Liputan6.com, Pekanbaru - Kecamatan XIII Koto Kampar, Riau, bakal jadi tujuan umat Buddha pada puncak perayaan Hari Waisak 25 Mei nanti. Helat akan dilakukan di Candi Muara Takus yang dipercaya sebagai situs budaya peninggalan abad ketujuh.
Selama ini, tak banyak yang tahu ada candi di Riau, apalagi Bumi Lancang Kuning dikenal sebagai pusat kebudayaan Melayu. Biasanya, keberadaan Candi Muara Takus hanya disinggung sedikit di buku sejarah sekolah dan beberapa artikel di internet.
Candi ini bisa dibilang sebagai situs kebudayaan terbesar, dibanding beberapa bangunan bersejarah lainnya di Pulau Sumatra. Keberadaannya diyakini sebagai pusat kota suci kerajaan terbesar di Sumatra kala itu.
Baca Juga
Advertisement
Menurut juru pandu Candi Muara Takus, Suhaimi Zen, bangunan bersejarah itu merupakan peninggalan kerajaan Hindu/Buddha, Sriwijaya. Hal itu terlihat dari beberapa tulisan dan simbol di sekeliling candi.
"Hindu yang pakai sabda Buddha, begitu bahasanya, sudah ada sejak abad ketujuh," kata pria dipanggil Ongku Imi ini dihubungi dari Pekanbaru.
Ongku Imi menjelaskan, candi ini pernah dijadikan Sriwijaya sebagai pusat peradaban dan kota suci untuk menjalankan ritual keagamaan. Dia pun berani menyatakan bahwa cikal bakal atau moyangnya Sriwijaya berasal dari candi ini.
Ongku Imi sadar pernyataan ini bisa saja menuai kontroversi. Apalagi, selama ini Kerajaan Sriwijaya diklaim Palembang, Sumatra Selatan, pernah berdiri kokoh di sana dengan beberapa bukti autentiknya.
"Kalau berbicara Seribu Jaya atau Sriwijaya di Muara Takus pusatnya, dinasti luar menyebutnya dengan Sriwijaya, tapi Sriwijaya yang mana dulu," sebut Ongku Imi.
Penelitian Kurang Serius
Ongku Imi berpendapat, pada abad ketujuh dan kedelapan di Palembang ada Sriwijaya Nasa. Kemudian ada pula Sriwijaya Nusantara sebagai induk kerajaan yang berpusat di Muara Takus, sekaligus kota sucinya.
"Begitu kira-kira, kalau bicara ini memang sejarawan lawannya, kalau kurang setuju, saya di sini (selalu di Muara Takus)," ucap kuncen Muara Takus yang juga dipanggil Manglin Vbongsu ini.
Dengan pengetahuannya yang lebih terhadap Muara Takus karena sudah sejak kecil di sana, Ongku Imi ternyata masih enggan merangkum sejarah Candi Muara Takus menjadi buku. Ada banyak alasan kenapa dia belum berniat melakukannya.
Selain menimbulkan pendapat baru tentang keberadaan Kerajaan Sriwijaya, Ongku Imi takut buku yang nantinya ditulis ditunggangi banyak kepentingan, baik itu oleh sejarawan maupun pemerintah.
"Jadi begitu nantinya dikeluarkan, banyak kepentingan, habis itu kita dicampakkan, begitulah kira-kira," sebut Ongku Imi.
Meski belum mau menulis sendiri, Ongku selalu berkenan menemani atau menjadi pemandu peneliti dan sejarawan yang ingin mempelajari Candi Muara Takus. Hanya saja, peneliti yang datang dianggapnya kurang serius mempelajari Candi Muara Takus.
Menurutnya, hal pertama yang harus dilakukan untuk meneliti Candi Muara Takus adalah mempelajari perairan atau sungai. Daerah ini menjadi pertemuan antara Sungai Kampar Kiri dan Kanan yang juga terhubung ke Sungai Rokan.
"Harus dikaji Sungai Kampar, Tapung, Rokan, Kuantan Singingi, dan Indragiri yang saling terhubung. Kemudian menyambung ke Batang Hari, Jambi ataupun ke Musi di Palembang," katanya.
Advertisement
Yayasan Kajian Muara Takus
Menurutnya, penelitian kehidupan masyarakat sungai sangat penting dalam peradaban. Dari situ peneliti bisa menemukan jejak-jejak kehidupan masyarakat zaman dahulu serta kemajuannya.
Penelitian sungai-sungai mengarah ke Candi Muara Takus ini bisa memakan waktu hingga 10 tahun. Berbekal pengetahuan dari sungai, barulah kemudian naik ke darat untuk meneliti situs peninggalan peradaban.
"Dari sungai ini baru diketahui asal muasal Muara Takus. Dan selama riset dilakukan, jangan bicarakan riset orang lain, biar murni hasil penelitiannya," sebut Ongku Imi.
Dia menjelaskan, data-data sejarah Candi Muara Takus bisa diperoleh dari berbagai sumber. Selain dirinya sebagai kuncen candi, ada juga beberapa yayasan yang bisa dijadikan sumber.
"Ada Pusat Kajian Andiko 44, itu berisi orang yang tahu sejarah Kampar, kemudian ada Yayasan Kari yang khusus mengkaji tentang Muara Takus," ucap Ongku Imi.
Dengan ditunjuknya Candi Muara Takus sebagai puncak perayaan Hari Waisak Nasional, Ongku Imi berharap perhatian pemerintah, terutama Kampar, kian besar terhadap masyarakat sekitar.
"Selama ini pemerintah ke mana saja, perhatikan masyarakat sekitar Muara Takus ini. Jangan baru ada acara, baru berbicara Muara Takus," ucap Ongku Imi.
Simak video pilihan berikut ini: