Badai Matahari Datang, Aurora Borealis Bersinar Lebih Terang

Badai matahari menuju Bumi, yang menandakan bahwa Aurora Borealis akan bercahaya lebih terang.

oleh Afra Augesti diperbarui 17 Mei 2019, 12:08 WIB
Seorang surfer membawa papannya melihat Cahaya Utara atau aurora borealis di Utakleiv, Norwegia utara (9/3). Biasanya aurora terjadi di daerah di sekitar kutub Utara dan kutub Selatan magnetiknya. (AFP/Olivier Morin)

Liputan6.com, Oslo - Peringatan badai geomagnetik atau badai matahari telah dikeluarkan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), menyusul tiga gelombang energi matahari yang disebut coronal mass ejections atau lontaran massa korona (CME) --berasal dari bintik matahari raksasa.

CME adalah lontaran massa dari korona matahari, terutama proton, dengan kecepatan tinggi. CME bisa menyambar satelit komunikasi atau sampah-sampah antariksa yang berada di luar orbit Bumi.

CME berasal dari atmosfer luar matahari dan CME merupakan wilayah yang memiliki medan magnet yang sangat kuat. Ketika medan ini ditutup, area tersebut dapat mengeluarkan materi dalam ledakan besar secara tiba-tiba. Terkadang, tiap satu miliar tonnya, disemburkan ke angkasa, memengaruhi objek apa pun yang ditemuinya.

Ketika CME meledak ke arah Bumi, material matahari berinteraksi dengan atom dan molekul di atmosfer kita. Tabrakan pun menghasilkan aurora.

Space Weather Prediction Center atau Pusat Prediksi Cuaca Antariksa NOAA mengatakan bahwa badai matahari minor diperkirakan berlangsung sepanjang 15 hingga 16 Mei 2019 Universal Time (UT).

Akibat dari badai tersebut, bagian utara Amerika Serikat dapat melihat Aurora Borealis selama beberapa malam setelah badai minor tersebut terjadi. Itu artinya, pancara cahaya yang biasanya hanya bisa dilihat di negara-negara Skandinavia ini akan bersinar lebih terang dari biasanya.

Tiga CME yang bertanggung jawab atas badai matahari terbaru berasal dari kelompok bintik matahari Region 2741. Rangkaian CME ini dimulai pada 10 Mei dan dua materi dari tiga CME tersebut diprediksi sampai Bumi pada 15 Mei. Sedangkan yang ketiga kemungkinan akan mencapai planet kita pada 16 Mei.

"Sumber kemunculan CME dikaitkan dengan menghilangnya solar filaments (DSF) di sepanjang area garis netral magnetik di sekitar bintik matahari unipolar, Region 2741," kata NOAA dalam sebuah pernyataan tertulis, yang dikutip dari Newsweek, Jumat (17/5/2019).

DSF adalah awan gas terionisasi di atas permukaan matahari yang terhimpit di antara daerah magnet dan polaritas berlawanan.

DSF lebih dingin dan lebih padat dibandingkan plasma di bawah dan sekitarnya, sehingga tampak sebagai garis-garis gelap ketika diamati pada piringan matahari dan sebagai gumpalan-gumpalan terang ketika diamati dekat tepi piringan matahari (dinamakan prominensa).

NASA mencatat bahwa filamen ini dapat mengambang seperti selama berhari-hari sebelum akhirnya menghilang.

"Kadang-kadang mereka juga meletus ke antariksa, melepaskan elemen matahari atau berhamburan di angkasa luar, menjadi awan bergerak yang dikenal sebagai CME," catat badan antariksa itu.

 


Mengganggu GPS

Badai Matahari ( NASA/SDO/Goddard)

Menurut SpaceWeather, bintik matahari yang berasal dari tiga CME tersebut nampaknya hancur dan tidak lagi dapat menghasilkan CME besar yang menimbulkan risiko bagi Bumi.

Ketika matahari menghasilkan ledakan besar, badai geomagnetik yang kuat berpotensi menyebabkan gangguan pada sistem GPS, satelit, dan jaringan listrik.

Saat ini, matahari berada dalam periode tenang yang dikenal sebagai solar minimum --jumlah bintik matahari berkurang hingga titik terendahnya. Sedangkan pada periode teraktif atau solar maximum, jumlah bintik matahari bertambah hingga puncaknya.

Kedua siklus matahari ini terjadi tiap sebelas tahun sekali, ketika jumlah bintik matahari bervariasi.

Sementara itu, maksimum matahari berikutnya diperkirakan mencapai puncaknya sekitar tahun 2024.

 

 

 


Daerah Penampakan Aurora

Seorang surfer melihat Cahaya Utara atau aurora borealis di Utakleiv, Norwegia utara (9/3). Cahaya kutub terbentuk dari interaksi medan magnet Bumi dengan lapisan terluar Matahari atau Korona. (AFP/Olivier Morin)

Space Weather Prediction Center atau Pusat Prediksi Cuaca Antariksa NOAA menyebut, 75 persen badai matahari diakibatkan oleh serangkaian letusan dari tiga gelombang energi matahari atau CME.

Pada hari Selasa, agensi itu merilis pernyataan yang menyebut, gelombang pertama mengenai perisai pelindung Bumi atau magnetosfer pada 15 Mei. Sedangkan beberapa putaran CME diperkirakan akan berlangsung hingga hari ini, Jumat, 17 Mei.

Aurora borealis sendiri diprediksi akan menyala di atas lingkaran Arktik dan bagian Amerika Utara, termasuk utara Amerika Serikat seperti Montana, Dakota Utara dan Minnesota.

Bukan hanya di AS, aurora juga diperkirakan bakal terlihat di Rusia bagian tengah, Finlandia, Swedia dan Norwegia, serta Skotlandia bagian paling utara.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya