Respons Grab Indonesia Soal Keluhan Tarif Ojek Online Mahal

Tarif ojek online ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Perhubungan.

oleh Bawono Yadika diperbarui 21 Mei 2019, 20:48 WIB
Pengemudi ojek online menunggu penumpang di Senayan, Jakarta, Selasa (19/3). Permenhub No.12 tahun 2019 mengatur empat hal yakni, keselamatan, kemitraan, suspensi mitra driver dan biaya jasa atau tarif ojek online. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Penerapan tarif baru ojek online (ojol) kini sudah berjalan hampir sebulan lamanya. Banyak keluhan yang menyebut bahwa tarif baru itu cukup mahal. Padahal tarif tersebut ditetapkan oleh pemerintah melalui Kementerian Perhubungan.

Sebagai operator, Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi mengatakan, perusahaan akan mengikuti keputusan yang telah ditetapkan pemerintah.

Dia menjelaskan, pemerintah pasti telah mempertimbangkan masak-masak alasan di balik pemberlakuan tarif ojol baru tersebut.

"Kalau kita selalu mengikuti dengan pemerintah jujur saja. Kita follow apa yang pemerintah katakan karena itu juga menyangkut kepentingan driver. Kita selalu melihat itu," ujarnya kepada Liputan6.com di Kedutaan Besar Australia, Jakarta, Selasa (21/5/2019).

Dia menambahkan, keberlangsungan hidup pengemudi ojol juga perlu diperhatikan. Pihaknya yakin pemerintah ikut pula memikirkan aspek tersebut.

"Pemerintah naikkan tarif pasti ada alasannya dan tentu saja akan kami ikuti. Kita yakin salah satu pertimbangannya yakni the well-being of the driver supaya lebih baik," ujarnya.


Lakukan Perang Tarif, Ojek Online Bisa Kena Denda

Pengemudi ojek online berkonvoi saat menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung MPR DPR, Jakarta, Senin (23/4). Polisi menyiagakan 7.000 personel mengamankan unjuk rasa pengemudi ojek online. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Kementerian Perhubungan telah menetapkan besaran tarif ojek online yang berlaku efekif pada 1 Mei 2019 lalu. Lahirnya aturan tersebut kemudian menimbulkan aksi perang tarif bagi dua aplikator seperti Gojek dan Grab. Sebab, subsidi dan perang tarif menjadi bagian dari skema promosi oleh keduanya.

Mantan Ketua Komisi Pengawas Pesaing Usaha (KPPU) Periode 2015-2018, Syarkawi Rauf, mengatakan apabila promo yang diberikan kedua aplikator tersebut terindikasi ada praktik predatory pricing atau dikenal dengan monopoli, maka KPPU secara tegas dapat menjatuhkan sanksi berupa denda.

"Sanksinya dari KPPU, pengalaman saya untuk tindakan seperti ini biasanya disanksi denda. Cuma kelemahannya Undang-Undang Persaingan kita (denda) maksimum Rp 25 miliar," katanya saat ditemui di Jakarta, seperti ditulis Selasa (21/5).

Seperti diketahui berdasarkan Undang-Undang Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat mengatur ketentuan denda minimal sebesar 1 miliar dan maksimal Rp 25 miliar.

Dalam pasal 47 UU No. 5 Tahun 1999 menyatakan tindakan Administrasi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa: (g) Pengenaan denda serendah-rendahnya Rp 1 miliar dan setinggi-tingginya Rp 25 millar.

Kendati demikian, Syarkawi menyebut status denda yang ditetapkan dalam undang-undang tersebut tidak akan memberikan dampak besar, apalagi kedua aplikator tersebut kini sudah menyandang status decarcon atau startup yang telah memiliki valuasi atau nilai sedikitya USD 10 miliar.

"Kalau di Jepang denda ia mencapai 30 persen keuntungan atau aset itu bisa meberikan efek jera," pungkasnya.

Sebelumnya, untuk mengantisipasi adanya perang tarif, Syarkawi mendesak Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk merevisi kembali Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 agar dapat lebih memastikan persaingan.

Menurutnya ada beberapa butir poin yang kemudian perlu untuk dimasukan di dalam aturan tersebut. Seperti misalnya membatasi promo pada batas yang wajar, termasuk diantaranya jumlah promo tidak jauh di bawah biaya atau terindikasi mematikan pesaingan. Kemudian selanjutnya adalah pemberian sanksi bagi aplikator yang terindikasi melakukan promo tidak wajar.

Di samping itu, dirinya juga meminta agar KPPU lebih aktif melakukan pengawasan berupa tindakan bagi salah satu operator yang diduga menggunakan praktik perang harga.

"KPPU dituntut lebih aktif masuk ke industri ini. Sebab ini sangat penting masyarakat kita lebih produktif, terbantu dengan transportasi murah akibat aplikasi online. Keberlangsungan industri ini harus diperhatikan," pungkasnya

 

Reporter: Dwi Aditya Putra

Sumber: Merdeka.com


KPPU Diminta Waspadai Praktik Monopoli di Bisnis Ojek Online

Regulator persaingan usaha diminta untuk mewaspadai gejala perilaku persaingan usaha tidak sehat di bisnis ojek online (Ojol).

Hal ini perlu dilakukan seiring diberlakukannya secara penuh Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 12 Tahun 2019 tentang Perlindungan Keselamatan Pengguna Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat dan Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KP 348 Tahun 2019 tentang Pedoman Perhitungan Biaya Jasa Penggunaan Sepeda Motor Yang Digunakan Untuk Kepentingan Masyarakat Yang Dilakukan Dengan Aplikasi.

"Walau tarif sudah ada aturannya, tapi ada gejala di lapangan aplikator perang diskon, perang harga, dan promosi dengan menggunakan segala dalih. Nah di sini harus berperan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)," ujar Pengamat dari Masyarakat Transporasi Indonesia Djoko Setijowarno di Jakarta, Kamis (9/5/2019).

Menurut dia, KPPU bisa mencegah agar aplikator tidak perang harga atau melakukan permainan harga.

"Sekali lagi yang harus berperan adalah KPPU. Kementrian Perhubungan (Kemengub) kalau soal tarif ini enggak bisa berperan banyak. Perhubungan cuma bisa menentukan. Kalau soal pengawasan atau ada masalah di implementasi tarif yang menjurus ke persaingan usaha tak sehat ada di KPPU," tambahnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya