Liputan6.com, Kolaka - Menggerakkan warga bersama-sama untuk mencapai tujuan atau dikenal dengan istilah people power, ternyata sudah menjadi budaya di Sulawesi Tenggara (Sultra) sejak dahulu. People power bukan dipraktikkan warga di Sultra saat momen politik, tetapi terlihat ketika seorang tetangga butuh bantuan mendadak dan tidak bisa menyelesaikan sendiri.
Salah satu contoh people power dengan kearifan lokal ini adalah budaya memikul dan memindahkan rumah. Rumah seseorang akan dipikul beramai-ramai oleh tetangganya saat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Rumah yang dipindahkan biasanya berbentuk rumah panggung. Rumah berbahan kayu yang berlantai papan dan memiliki 4 kaki atau lebih.
Baca Juga
Advertisement
Sebelum rumah dipindahkan, warga merakit sejumlah kayu panjang atau bambu yang melintang dari sisi satu ke sisi lainnya. Warga kemudian mengangkat dan memikul ujung bambu secara bersamaan yang berada di sisi masing-masing rumah.
"Kalau mengangkat itu gampang. Yang agak sulit itu merakit kayu untuk mengangkat dan menjaga keseimbangan rumah saat dipindahkan," ujar Aksan, warga Kolaka yang pernah memindahkan rumahnya.
Aksan melanjutkan, memindahkan rumah perlu seorang pemandu yang berpengalaman. Biasanya seorang ketua adat atau orang tua.
"Jadi, dia bisa lihat rumah itu diangkat lurus atau tidak, rumah yang diangkat itu digotong warga sesuai jalur atau tidak itu urusan orang yang dipercaya jadi pemandu," ujar Aksan.
Memindahkan rumah di Sulawesi Tenggara biasanya sebagai bentuk tolak bala atau mencari lahan yang lebih baik. Namun, pada beberapa kasus, rumah warga dipikul beramai-ramai karena terdesak atau bahkan diusir.
Asal Muasal Tradisi Memikul Rumah
Memikul rumah untuk dipindahkan biasanya dilakukan jika seseorang ingin pindah atau terpaksa dilakukan karena desakan situasi. Situasi ini lumrah karena didesak warga atau adanya kepercayaan soal posisi rumah yang dinilai tak memiliki hoki yang baik.
"Pindah rumah itu biasanya harus diawali dengan doa bersama agar memindahkan rumah bisa lancar," ujar warga Kota Kendari, Zulkifli.
Setelah itu, semua perabotan di dalam rumah dikeluarkan. Bahkan, beberapa bagian rumah yang dianggap besar, akan dibuka sementara sebelum rumah dipikul warga.
Setelah rumah dipindahkan, akan ada syukuran. Pemilik rumah biasanya menyediakan makanan bagi warga yang telah mengangkat rumah dengan susah payah.
Awalnya, budaya ini dianggap sebagai budaya asli suku Bugis Makassar. Namun, ternyata di Sulawesi Tenggara sejumlah suku lokal sudah melakukannya sejak dahulu.
Umumnya, warga yang mempraktikkan budaya ini bermukim di pedesaan. Mereka kebanyakan datang dari kalangan petani.
"Memang, selain menghindari banjir atau hewan buas petani biasanya membangun rumah berbentuk panggung. Keuntungannya, rumah bisa dipindah sewaktu-waktu jika diperlukan," ujar Suhandi, salah satu warga lainnya.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement