Polisi yang Dipecat karena Kelainan Orientasi Seksual Gugat Kapolda Jateng

Polisi itu tidak terima dirinya diberhentikan dengan tidak terhormat atau PTDH lantaran menderita kelainan orientasi seksual.

Oleh SoloPos.com diperbarui 18 Mei 2019, 12:00 WIB
(Ilustrasi)

Semarang - TT (30), tidak terima dirinya diberhentikan dengan tidak terhormat atau PTDH lantaran menderita kelainan orientasi seksual. Polisi yang terakhir berpangkat Bripda itu pun menggugat Kapolda Jateng ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang.

Kuasa hukum TT, Ma’ruf Bajammal, menilai apa yang dialami kliennya itu sebagai bentuk diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Ia menilai, tidak sepantasnya TT diberhentikan dari kepolisian hanya karena memiliki orientasi seksual minoritas.

"Ketika alasan itu  dijadikan dalil pemberhentian berarti itu melanggar prinsip non diskriminasi yang melanggar UUD 1945, International Convenant on Civil and Political Rights, UU HAM, dan bahkan peraturan internal Polri. Itu yang kita jadikan dasar menuntut pembatalan surat keputusan pemberhentiannya," kata Ma'ruf seperti dilansir Solopos, Kamis, 16 Mei 2019.

 

Meski TT sebelumnya sempat diperiksa dalam kasus dugaan pemerasan pada 14 Februari 2017 silam. Pengacara yang tergabung dalam LBH Masyarakat itu menyebutkan selama 10 tahun bertugas sebagai anggota Polri, Bripda TT tidak pernah melakukan pelanggaran disiplin maupun kode etik.

Semua tuduhan itu tidak terbukti saat TT diperiksa oleh Propam Polda Jateng. Malah belakangan TT kemudian diperiksa karena tuduhan melakukan hubungan seksual sesama jenis karena kelainan orientasi seksual.

"Pemeriksaan atas tuduhan melakukan hubungan seksual menyimpang itu juga dilakukan sebelum ada laporan. Pemeriksaan dilakukan pada 15, 16, dan 23 Februari, sedangkan laporan baru terbit pada 16 Maret 2017," imbuh Ma’ruf.

Setelah itu, lanjut Ma’ruf, TT harus menjalani sidang etik yang digelar Polda Jateng pada 18 Oktober 2017. Dalam persidangan, kliennya mengaku bahwa dirinya memang memiliki orientasi yang lain dari kebanyakan orang atau menyukai sesama jenis.

"Dia tidak membantah maupun menyangkal jika dirinya homoseksual. Tapi, itu tidak bisa dijadikan alasan dirinya dipecat," tegas Ma’ruf.

Melalui persidangan itu, akhirnya diputuskan bahwa TT harus diberhentikan secara tidak hormat dari kesatuan Polri. Pemberhentiannya bahkan diputuskan dalam surat keputusan Kapolda Jateng per tanggal 27 Desember 2018.

"Atas dasar ini kami pun mengajukan gugatan melalui PTUN Semarang agar keputusan Kapolda Jateng memberhentikan klien kami dibatalkan. Sidang akan mulai digelar pekan depan, Kamis (20/5/2019)," ujar Ma’ruf.

Sementara itu, Kepala Bidang Humas (Kabidhumas) Polda Jateng, Kombes Pol Agus Triatmaja, membenarkan bahwa TT diberhentikan secara tidak terhormat. Meski demikian, Agus enggan menjelaskan secara detail apakah TT dipecat karena menderita kelainan orientasi seksual.

"Iya benar. Memang ada anggota yang dipecat karena melakukan perbuatan tercela," ucapnya singkat.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:


Task Amnesty International Angkat Bicara

Pernyataan Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo kepada media bahwa “anggota Polri tidak boleh LGBT dan memiliki kelainan atau disorientasi seksual” adalah keliru bahkan menyesatkan, kata Amnesty International Indonesia.

Dedi menanggapi keputusan Kepolisian Daerah Jawa Tengah yang memecat salah seorang anggota polisi karena orientasi seksualnya. 

“Pernyataan tersebut keliru, cenderung menyesatkan dan bernada diskriminatif,” kata Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid.

Amnesty International Indonesia menilai, pemecatan salah seorang anggota polisi di Kepolisian Daerah Jawa Tengah karena orientasi seksualnya melanggar prinsip-prinsip HAM, khususnya prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi dalam dunia kerja di lembaga penegak hukum.

Lebih jauh, keputusan tersebut juga melanggar aturan internal kepolisian itu sendiri yaitu Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standard Hak Asasi Manusia dalam penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 4 butir h Perkap No. 8/2009 mengatakan konsep dasar perlindungan HAM antara lain: “HAM tidak membedakan ras, etnik, ideologi, budaya/agama/keyakinan, falsafah, status sosial, dan jenis kelamin/orientasi seksual, melainkan mengutamakan komitmen untuk saling menghormati untuk menciptakan dunia yang beradab; dan…”

Sementara itu Pasal 6 butir h aturan yang sama mengatakan bahwa HAM sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yang termasuk dalam cakupan tugas Polri, meliputi: “hak khusus kelompok minoritas, seperti etnis, agama, penyandang cacat, orientasi seksual.” 

“Jadi keputusan pemecatan yang dijelaskan melalui pernyataan Karo Penmas Polri Brigjen Dedi Prasetyo jelas melanggar aturan internal mereka sendiri. Dalam skala lebih luas ini adalah suatu pelanggaran HAM. Terlebih dalam dunia kerja di badan penegak hukum yang bertugas melayani dan melindungi warga negara berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi,” kata Usman. 

“Kepolisian Republik Indonesia harus mengoreksi keputusan pemecatan tersebut dan memerintahkan Kepolisian Daerah Jawa Tengah untuk mengembalikan pekerjaan anggota polisi tersebut. Praktek-praktek seperti ini harus segera dihentikan dalam institusi kepolisian yang seharusnya menjadi contoh dalam penegakan hak asasi manusia,” tambah Usman.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya