Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertekan pada pekan ini. Bahkan IHSG alami penurunan terbesar mingguan sejak April 2018.
Mengutip laporan PT Ashmore Asset Management Indonesia, Sabtu (18/5/2019), IHSG merosot 6,1 persen dari posisi 6.209 pada 11 Mei 2019 menjadi 5.826 pada 18 Mei 2019.
Pelemahan IHSG didorong dari defisit neraca perdagangan lebih buruk dari perkiraan. Tercatat defisit neraca perdagangan April mencapai USD 2,5 miliar. Sentimen itu direspons negatif oleh pelaku pasar.
Apalagi berlanjutnya ketegangan perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China menambah beban IHSG.
Baca Juga
Advertisement
Saham kapitalisasi besar masuk indeks saham LQ45 pun anjlok 7,48 persen selama sepekan. Aksi jual investor asing mencapai USD 250 juta atau sekitar Rp 3,62 triliun (asumsi kurs Rp 14.506 per dolar AS) di pasar saham.
Sementara itu, di pasar obligasi, indeks obligasi turun 0,70 persen selama sepekan. Imbal hasil obligasi pemerintah bertenor 10 tahun merosot tiga basis poin menjadi 8,03 persen. Nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat yang mencapai 14.450. Aksi jual obligasi mencapai USD 430 juta di pasar obligasi hingga 15 Mei 2019.
Sejumlah sentimen baik eksternal dan internal pengaruhi pasar keuangan global sehingga berdampak terhadap pasar Indonesia.
Pertama, kelanjutan perang dagang AS-China. Presiden AS Donald Trump teken perintah eksekutif yang meningkatkan kampanye pemerintahannya untuk melawan raksasa telekomunikasi China, Huawei.
Selain itu meningkatnya tekanan kepada sekutu untuk mengikutinya dengan melarang perusahaan memakai 5G dan jaringan lainnya.
AS mengklaim Huawei, salah satu perusahaan paling penting di China memiliki risiko memata-matai infrastruktur teknologi barat.
Langkah terbaru itu menambah beban di tengah memburuknya negosiasi perdagangan antara AS-China.
Pada Kamis pekan ini, China berjanji untuk secara tegas melindungi perusahaan-perusahaan China setelah AS menyebut Huawei berisiko keamanan. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lu Kang mengkritik langkah AS sebagai penyalahgunaan tindakan pengendalian ekspor.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Data Ekonomi AS hingga Defisit April Jadi Sentimen
Kedua, data ritel dan industri AS melemah. Sektor perdagangan ritel AS turun 0,2 persen dari bulan sebelumnya pada April 2019, menyusul pertumbuhan 1,7 persen yang direvisi naik pada Maret yang merupakan peningkatan terbesar dalam penjualan selama 1,5 tahun.
Output industri AS merosot 0,5 persen pada April 2019. Hal ini berlawanan dengan harapan pasar dan perolehan pada Maret 2019 yang mencapai 02 persen.
Penurunan itu terbesar dalam produksi industri sejak Mei 2018. Ini dipicu sektor manufaktur dan utilitas berkontraksi sementara sedangkan hasil tambang menguat. Ketiga, perkembangan Brexit. Perkembangan Brexit juga masih dicermati pelaku pasar.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) memutuskan mempertahankan suku bunga acuan atau BI 7 day reverse repo rate di kisaran 6 persen. BI juga merevisi prediksi target defisit transaksi berjalan dari 2,5 persen menjadi 2,5 persen-3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Selain itu, pertumbuhan ekonomi diperkirakan 5-5,4 persen pada 2019.
Meski ketegangan perang dagang meningkat antara AS-China, prospek aliran modal masuk akan terus berlanjut sepanjang tahun sehingga neraca pembayran dapat mencapai surplus. Ini merupakan indikator yang telah diawasi ketat oleh Bank Indonesia (BI). BI telah berubah lebih netral dari bias pengetatan pada pekan ini.
Selain itu, Indonesia alami defisit neraca dagang yang besar pada April. Tercatat defisit neraca dagang mencapai USD 2,5 miliar. Ini karena ekspor turun 13,1 persen secara year on year (YoY) sedangkan impor turun 6,58 persen.
Advertisement
Defisit Neraca Dagang Jadi Sorotan
Ashmore menyoroti ketakutan akan ketidakpastian global yang dikombinasikan dengan neraca perdagangan yang mengecewakan pada April. Sentimen itu membebani IHSG pada pekan ini.
Melihat kondisi tersebut, Ashmore menyoroti bagaimana perincian neraca perdagangan Indonesia. Kedua, bagaimana respons pemerintah dan yang akan menjadi implikasi untuk setiap respons kebijakan.
Defisit neraca dagang yang membesar didorong impor minyak dan gas meningkat pada April. Penyumbang ekspor terbesar adalah penurunan ekspor. Namun, rata-rata impor minyak dan gas selama empat bulan pertama 2019 masih menunjukkan penurunan tahunan.
Ini menunjukkan beberapa upaya pemerintah untuk kurangi impor minyak dan gas termasuk peralihan biodiesel 20 (B20) yang berdampak positif.
"Namun, kami masih menyadari bahwa perlambatan global telah mulai pengaruhi barang ekspor Indonesia yang lebih besar yaitu komoditas. Penurunan ekspor lebih besar secara rata-rata, karena volume dan tekanan harga yang sebagian disebabkan oleh penggunanaan domestik," tulis Ashmore.