OPINI: Ibu Kota Baru dan Peradaban Baru

Pemilihan ibu kota baru yang secara geografis condong ke kawasan timur, bisa meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan rakyat.

oleh Liputan6.com diperbarui 23 Mei 2019, 15:48 WIB
Pemandangan gedung bertingkat di Jakarta, Selasa (30/4/2019). Pemerintah berencana memindahkan ibu kota dari Jakarta lantaran Pulau Jawa dinilai sudah terlalu padat penduduk. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Gagasan pemindahan ibu kota baru kembali digulirkan Presiden Jokowi baru-baru ini. Pemindahan ibu kota bukanlah sesuatu fenomena baru, banyak negara telah melakukannya, seperti Brasil, Pakistan, Nigeria, Jerman, dan baru-baru ini Israel.

Bagi Indonesia sendiri, gagasan untuk pemindahan ibu kota negara sudah dirintis Presiden Soekarno pada dekade 1950-an. Bahkan proyeksi lokasi juga sudah ditetapkan, yakni Palangkaraya (kini ibu kota Kalimantan Tengah).

Sebagaimana Soekarno, Jokowi yang juga dikenal sebagai presiden visioner, ingin mewujudkan cita-cita lama pendahulunya tersebut. Semoga pada periode kedua pemeritahan Jokowi, pergerakan (progress) menuju ibu kota baru menemukan wujud konkretnya. Perpindahan ibu kota baru, selain cita-cita, juga sebuah momentum historis bila tidak diwujudkan segera, entah kapan lagi datang kesempatan seperti ini.

Sekarang atau tidak sama sekali. Penulis ingin sedikit sumbang saran terhadap mega proyek rezim Jokowi tersebut, satu catatan penting, bahwa selain soal pembangunan infrastruktur, perlu juga dipikirkan “spirit” dari ibu kota yang baru nanti. Ibarat sebuah lukisan yang bagus, selain enak dipandang, idealnya lukisan juga berjiwa.

Spirit kebangsaan

Ibu kota yang baru adalah harapan. Selain prima dalam mendukung administrasi pemerintahan, ibu kota juga merupakan etalase negeri. Kita berharap, keberadaan ibu kota baru juga meningkatkan martabat kita sebagai bangsa.

Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah membangun infrastruktur kesenian. Banyak rakyat kita kreatif di bidang kesenian, sehingga kita bisa melihat kota-kota seperti Jakarta, Bandung, Yogya, Solo, Surabaya, Jember, Banyuwangi, dan seterusnya, memiliki kantong-kantong kegiatan kesenian. Panggung kesenian menjadikan jiwa warga sebuah kota tidak “kering”.

Bisa jadi pembangunan infrastruktur kesenian bukan prioritas, namun hal itu jangan dilupakan. Salah satu problem masyarakat kita adalah jiwa yang kosong, sanubarinya kurang terlatih, sehingga tidak sensitif atas situasi lingkungan. Kekosongan jiwa itulah yang menjadi penyebab, masyarakat kita hanya sibuk memikirkan kekuasaan dan jabatan saja.

Ada hikmah yang bisa kita dapatkan, bila ibu kota baru benar-benar terwujud kelak, mengingat Jakarta hari ini sudah demikian sesak dan masalahnya sudah begitu menumpuk. Kita bisa menulis berlembar-lembar soal masalah di Jakarta, seperti kemacetan lalulintas tiada henti, penduduk yang berlebih, kesenjangan sosial kaya-miskin, soal ketersediaan air bersih, banjir rutin, dan seterusnya.

Namun yang ingin penulis sampaikan adalah soal fakta historis Jakarta. Nama Jakarta sendiri diambil dari Jayakarta, nama Jakarta sebelum datangnya era kolonial di Abad 17. Walaupun terdapat kata “Jaya”, Jakarta tidak selamanya identik dengan kejayaan. Bahwa Jakarta juga menyimpan kisah pahit, yakni saat kota ini dijadikan pusat pemerintahan kolonial Belanda. Di balik gemerlapnya sebagai kota (Batavia), dari kota ini pula pemerintah kolonial mengatur eksploitasi tanah jajahan secara masif.

Benar, kita membutuhkan ibu kota baru, yang merupakan genuine karya anak bangsa sendiri, sementara Jakarta tetap memiliki posisi terhormat sebagai situs sejarah. Bahwa dari Jakarta pula, dimulai pergerakan nasional melawan kolonial, hingga mencapai puncaknya saat teks Proklamasi dibacakan oleh Soekarno dan Hatta.

Simak video pilihan di bawah ini:


Memecah kesejahteraan

Pemerintah mengkaji pemindahan Ibu Kota pemerintahan dari Jakarta. (Liputan6.com/Abdillah)

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Bambang PS Brojonegoro baru saja menyampaikan program besar pemerintah untuk kurun waktu 2020-2024, yakni pembangunan infrastruktur secara besar-besaran, termasuk menyiapkan ibu kota baru. Estimasi dana yang dibutuhkan sekitar USD 412 miliar(setara Rp 6.000 triliun).

Sebagian besar dana akan terserap pada proyek pembagunan 25 bandara baru, pelabuhan dan pembangkit listrik. Sebagaimana tagline Presiden Jokowi selama ini, bahwa konektivitas adalah yang utama. Proyek besar tersebut bisa dijadikan pendorong peningkatan kesejahteraan wilayah Indonesia Timur.

Kawasan atau wilayah yang bakal dibidik sebagai ibu kota baru adalah Kalimantan, artinya condong ke timur Indonesia. Kawasan timur Indonesia adalah paradoks, wilayah dengan sumber daya alam melimpah, namun rakyatnya tetap miskin, ibarat pepatah lama “ayam mati di lumbung padi”.

Sulit diterima nalar, kekayaan negeri ini justru mengundang petaka. Pengalaman di Timika bisa dijadikan pelajaran pahit, dan tak usah terulang kembali. Kekayaan alam yang dimiliki sebuah negara, dalam kasus Timika adalah emas, justru menjadi sasaran serbuan kepentingan ekonomi berbagai pihak, sehingga rakyat yang tinggal di sekitar lokasi tambang (atau SDA lain), tetap tinggal dalam kemiskinan.

Terpinggirkannya masyarakat adat di kawasan sumber tambang dan perkebunan sawit, seperti di Kalimantan, Sulawesi dan Papua, acapkali kurang mendapat empati dari elite Jakarta maupun lokal, sehingga solusinya juga terkesan parsial, salah satunya melalui program CSR (corporate social responsibility). Sementara akar penyebab kemiskinan tidak pernah tersentuh.

Penulis sengaja memakai istilah “memecah” bukan “membagi” kesejahteraan, maksudnya memang butuh dorongan yang lebih keras (afirmasi) untuk meningkatkan kesejahteraan di kawan Indonesia Timur. Pemilihan ibu kota baru yang secara geografis condong ke kawasan timur, kiranya bisa dijadikan titik masuk menuju cita-cita dimaksud.

Negara sukses

Para ahli ilmu sosial biasa memakai istilah “negara gagal”, untuk menunjukkan pada pemerintahan yang “gagal” dalam memberi kesejahteraan pada rakyat, bukan hanya sebatas pada aspek ekonomi, namun juga rasa aman. Beberapa pengamat sempat menyebut Indonesia memiliki potensi seperti itu, berdasarkan fakta masih tingginya angka kemiskinan, di tengah negara yang memiliki kekayaan alam melimpah.

Memang sesuatu yang ironis, kekayaan kita sebagai bangsa, yang terdiri dari sumber daya alam, dan keberagaman manusianya, saat ini justru dijadikan alasan pembentukan politik identitas. Presiden Jokowi telah mengetahui dengan baik kondisi seperti, bahwa memang ada karakter yang kurang pas dalam masyarakat. Kita menjadi paham sekarang, mengapa Presiden Jokowi mengintrodusir konsep “revolusi mental”.

Dalam pandangan Jokowi, yang dibutuhkan bangsa Indonesia adalah transformasi budaya, dan itu bisa dilalui dengan revolusi mental.Pembentukan karakter harus dilakukan, salah satunya melalui perluasan akses pendidikan kepada generasi baru (milenial). Dalam bidang pendidikan inilah kita masih banyak tertinggal dari negara lain, bahkan di wilayah regional (Asia Tenggara) sekalipun.

Membangun ibu kota (baru) merupakan fase berikutnya dari Jokowi, untuk merintis masa depan yang lebih gemilang bagi Indonesia. Mengingat Jakarta sebagai ibu kota, dirasa sudah tidak lagi kondusif, karena telah tumbuh menjadi residu politik identitas yang berkepanjangan. Kiranya ibu kota yang baru nanti, bisa dijadikan representasi capaian Jokowi dalam menggapai aspirasi “negara sukses”.

 

Penulis

Dono Prasetiyo

Pimpinan Kolektif DPN Seknas Jokowi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya