Liputan6.com, Wina - Parlemen Austria hari Rabu, 15 Mei 2019, mengesahkan rancangan undang-undang pelarangan jilbab di Sekolah Dasar (SD) yang diajukan oleh pemerintahan koalisi, yang terdiri dari partai kanan tengah ÖVP dan partai ultra kanan FPÖ.
Hal tersebut dilakukan di tengah jalannya Bulan Suci Ramadan bagi umat Islam di dunia. Meski demikian, UU yang baru itu tidak menyebut Islam atau kaum muslim secara langsung, namun dalam teksnya menyebutkan melarang "pakaian yang dipengaruhi secara ideologis atau agama yang dikaitkan dengan penutup kepala."
Advertisement
Pemerintah Austria menjelaskan, penutup kepala Yahudi "yarmulke" atau penutup kepala anak-anak lelaki Sikh "patka" tidak termasuk dalam larangan tersebut, sebab UU baru ini merujuk pada penutup kepala yang "menutupi semua rambut atau sebagian besar dari itu."
Tidak termasuk dalam larangan tersebut adalah penutup kepala dengan alasan medis atau perlindungan terhadap hujan atau salju.
Anggota parlemen dari partai ÖVP, Rudolf Taschner, mengatakan seperti dikutip dari DW Indonesia, Kamis (16/5/2019): "Undang-undang baru ini dimaksudkan untuk membebaskan anak-anak perempuan dari penindasan."
Juru bicara pendidikan dari partai FPÖ, Wendelin Mölzer menerangkan, UU tersebut bertujuan untuk memberikan sinyal tegas dalam "melawan Islam politik" dan mempromosikan integrasi komunitas muslim.
Mantan Menteri Pendidikan dari Partai Sosial Demokrat Austria SPÖ, Sonja Hammerschmid, menuduh pemerintah hanya mencari sensasi saja agar bisa menjadi berita utama di media-media lokal, ketimbang menyelesaikan masalah integrasi atau pendidikan.
Sementara itu, organisasi komunitas muslim Austria, IGGÖ, menyatakan akan melakukan langkah hukum menentang UU yang "destruktif" itu, yang secara eksklusif mendiskriminasi muslim.
Negara Bagian Jerman Larang Siswa di Bawah 14 Tahun Berjilbab
Pada tahun 2018, siswa di sekolah Jerman dilarang menggunakan jilbab selama pelajaran sekolah. Aturan ini berlaku untuk anak perempuan di bawah usia 14 tahun.
Usulan dari pemerintah negara bagian paling padat di Jerman, Nordrhein-Westfallen (NRW) itu disambut oleh Asosiasi Pengajar Jerman (Deutscher Lehrerverband, DL).
"Larangan jilbab akan membantu, setidaknya secara umum, untuk melemahkan diskriminasi atas dasar agama dan intimidasi anti-agama," ujar Ketua DL, Heinz-Peter Meidinger, seperti dikutip dari harian Bild.
Dia juga mengakui bahwa realitasnya mungkin berbeda untuk gadis-gadis yang lebih tua. Namun ia menyerukan untuk mengakhiri "tampilan simbol-simbol agama yang dipaksakan di antara anak-anak dengan latar belakang agama."
Menteri Urusan Integrasi NRW Joachim Stamp mengumumkan inisiatif itu akhir pekan lalu seraya mengatakan anak-anak yang berusia sangat muda tidak boleh dipaksa menutupi rambut mereka karena alasan keyakinan.
"Semakin banyak guru sekolah dasar yang melaporkan kasus anak perempuan usia tujuh tahun yang datang ke kelas dengan jilbab," ujar Serap Güler, pejabat kementerian integrasi NRW. Güler, yang merupakan keturunan Turki, mengatakan bahwa ibunya sendiri mengenakan jilbab. "Tapi dia membuat pilihan itu sebagai wanita dewasa."
Pemerintahan Angela Merkel didera perdebatan pada Selasa 10 April ketika Annette Widmann-Mauz yang merupakan Menteri Integrasi Nasional memperingatkan larangan itu bisa jadi kontra-produktif.
"Larangan tidak menyelesaikan masalah mendasar di baliknya. Kita harus menjangkau orangtua dan memastikan gadis-gadis diberdayakan untuk membuat pilihan mereka sendiri. Pada saat yang bersamaan, perempuan yang secara sukarela memilih untuk mengenakan jilbab tidak boleh dirugikan."
Sementara itu, Haci Halil Uslucan dari Dewan Penasehat Jerman tentang Integrasi dan Migrasi mengatakan: "Dari perspektif agama Islam, tidak ada alasan untuk mengenakan jilbab sebelum mencapai kematangan seksual."
Advertisement