Liputan6.com, Jalur Gaza - Bulan lalu, Aisha, bocah Palestina di Jalur Gaza yang berusia lima tahun, mengalami muntah dan disertai sakit kepala.
Kondisinya memburuk sejak itu, sehingga keluarga membawa Aisha ke rumah sakit. Setelah menjalani pemeriksaan medis, ketakutan terburuk setiap orang tua terbukti.
Aisha didiagnosis menderita kanker otak.
"Berita itu mengejutkan saya seperti petir," Mona Lulu, ibu Aisha, mengatakan kepada Al Jazeera dari rumahnya di kamp pengungsi al-Bureij, Gaza Palestina, dilansir pada Kamis (23/5/2019).
Baca Juga
Advertisement
Aisha menjalani operasi mendesak di Rumah Sakit al-Shifa di Kota Gaza. Namun itu tidak cukup.
Dia membutuhkan transfer medis untuk pergi ke Rumah Sakit Augusta Victoria di Yerusalem Timur yang diduduki Israel, guna mendapat perawatan lebih lanjut.
Tetapi ketika tiba saatnya untuk memutuskan yang mana dari orang tua Aisha akan pergi bersamanya, mereka menemukan bahwa keputusan itu di luar kendali mereka.
"Aku dan ibunya melamar (kepada otoritas imigrasi Israel) dan kami berdua ditolak," kata ayah Aisha, Wesam.
Tak satupun anggota keluarga Aisha mendapatkan izin dari Israel untuk melintas dari Jalur Gaza Palestina yang diblokade menuju Yerusalem Timur yang diduki Israel.
Bahkan, pengajuan oleh anggota keluarga besar ditolak, satu-satunya tanggapan adalah bahwa aplikasi tersebut sedang menunggu "pemeriksaan keamanan", yang bisa memakan waktu berbulan-bulan.
Genting
Keluarga Mona Lulu dan Wesam berpacu dengan waktu karena kondisi Aisha memburuk dari hari ke hari.
Seorang lansia, teman dari bibi Aisha menawarkan diri untuk menemani Aisha. Permohonannya disetujui oleh otoritas Israel.
"Mereka (Israel) mengizinkan orang asing, seorang perempuan tua yang juga memiliki masalah kesehatan sendiri, untuk menemani putri saya, tetapi kami, orangtuanya sendiri, tidak diizinkan," kata Wesam.
"Hukum macam apa yang memungkinkan ini terjadi?" dia menambahkan dengan getir.
Badan COGAT Israel, yang mengeluarkan izin bagi warga Palestina untuk bepergian dari Jalur Gaza ke Israel, mengatakan orangtua Aisha tidak ingin menemani putri mereka.
"Orangtuanya menandatangani surat pemindahan kuasa, yang mengatakan bahwa mereka tidak ingin meninggalkan Jalur Gaza bersamanya, dan sebaliknya meminta dia keluar dari Gaza ditemani oleh seorang teman keluarga, yang memasuki Israel bersamanya dan tinggal bersamanya selama pengobatan," kata COGAT dalam pernyataan diemail ke Al Jazeera.
Wesam mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dia dan istrinya tidak menolak untuk menemani putri mereka untuk perawatan. Dia mengatakan bahwa setelah mereka putus asa menunggu izin yang sangat lama terbit, barulah mereka menandatangani dokumen yang memungkinkan seorang perempuan asing untuk menemani Aisha keluar dari Gaza.
"Bagaimana saya menolak untuk menemani putri saya sendiri untuk merawatnya?" kata Wesam.
"Saya kemudian memohon kepada badan-badan hak asasi manusia untuk campur tangan dan mengeluarkan izin? Saya bahkan meminta lembaga-lembaga Israel untuk membantu saya tetapi tidak berhasil."
Advertisement
Dibolehkan Pergi Bersama Orang Asing
Mona mengatakan dia tidak akan pernah melupakan momen pada 17 April 2019 ketika dia harus mengucapkan selamat tinggal kepada Aisha saat dia pergi ke Yerusalem Timur.
"Aku merasa seperti jiwaku telah diambil dari dadaku," katanya kepada Al Jazeera. "Aku merasa dia tidak akan kembali."
Di Rumah Sakit Augusta Victoria, Aisha menjalani operasi untuk mengangkat sebagian tumor dari otaknya.
"Kita semua tegang," kata Wesam. "Kami terus menelpon wanita yang menemani Aisha untuk pembaruan."
Ketika Aisha bangun, keluarganya sedang berbicara di telepon, dengan sabar menunggu untuk berbicara dengannya.
Gadis kecil itu hanya punya satu pertanyaan: "Kapan kamu akan datang?" ulangnya, berulang-ulang.
"Dia baru saja menangis di telepon," kata Mona, yang juga menangis. "Jika aku berada di sisinya, aku akan menghiburnya, memegangnya di dadaku, merawatnya."
Meninggal
Mona hanya bisa berada di sisi putrinya beberapa hari kemudian ketika Aisha dikirim kembali ke Gaza. Dia sudah berhenti makan dan berbicara, dan dokternya merekomendasikan dia kembali ke Gaza untuk bersama keluarganya.
"Mereka tahu dia menjalani hari-hari terakhirnya, jadi mereka berkata, 'Biarkan dia menghabiskan waktu bersama keluarganya di Gaza,'" kata Wesam.
Aisha tiba di Gaza hampir tidak bergerak, hanya mengedipkan matanya, dan segera dirawat di Rumah Sakit al-Rantisi di Kota Gaza.
"Aku harus menyerah pada kenyataan pahit. Putriku sedang sekarat," kata Mona.
Pada malam 15 Mei 2019, Aisha menghembuskan napas terakhir.
"Aku mengawasinya di saat-saat terakhirnya, dipenuhi dengan ketidakberdayaan. Aku hanya bisa menangis dan mencium tangannya," kata ibunya.
"Putriku meninggal karena kanker akibat kondisi mentalnya yang memburuk."
Mohammed Abu Selmiya, direktur rumah sakit anak al-Rantisi di Gaza, mengatakan bahwa faktor psikologis sangat penting selama periode pemulihan.
"Ketika seorang anak menjalani operasi di rumah sakit kami, kata pertama yang mereka ucapkan ketika mereka bangun adalah: 'Di mana mama? Aku ingin ibuku,'" katanya.
Advertisement
Dipersulit
Mohammed Abu Selmiya, direktur rumah sakit anak al-Rantisi di Gaza, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa beberapa anak yang menderita kanker stadium lanjut tidak dapat dirawat di rumah sakit di sana karena kurangnya peralatan yang diperlukan.
Mereka kadang-kadang diimbau untuk transfer medis ke fasilitas di Tepi Barat yang diduduki, Yerusalem atau kota-kota di Israel.
"Saat rujukan medis dikeluarkan, dalam banyak kasus pihak berwenang Israel mencegah ibu atau ayah untuk menemani anak itu," kata Abu Selmiya.
"Kadang-kadang, pihak Israel mengatakan bahwa para orang dewasa tengah di bawah 'pemeriksaan keamanan', yang memakan waktu lebih dari dua minggu. Dan hal ini mengarah pada kemunduran kondisi kesehatan pasien anak."
Abu Selmiya menyerukan kepada organisasi hak anak, seperti UNICEF, untuk campur tangan guna menyelesaikan krisis bagi anak-anak penderita kanker di Gaza yang dipaksa melakukan perjalanan untuk perawatan tanpa orang tua mereka.