Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat defisit Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) hingga akhir April 2019 sebesar Rp 101 triliun. Angka ini meningkat apabila dibandingkan dengan posisi April tahun lalu sebesar Rp 54,9 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, defisit APBN hingga April 2019 ini disumbang oleh pendapatan negara sebesar Rp 530,7 triliun atau 24,51 persen dari target APBN 2019. Angka ini tumbuh tinggi dibandingkan periode yang sama tahuj lalu yang mencapai Rp 528 triliun
Sementara itu dari realisasi belanja negara, tercatat mencapai Rp 631,78 triliun atau sudah 25,67 persen dari pagu APBN 2019. Realisasi tersebut sekitar 8,38 persen dibandingkan realisasi APBN pada periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 582,95 triliun.
Baca Juga
Advertisement
"Dengan demikian, defisit APBN hingga 31 April 2019 sebesar Rp 101 triliun atau 34,1 persen dari PDB. Ini lebih dalan dibandingkan realisasi defisit periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 54,9 triliun," ujar Sri Mulyani di Kantornya, Jakarta, Kamis (16/5).
Secara rinci, lanjut Sri Mulyani untuk pendapatan negara terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 436,4 triliun atau sudah mencapai 24,43 persen dari target. Angka ini tumbuh 4,72 persen dibandingkan realisasi periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 416,7 triliun.
Dari sisi realisasi belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat mencapai Rp 370,05 triliun atau sudah 22,64 persen dari pagu APBN 2019. Realisasi ini juga tumbuh 11,79 persen dibandingkan pada periode yang sama tahun 2018.
Adapun untuk realisasi pembiayaan anggaran hingga April 2019 tercatat sebesar Rp 143,84 triliun. Pemerintah juga merealisasikan Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) mencapai Rp 261,63 triliun atau sudah 31,66 persen dari pagu APBN 2019. Angka ini tumbuh sebesar 3,89 persen dibandingkan realisasi pada periode yang sama tahun 2018.
"Berdasarkan capaian sampai akhir April 2019, diperkirakan pelaksanaan APBN 2019 dapat tetap terjaga untuk mendukung pencapaian target pertumbuhan ekonomi dan defisit APBN," tutup Sri Mulyani
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
RI Kembali Mewaspadai Perang Dagang AS-China
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati kembali mewaspadai dampak dari perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Dia mengatakan, kondisi perang dagang ini akan terus berjalan dan tidak akan reda dalam jangka pendek, sehingga dikahawatirkan akan berdampak lagi ke Indonesia.
"Karena pola konfrontasinya sangat head to head kalau bisa dikatakan, karena untuk dua negara besar ini yang mencoba secara diplomatis men-towndown itu menjadi lebih sulit, artinya ketegangan ini akan mewarnai cukup panjang," kata dia saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (15/5/2019).
"Artinya sekarang ini ekonomi dalam tekanan global yang sangat serius melalui ketidakpastian, kita harus terus melihat aspek domestik kita dan ini harus terus menjadi kewaspadaaan bagi kita," sambung dia.
Sri Mulyani mengatakan, pengaruh dari perang dagang ini tidak hanya dirasakan oleh Indonesia sendiri akan tetapi berimpas kepada negara-negara di dunia.
"Jelas trade akan slowing down sangat siginifikan. Kemarin saja pertumbuhan 4 persen global trade sudah dianggap sangat rendah," bebernya.
Dengan kondisi itu, akan mempengaruhi pada negara Indonesia yang masih bergantung pada neraca perdagangan eskpor.
"Ini berarti kita tidak mungkin andalkan ekspor sebagai enginee of growth. Tapi positifnya ada banyak barang-barang yang tadinya untuk topang industri kita menjadi tersedia," pungkasnya.
Seperti diketahui, perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) kembali memanas setelah Presiden AS, Donald Trump mengancam untuk meningkatkan lebih dari dua kali lipat tingkat tarif menjadi 25 persen pada USD 200 miliar barang-barang China.
Advertisement
Neraca Dagang April Defisit USD 2,5 Miliar, Ini Respons Sri Mulyani
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia pada April 2019 defisit sebesar USD 2,50 miliar.
Defisit tersebut disebabkan oleh defisit sektor migas dan non migas masing-masing sebesar USD 1,49 miliar dan USD 1,01 miliar.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, apabila melihat dari komposisinya tentu ini menjadi kondisi yang perlu diperhatikan. Sebab, menurut dia, impor maupun ekspor Indonesia sama-sama menurun.
"Walaupun impor kontraksi, tetapi ekspor juga kontraksi lebih dalam. Jadi ini faktor dari ekspor yang sebetulnya mengalami pelemahan yang juga kita mesti waspada," kata dia saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (15/5/2019).
Sri Mulyani mengatakan, dari sisi impor, untuk bahan baku dan barang modal juga perlu diantisipasi terhadap pelaku industri yang menggunakan kompenen tersebut. Sebab ini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.
"Sebetulnya signal ini menggambarkan bahwa ekonomi dunia memang mengalami situasi yang tidak mudah. Dan Indonesia kalau ingin tetap menjaga pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen berarti dari sisi komposisi pertumbuhannya itu terutama yang untuk industri manufaktur itu akan mengalami tekanan yang cukup dalam," ujar dia.
Di samping itu, Bendahara Negara Ini juga tengah mendalami penyebab defisitnya neraca perdagangan pada April 2019.
Terutama melihat apakah ada volume impor yang melambat terutama pada kuartal I yang kemudian baru direalisasikan pada April.
"Mungkin mereka melakukan kalkulasi nanti sesudah Lebaran akan ada libur yang panjang lagi jadi semuanya ditumpukkan di bulan April. Jadi Januari-Maret slowdown sekarang di stok tinggikan karena nanti antisipasi. Tetapi saya akan lihat setiap komposisinya," ujar dia.
Sebelumnya, Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, defisit pada April tersebut merupakan terbesar sejak Juli 2013. Menurut catatan BPS, defisit yang hampir sama pernah terjadi pada Juli 2013 sebesar USD 2,33 miliar.
"Menurut data kami, yang sekarang ada, itu terbesar di Juli 2013 sekitar USD 2,33 miliar. Lalu April ini, sebesar USD 2,50 miliar," ujar Suhariyanto di Kantornya.
Sri Mulyani: Institusi Apabila Tidak Berinovasi akan Punah
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati, mengatakan perkembangan teknologi era revolusi industri 4.0 sudah seharusnya berlangsung di seluruh instansi pemerintah. Sebab apabila institusi tidak melakukan perubahan dan masuk ke dalam industri 4.0 maka akan berdampak pada kemunduran suatu bangsa.
"Karena memang suatu negara, bangsa kita semua liat langsung betapa dunia ini berubah sangat cepat apakah itu makhluk, institusi, apabila tidak lakukan inovasi akan punah. Oleh karena itu kalau tidak mau punah maka harus berubah," jelas dia saat menjadi pembicara One Hour University di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (15/4/2019).
Sri Mulyani mengatakan akselerasi perubahan di dunia saat ini begitu dirasakan semenjak revolusi industri 2.0. Di mana pada masa itu menjadi lompatan besar dalam perkembangan teknologi dan kebudayaan di masyarakat. "Perubahan sejak revolusi 2.0 itu menyebabkan perubahan yang cepat pada dunia ini," imbuh dia.
Seiring dengan perkembangan teknologi digital maka perubahan yang terjadi pada revolusi industri 4.0 ini harus dimanfaatkan betul. Sebab dengan ini Indonesia akan keluar dari perangkap pendapatan menengah (middle income trap) menjadi negara dengan pendapatan tinggi.
"Industri 4.0 ini di mana muncul teknologi digital dan internet menjadi peluang besar negara keluar menjadi middle income trap, dan revolusi 4.0 itu memungkinkan banyak negara emerginguntuk catch up," pungkasnya.
Advertisement