Liputan6.com, Tripoli - Kelompok bersenjata dilaporkan menyerbu ruang kendali artesis di ibu kota Libya, dan beberapa wilayah sekitarnya, pada Minggu 19 Mei.
Tindakan itu menyebabkan jutaan orang kehilangan pasokan air bersih di tengah musim panas yang memburuk, demikian sebagaimana dikutip dari The Guardian pada Selasa (21/5/2019).
Kelompok bersenjata itu merebut ruang kontrol di Jafara, yang dijalankan oleh sebuah konsorsium berjuluk proyek Great Man-Made River.
Baca Juga
Advertisement
Proyek itu mengangkut air melalui jaringan pipa bawah tanah dari Sahara ke Tripoli yang berpenduduk sekitar 2 juta orang, dan juga beberapa daerah pesisir lainnya di Libya.
Kelompok itu memaksa petugas terkait untuk menutup pipa air yang terhubung ke sumur bawah tanah.
Menurut laporan intelijen setempat, kelompok terkait merupakan pendukung Marsekal Darat Khalifa Haftar, yang memimpin Tentara Nasional Libya (LNA).
Pasukan Haftar mendominasi bagian timur dan selatan Libya, di mana telah berusaha untuk mengambil alih ibu kota dari pemerintah yang didukung PBB, GNA.
Dugaan keterkaitan dengan Haftar telah diperdebatkan, di mana beberapa mengklaim bahwa kelompok bersenjata itu beroperasi secara independen.
Muncul pula tuduhan bahwa GNA sengaja menciptakan tautan khusus untuk melemahkan dukungan bagi jenderal yang kontroversial itu.
Pasokan Air Bersih Tidak Boleh Disabotase
Badan yang mengawasi proyek air itu, yang pertama kali ditugaskan oleh mantan diktator Libya Moammar Khadafi, menegaskan pihaknya tidak pernah memihak dalam perselisihan sipil saat ini.
Namun, otoritas terkait mengatakan pasokan air tidak boleh digunakan untuk mengejar kepentingan apa pun.
"Air adalah hadiah Tuhan untuk semua dan tidak boleh digunakan untuk mendikte atau menawar dalam kondisi apa pun," kata perwakilan otoritas itu.
Akibat sabotase tersebut, air bersih tidak hanya akan terputu ke Tripoli, tetapi juga ke Gharyan dan beberapa kota pegunungan barat lainnya.
Tidak diketahui berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memulihkan pasokan air bersih, tetapi insiden tersebut menggarisbawahi kerentanan struktur sipil Libya terhadap perang yang berkepanjangan.
Advertisement
400 Orang Tewas
Sementara itu, menurut laporan Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO)pada awal Mei, setidaknya hampir 400 orang tewas dan 1.936 lainnya terluka, sejak pasukan pemberontak pimpinan Jenderal Khalifa Haftar melancarkan serangan untuk merebut ibu kota Libya, Tripoli bulan lalu.
Disebutkan pula bahwa lebih dari 50.000 orang telah mengungsi sebagai akibat langsung "dari konflik bersenjata yang semakin meningkat di Tripoli", menurut badan PBB lainnya, Organisasi untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (UNOCHA).
"Kami prihatin dengan angka perpindahan yang mengkhawatirkan," kata OCHA pada hari Jumat di Twitter, seperti dikutip dari Manila Bulletin.
Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Haftar memulai kampanye militer terhadap Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang berbasis di Tripoli pada 4 April 2019.
Pasukan loyalis GNA yang diakui secara internasional sejak itu telah meluncurkan serangan balasan, yang mengarah ke kebuntuan di wilayah pinggiran selatan ibukota.