindarkan banyak orang dari proyek-proyek bisnis yang tidak menguntungkan.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:


Stres Bisa Kurangi Kualitas Kerja, Ini Ragam Solusinya

Ilustrasi stres. Sumber foto: unsplash.com/Kevin Grieve.

Sering kali tak disadari besarnya tekanan dari atasan maupun klien membuat kita lebih mudah stres, yang akhirnya memengaruhi kualitas kerja. Lebih parahnya lagi stres itu dapat memengaruhi kualitas hidup.

Lalu, sebenarnya apa saja penyebab stres dan cara mengatasinya? Seperti dikutip dari Cermati.com, berikut cara mengenali penyebab stres dan cara mengatasinya dengan tepat. 

1. Pekerjaan Menumpuk dan Jadwal Kerja Padat

Stres dapat dimulai dari sebuah kebiasaan yang sering kita lakukan. Jika dilihat dari aktivitas setiap hari yang padat, dimulai dari jam masuk kerja hingga pulang kerja, bahkan tak jarang juga lembur. Tentu ini menyita banyak energi.

Seperti pekerjaan yang menumpuk saja, itu sudah bisa menjadi pemicu stres. Sebagai contoh, saat Anda sudah menyelesaikan pekerjaan, tapi Anda langsung mendapatkan limpahan tugas lagi dari atasan.

Efeknya, Anda akan terlihat seperti tidak bisa mengatur jam kerja. Selain itu, Anda juga terlihat seperti bisa dikendalikan oleh orang lain.

Oleh karena itu, tak ada salahnya mengatakan terus terang bahwa Anda butuh jeda waktu untuk mengambil napas dan membuat rileks pikiran dan tenaga. Sehingga Anda tidak stres dan pekerjaan bisa diselesaikan dengan maksimal.


2. Kondisi Lingkungan Kerja Tak Kondusif

Ilustrasi stres (iStockphoto)

Lingkungan kerja yang tidak kondusif juga bisa menjadi penyebab munculnya stres. Kondisi lingkungan kerja tak kondusif ini bermacam-macam, mulai dari pembagian kerja yang tak adil, pemimpin yang semena-mena, hingga rekan kerja yang suka bergunjing, dan lainnya.

Jika Anda menemukan keadaan seperti ini, cobalah untuk berdiskusi mengenai ketidak adilan yang Anda rasakan atau rekan kerja yang tidak saling menghargai. Sehingga apapun masalah yang muncul dan pembahasan yang di bicarakan dapat menghasilkan jalan keluar.

3. Merasa Sendiri karena Tersingkir

Sering kali karyawan merasa sendiri lantaran tersingkir dari lingkungan kerja yang tak sehat. Hal tersebut membuat psikologis karyawan menjadi buruk dan menjadi lebih parah saat mereka tak mendapatkan bantuan dari atasan atau sesama rekan kerja.

Jika hal ini menimpa pada Anda, cobalah untuk menceritakan posisi Anda saat ini pada atasan. Seorang atasan yang baik akan mendengarkan keluh kesah karyawan jika apa yang mereka sampaikan memang masih masuk akal.

Selain menceritakan masalah Anda pada atasan, Anda pun bisa menceritakannya dengan rekan kerja terdekat yang sekiranya dapat dipercaya. Umumnya seorang kolega atau rekan kerja yang baik, akan memberikan dukungan moral pada Anda saat menghadapi masalah.

Sedangkan atasan akan memberikan masukan pada Anda untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Tak perlu diambil hati jika masukan yang atasan berikan bersifat kritikan membangun. Tujuannya tentu saja agar Anda menjadi pribadi yang sesuai dengan visi dan misi perusahaan.


4. Atasan Tidak Menghargai Pekerjaan

Ilustrasi Stres karena terjerat utang | foto : istimewa

Sikap atasan yang tidak menghargai terhadap apapun yang kita kerjakan sering kali berimbas pada suasana hati (mood) yang buruk, lantaran merasa tidak bisa memuaskan atasan.

Terlebih jika telah mengerjakan dengan sangat keras tapi tak menghasilkan kompensasi yang sepadan dengan tenaga, waktu, dan pikiran yang dicurahkan. Tak mengherankan jika menjadi kurang produktif karena merasa apapun yang dikerjakan tak menghasilkan nilai tambah bagi kita.

Tentu saja hal itu memicu adanya ketidakseimbangan antara upaya keras dan imbalan kerja yang didapatkan. Guna mengatasi masalah satu ini, Anda bisa mengomunikasikan tujuan karier Anda pada atasan atau pihak HRD sebagai pihak ketiga.

Meskipun Anda tidak akan langsung mendapatkan kenaikan gaji sebagai imbalannya misalnya, namun setidaknya Anda bisa mendapatkan pencerahan dari diskusi dengan atasan maupun dari pihak HRD mengenai cara memperbaiki diri dan menentukan karier ke depannya.

5. Pergerakan Dibatasi karena Dibekali Gadget oleh Kantor

Apakah Anda seorang karyawan yang mendapatkan inventaris berupa gadget, baik handphone ataupun laptop? Jika ya, bisa jadi hal tersebut adalah fasilitas yang diberikan oleh kantor untuk membatasi ruang gerak Anda saat berada di luar kantor.

Dengan adanya fasilitas tersebut, atasan menjadi lebih leluasa meminta bantuan Anda dan menghubungi Anda setiap saat meskipun di luar jam kerja. Jalan keluar dari permasalahan ini, tentukan batas waktu Anda menggunakan fasilitas kantor di luar jam kerja.

Bila perlu, di hari-hari tertentu seperti akhir pekan, matikanlah gadget tersebut untuk alasan quality time dengan keluarga atau buah hati Anda maupun untuk diri sendiri.  


6. Kelelahan yang Berlebihan

Ilustrasi stres (iStockphoto/BrianAJackson)

Lelah usai bekerja seharian adalah hal yang wajar, oleh karenanya tak perlu bersedih hati. Namun kenyataannya kelelahan yang berlebih itu lantaran harus mengejar deadline sebuah project atau lainnya.

Kelelahan tersebut tentunya berhubungan dengan intensitas pekerjaan Anda yang padat. Sehingga membuat mudah gelisah, cepat marah, dan mudah lelah yang akibatnya membuat badan mudah jatuh sakit.

Solusinya, Anda cukup mengerjakan apa yang memang Anda bisa kerjakan saat itu. Hindari pula memaksakan diri untuk mencapai target tertentu jika pada akhirnya diri Anda menjadi korbannya, sementara feedback dari kantor tak sesuai yang Anda harapkan.

8. Manajemen Waktu yang Baik adalah Kunci Mencegah Stres

Demikialah beberapa masalah di kantor yang dapat memicu stres. Manajemen waktu adalah salah satu kunci yang dapat Anda praktikkan di kantor agar tak mudah stress, pekerjaan menjadi lebih produktif, dan Anda pun hidup dengan bahagia tanpa terbebani masalah-masalah kerjaan yang rumit. Jadi, miliki pengelolaan waktu kerja yang baik agar terhindari stres berkepanjangan.

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya