Lakukan Perang Tarif, Ojek Online Bisa Kena Denda

Aplikator bisa kena sanksi maksimal Rp 25 millar.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Mei 2019, 12:45 WIB
Pedagang kaki lima (PKL) dan ojek online memadati kawasan Stasiun Palmerah, Jakarta, Kamis (6/12). Keadaan ini mengganggu arus lalu lintas dan pejalan kaki. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perhubungan telah menetapkan besaran tarif ojek online yang berlaku efekif pada 1 Mei 2019 lalu. Lahirnya aturan tersebut kemudian menimbulkan aksi perang tarif bagi dua aplikator seperti Gojek dan Grab. Sebab, subsidi dan perang tarif menjadi bagian dari skema promosi oleh keduanya.

Mantan Ketua Komisi Pengawas Pesaing Usaha (KPPU) Periode 2015-2018, Syarkawi Rauf, mengatakan apabila promo yang diberikan kedua aplikator tersebut terindikasi ada praktik predatory pricing atau dikenal dengan monopoli, maka KPPU secara tegas dapat menjatuhkan sanksi berupa denda.

"Sanksinya dari KPPU, pengalaman saya untuk tindakan seperti ini biasanya disanksi denda. Cuma kelemahannya Undang-Undang Persaingan kita (denda) maksimum Rp 25 miliar," katanya saat ditemui di Jakarta, seperti ditulis Selasa (21/5).

Seperti diketahui berdasarkan Undang-Undang Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur ketentuan denda minimal sebesar 1 miliar dan maksimal Rp 25 miliar.

Dalam pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan tindakan Administrasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa: (g) Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1 miliar dan setinggi-tingginya Rp 25 millar.

Kendati demikian, Syarkawi menyebut status denda yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut tidak akan memberikan dampak besar, apalagi kedua aplikator tersebut kini sudah menyandang status decarcon atau startup yang telah memiliki valuasi atau nilai sedikitya USD 10 miliar.

"Kalau di Jepang denda ia mencapai 30 persen keuntungan atau aset itu bisa meberikan efek jera," pungkasnya.

Sebelumnya, untuk mengantisipasi adanya perang tarif, Syarkawi mendesak Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk merevisi kembali Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 agar dapat lebih memastikan persaingan.

Menurutnya ada beberapa butir poin yang kemudian perlu untuk dimasukan di dalam aturan tersebut. Seperti misalnya membatasi promo pada batas yang wajar, termasuk diantaranya jumlah promo tidak jauh di bawah biaya atau terindikasi mematikan pesaingan. Kemudian selanjutnya adalah pemberian sanksi bagi aplikator yang terindikasi melakukan promo tidak wajar.

Di samping itu, dirinya juga meminta agar KPPU lebih aktif melakukan pengawasan berupa tindakan bagi salah satu operator yang diduga menggunakan praktik perang harga.

"KPPU dituntut lebih aktif masuk ke industri ini. Sebab ini sangat penting masyarakat kita lebih produktif, terbantu dengan transportasi murah akibat aplikasi online. Keberlangsungan industri ini harus diperhatikan," pungkasnya

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


KPPU Diminta Waspadai Praktik Monopoli di Bisnis Ojek Online

ojek online

Regulator persaingan usaha diminta untuk mewaspadai gejala perilaku persaingan usaha tidak sehat di bisnis ojek online (Ojol).

Hal ini perlu dilakukan seiring diberlakukannya secara penuh Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat dan Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KP 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi.

"Walau tarif sudah ada aturannya, tapi ada gejala di lapangan aplikator perang diskon, perang harga, dan promosi dengan menggunakan segala dalih. Nah di sini harus berperan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)," ujar Pengamat dari Masyarakat Transporasi Indonesia Djoko Setijowarno di Jakarta, Kamis (9/5/2019).

Menurut dia, KPPU bisa mencegah agar aplikator tidak perang harga atau melakukan permainan harga.

"Sekali lagi yang harus berperan adalah KPPU. Kementrian Perhubungan (Kemengub) kalau soal tarif ini enggak bisa berperan banyak. Perhubungan cuma bisa menentukan. Kalau soal pengawasan atau ada masalah di implementasi tarif yang menjurus ke persaingan usaha tak sehat ada di KPPU," tambahnya.


Menhub: Banyak Keluhan Tarif Ojek Online Terlalu Mahal

Pengemudi ojek online melintasi Jalan Pintu I Senayan, Jakarta, Selasa (19/3). Kemenhub mengeluarkan Permen No.12 tahun 2019 tentang perlindungan keselamatan pengguna motor yang digunakan untuk kepentingan masyarakat. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Aturan tarif ojek online (ojol) baru dikeluhkan oleh pengguna karena dinilai terlalu mahal. Tarif baru tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor yang Digunakan untuk Kepentingan Masyarakat.

Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan, Kementerian Perhubungan akan terus melakukan evaluasi terhadap tarif baru ojek online tersebut.

"Kami menyebarkan kuesioner sebanyak 4.000 di 5 kota. Itu akan terwakili antara ekspetasi daya beli masyarakat, keinginan pengendara itu berapa. Dengan dasar itu kita sangat mungkin melakukan evaluasi tarif," terangnya di Jakarta, Rabu (8/5/2019).

Alasan diberlakukanya sistem kuesioner ialah untuk mendapatkan masukan yang lebih mendalam. Lantaran, dari pihak asosiasi saja menurutnya masih kurang cukup.

"Kalau selama ini harus hanya diwakili para asosiasi saja. Dan itu maaf kata, bisa jadi tidak meng-cover semuanya. Tapi kami dengan mereka ini sangat cair sekali. Kita selalu diskusi. Nah hasil itu nanti kita diskusikan dengan aplikator, dengan macam macam," kata dia.

Dia pun tidak menampik bahwa memang Kemenhub menerima komplain dari beberapa kota terkait penerapan tarif ojek online baru ini.

"Tetapi memang ada indikasi di beberapa kota, terutama bukan di Jakarta lah. Semacam Bandung dan sebagainya itu indikasinya ada komplain terlalu mahal sehingga order terlalu mahal," ucapnya.


Sempat Ubah Tarif Baru, Pengamat Nilai Gojek Permainkan Regulasi

Pengemudi ojek online menunggu penumpang di Jakarta, Selasa (19/3). Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memastikan aturan ojek online sudah ditandatangani pada 11 Maret 2019. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Tarif baru ojek online per 1 Mei 2019 lalu mulai efektif diberlakukan di lima kota besar, yakni Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar.

Tak berselang lama, aturan ini sempat disiasati secara sepihak oleh Gojek yang coba menurunkan tarif, meski kemudian kembali menaikkannya.

Menyikapi hal tersebut, Pengamat Transportasi dan Ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Darmaningtyas menganggap, Gojek seolah mempermainkan aturan yang telah ditetapkan lewat berbagai perhitungan.

"Mereka main-main saja dengan aturan. Mungkin lebih berpikir soal keuntungan, tidak berpikir untuk keselamatan pengemudi. Karena dengan tarif yang rendah pengemudi dikejar-kejar untuk mengejar poin, akhirnya keselamatan terabaikan," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Rabu (8/5/2019).

Sebagaimana diketahui, Gojek sempat mengubah hitungan ongkos per kilometer (km) untuk wilayah Jabodetabek pada Sabtu, 4 Mei kemarin.

Dalam sebuah foto pemberitahuan, tercantum data tarif  minimum Rp 9.000 per order dengan tarif dasar 0-9 km sebesar Rp 1.900 per km, dengan ongkos per km akan meninggi menjadi Rp 3.000 bila di atas 9 km.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya