Menyelami Cimande, Menepis Kesombongan

Tanah Pasundan menyimpan olahraga bela diri pencak silat aliran Cimande. Gerakan-gerakannya lembut, cermin dari sikap kerendahan hati. Sekali gerbrak sang lawan bisa terkapar.

oleh Liputan6 diperbarui 19 Nov 2000, 14:56 WIB
Liputan6.com, Bogor: Gerakan lelaki itu sulit dikatakan tengah memperagakan jurus mematikan. Maklum, ia bertingkah seperti seorang penari. Kendati sistematis, olah tubuhnya gemulai, mungkin lebih tepat dikatakan lentur. Padahal, ia tengah mendemonstrasikan jurus tepak satu atawa selancar, sebuah jurus yang menjadi salah satu ciri khas pencak silat aliran Cimande. Dan lelaki itu memang seorang pendekar.

Cimande. Begitulah aliran ini disebut. Namanya cukup tersohor di Jawa Barat. Bahkan, aliran ini menjadi salah satu acuan terpenting bagi perguruan-perguruan pencak silat, terutama pencak silat gaya Pasundan. Secara garis besar, Cimande memiliki 33 jurus dengan basis gerakan pertahanan diri dari pelbagai serangan.

Pada hakekatnya, Cimande adalah jenis silat yang mengandalkan tangan kosong untuk membela diri. Dalam arti, gerakan-gerakan yang dilakukan seorang pendekar menjadi gerakan yang mengeksploitasi anggota tubuh manusia sebagai anugerah Tuhan. Bahwa ada juga jurus atau gerakan yang menggunakan tongkat, itu lebih dimaksudkan sebagai simbol pengakuan: tubuh manusia, khususnya kedua tangan tetap saja memiliki keterbatasan-keterbatasan.

Selain membentuk kekuatan fisik, silat Cimande juga membentuk kekuatan batin dengan meningkatkan rasa kepercayaan diri dan menimbulkan kerendahan hati. Sebenarnya, makna yang terkandung dalam ilmu silat Cimande adalah penjabaran dari sebuah filosofi yang menuturkan bahwa di atas langit masih ada lagi langit lain yang lebih tinggi. Di atas puncak gunung, ada puncak gunung yang lebih tinggi. Sehebat apapun manusia, pasti ada manusia lain yang lebih hebat dan kuat. Dengan dasar filosofi itulah ajaran silat Cimande menuntun seseorang menjauhkan diri dari sifat kesombongan.

Pada mulanya adalah Abah Kahir. Dialah yang pertama kali menciptakan aliran Cimande. Lelaki yang hidup sekitar abad 17 dan tinggal di tepian sungai Cimande, Bogor, Jabar ini, menurut cerita, menciptakan jurus berdasarkan gerakan seekor monyet dan harimau. Abah Kahir tak hanya memakai ilmu beladiri untuk diri sendiri. Tapi, ia juga mengangkat murid, sehingga ilmu ini semakin menyebar keberbagai kalangan.

Kini, salah satu keturunan Si Abah, Ace Sutisna juga merasa terpanggil untuk menyebarkan keindahan gerak silat Cimande. Di tengah dinginnya malam, dengan tekun memberi petunjuk kepada anak didik mereka. Bagi dia, pertemuan seperti ini sangatlah berarti. Soalnya, ia bisa melihat sampai sejauh mana ilmu silat Cimande dapat diserap sang murid.

Ace Sutisna juga memanfaatkan Cimande sebagai sarana pewarisan budaya. Dibantu anak, menantu, dan sahabat-sahabatnya, ia dengan tekun dan sabar berusaha memberi pemahaman kepada anak-anak tentang makna filosofis silat Cimande. Tak sekadar makna gerakan bela diri, tapi, lebih jauh dari itu, Ace ingin memberi pemahaman tentang makna disiplin, watak satria, serta moral, kendati gerak silat yang dikeluarkan terlihat gemulai bak penari.(TNA/Tim Potret Liputan 6 SCTV)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya