Liputan6.com, Riyadh - Tiga ulama atau cendekiawan Arab Saudi terkemuka yang ditahan oleh Riyadh atas berbagai tuduhan "terorisme", akan dijatuhi hukuman mati, menurut sebuah laporan.
Mengutip dua sumber pemerintah dan salah satu kerabat terpidana, Middle East Eye pada Selasa (21/5) melaporkan tiga orang: Sheikh Salman al-Awdah, Awad al-Qarni dan Ali al-Omari akan dihukum dan dieksekusi setelah Ramadan berakhir atau sekitar pertengahan Juni 2019.
Tidak ada komentar dari otoritas Arab Saudi tentang laporan tersebut, demikian dilaporkan Middle East Eye.
Baca Juga
Advertisement
Al-Awdah adalah cendekiawan Islam progresif yang terkenal secara internasional dan digambarkan oleh para ahli PBB sebagai "reformis", al-Qarni adalah seorang pengkhotbah, akademisi dan penulis, dan al-Omari adalah penyiar populer.
"Mereka tidak akan menunggu untuk mengeksekusi orang-orang ini begitu hukuman mati telah dijatuhkan," kata satu sumber tanpa nama kepada Middle East Eye, seperti dilansir Al Jazeera, Rabu (22/5/2019).
Sumber pemerintah Saudi lainnya mengatakan, rencana eksekusi tiga cendekiawan atau ulama tersebut dan 37 orang lainnya bulan lalu, digunakan sebagai "uji coba" untuk mengukur kekuatan kecaman internasional, lapor media itu.
"Ketika mereka menemukan ada reaksi internasional yang sangat sedikit, khususnya di tingkat pemerintahan dan kepala negara, mereka memutuskan untuk melanjutkan rencana mereka untuk mengeksekusi tokoh-tokoh yang menonjol," kata sumber lain, yang juga berbicara dengan syarat anonimitas, seperti dikutip dari Middle East Eye.
Siapa Mereka?
Seperti dikutip Middle East Eye, Salman al-Awdah adalah ulama dan cendekiawan Islam pencetus gerakan Sahwa yang memiliki banyak simpatisan internasional berkat karya tulis dan penampilannya di acara TV. Dia pernah dipenjara pada 1994 atas tuduhan "aktivitas anti-pemerintah" dan terkenal mencerca Osama bin Laden dalam acara live TV tentang peringatan 6 tahun 9/11.
Sementara Awad al-Qarni dan Ali al-Omari adalah ulama dan cendekiawan Arab Saudi serta aktif dalam gerakan Sahwa. Sering tampil di TV dan radio serta pernah merilis buku dan artikel. Memiliki banyak simpatisan internasional, dan oleh karenanya, diblokir oleh pemerintah Saudi.
Memicu Kecaman
Penahanan ketiga cendekiawan itu telah memicu kecaman PBB dan Kementerian Luar Negeri AS, serta kelompok hak asasi manusia Human Rights Watch (HRW), Reprieve dan Amnesty International.
Pada bulan September 2018, setahun setelah penangkapannya, Salman al-Awdah muncul di persidangan tertutup Pengadilan Kriminal Khusus, pengadilan yang dibentuk oleh kementerian dalam negeri Saudi untuk mengadili kasus-kasus terorisme. Odah kemudian dituduh oleh jaksa penuntut khusus atas 37 tuduhan terorisme.
Ini termasuk dugaan afiliasi dengan "organisasi teroris", yang oleh penuntut disebut sebagai Ikhwanul Muslimin dan European Council for Fatwa and Research, dua organisasi Islam internasional terkemuka.
Serangkaian dakwaan kedua menuduhnya mengekspos "ketidakadilan terhadap tahanan" dan "mengungkapkan sinisme dan sarkasme tentang prestasi pemerintah".
Serangkaian tuduhan ketiga menuduh afiliasi dengan keluarga kerajaan Qatar dan mengutip keengganan publik al-Awdah untuk mendukung boikot yang dipimpin Saudi di Semenanjung Emirat.
Dua hari sebelum pembunuhan brutalnya di konsulat Saudi di Istanbul, jurnalis Saudi Jamal Khashoggi mengatakan kepada teman-teman di London bahwa 37 tuduhan ini mengungkapkan semua yang perlu mereka ketahui tentang aturan hukum di kerajaan di bawah penguasa de facto, Putra Mahkota Mohammed bin Salman.
"Dia akan menghancurkan perbedaan pendapat. Tuduhan ini harus dipublikasikan," kata Khashoggi saat itu.
"Al-Awdah akan dieksekusi bukan karena dia ekstremis. Itu karena dia seorang moderat. Itu sebabnya mereka menganggapnya ancaman."
Advertisement
Kata Pengamat
Bereaksi terhadap laporan Middle East Eye, direktur Timur Tengah HRW Sarah Leah Whitson mengatakan: "Setiap eksekusi lebih lanjut dari para pembangkang politik adalah konsekuensi langsung dari lingkungan pendukung pemerintahan Trump, dan berulang-ulang: tidak peduli apa pun pelecehan keji yang Anda lakukan melawan orang-orangmu, AS tetap mendukung Saudi."
Ali al-Ahmad, seorang tokoh lama oposisi Saudi dan kepala lembaga think-tank Gulf Affairs yang berbasis di AS, menyebut langkah yang dilaporkan untuk mengeksekusi tiga orang terkemuka itu sebagai "kejahatan untuk meneror warga negara Saudi ke dalam kepatuhan."
"Sistem pengadilan Saudi kurang lebih merupakan sistem pengadilan kangguru (istilah untuk pengadilan yang non-yuridis)," kata al-Ahmad kepada Al Jazeera dari Washington, DC.
Tapi Yahya Assiri, pendiri ALQST, organisasi hak asasi manusia Saudi yang berbasis di London, menyebut laporan berita itu tidak benar dalam tweet dalam bahasa Arab.
Namun, ia menulis, "... Tidak ada yang dihukum atau dieksekusi ... Berita ini berbahaya bagi korban dan situasi hak asasi manusia dan pekerjaan kami."