Liputan6.com, Garut Saat pertama tiba di lokasi yang dituju, nampak anak-anak, muda, tua, baik laki-laki maupun perempuan, mulai memasuki sebuah bangunan milik pengikut sunda wiwitan madrais, sebuah aliran kepercayaan di Kampung Pasir, Desa Cintakarya, Kecamatan Samarang, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Dua buah topeng terpaku di dekat pintu masuk bangunan mirip aula tersebut, sementara sebagian lain yang sudah memasuki ruangan, terlihat khusuk mendengarkan penjelasan yang disampaikan salah satu tetua adat, sekaligus melaksanakan ritual harian.
“Kaleresan nembe bade (ibadah) olahrasa jadwal sonten (Ini kebetulan lagi olah rasa jadwal petang),” ujar Sutisna, (76) salah satu tokoh sepuh sunda wiwitan madrais, saat pertama menyapa Liputan6.com, Kamis (23/5/2019) petang.
Baca Juga
Advertisement
Mengenakan ikat kepala khas sunda, abah Entis biasa masyarakat kampung itu memanggil, nampak berwibawa di depan para pemeluk aliran ajaran sunda buhun tersebut. Sesekali para warga menyalami Abah, untuk sejurus kemudian memasuki Aula.
“Hayu atuh bade ngiring gabung heula (Ayo jika mau bergabung dulu),” ujar dia meminta Liputan6.com, sambil menunjukan ruangan aula yang masih terbuka.
Akhirnya, untuk memudahkan diskusi, Abah Entis memilih duduk di depan bale-bale sebuah bangunan adat di sebelah aula, dia sana berbagi informasi mengenai ajaran sunda wiwitan madrais tersebut.
“Tidak ada yang aneh, ajaran sunda wiwitan mengajarkan bagaimana mengolah rasa dekat dengan gusti (Tuhan),” ujar dia.
Ajaran sunda wiwitan madrais tiba di Garut, pertama kali dibawa Abah Ratma Wijaya sejak akhir abad 18 lalu. Saat itu, wilayah Indonesia yang masih dikuasai penjajah Belanda, mendorong masyarakat dipelosok terutama Garut, untuk mempelajari ilmu kebatinan, terutama meraih kesaktian membela negara.
“Abah ini salah satu tokohnya,” kata dia merujuk kepada sosok abah Ratma ketika berkenalan dengan masyarakat Garut saat itu.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, sunda wiwitan madrais di kampung Pasir, tetap lestari hingga kini, mereka pun nampak bungah melanjutkan tradisi yang telah diturunkan secara turun temurun tersebut. "Biarkan kami sesuai dengan keyakinan kami," kata dia.
Ajarkan Kesaktian
Dalam keseharian, selain membicarakan soal agama dan nasib bangsa, Abah Ratma ujar dia, terbiasa bergabung dengan tokoh sunda wiwitan lainnya seperti kecamatan Cibatu, Limbangan , Wanaraja, dan daerah lainnya, sambil belajar wawanen, kasaten, jajaten atau kesatian. “Tujuan utamanya ya untuk kemanusiaan membela bangsa,” ujar dia.
Ajaran utama sunda wiwitan madrais bertumpu pada tiga ajaran utama yang tergabung dalam ‘Tri Tangtu’ yakni; Pertama, olah ka raga, aya sirah, panangan, sampean, safikir atanapi tekad ucap lampah (Ada kepala, tangan, kaki, satu fikiran antara ucapan dan perbuatan),” kata dia.
Kedua olah ka naga, nusa dan bangsa, yakni kita harus mencintai negara kesatuan Republik Indonesia. “Itu komitmen kami sebagai warga sebagai warga sunda wiwitan adalah negara Indonesia,” ujarnya.
Ketiga olah ka maha kawasa atau Tuhan yang Maha Kuasa yang tergabung dalam kekuasaan ‘Tri Eka karsa’, hiji-hijina Gusti anu kagungan kersa dunya jeng sapangisina (Satu-satunya Tuhan yang memiliki kekuasaan untuk menciptakan dunia berikut isinya),” kata dia.
Dalam praktek ibadah atau ritual keseharian, para pemeluk sunda wiwitan madrais di kampung Pasir, melakukan dua kali ibadah olah rasa yakni pagi sekitar pukul 05.00 dan sore 18.00 petang.
“Eta biasa anu diolah, ada hubungan antara manusia, alam dan kaagungannya dengan gusti (Itu yang biasa diolah, hubungan ibadah antara manusia, alam dan keagungannya),” papar dia.
Advertisement
Ajarkan Toleransi
Ajat Sudrajat, (24), salah satu penganut sunda wiwitan madrais kampung Pasir mengatakan, secara historis ajaran yang mereka anut, berkiblat ke Agama De Jawa Sunda (ADS) yang berpusat di daerah Cigugur, kabupaten Kuningan. “Setiap setahun sekali kami ke sana,” ujar dia.
Konon ajaran Madrais pertama kali disebarkan oleh Pangeran Sadewa Madrais Alibassa Koesoema Widjaya Ningrat, kemudian dilanjutkan Pangeran Tejabuaya, hingga generasi ketiga yang saat ini dipimpin Pangeran Jatikusumaningat.
“Memang secara turun temurun tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kerajaan Padjajaran , Mataram, Galuh hingga Cirebon,” kata dia, sedikit membuka cikal bakal aliran yang mereka anut saat ini.
Dalam kehidupan sehari-hari, sunda wiwitan madrais mengajarkan ajaran welas asih, penuh tatakrama, budidaya, budibasa, hingga wiwaha yuda naraga. “Tatakrama ke saluhureun, misalkan menyebut kata aa atanapi akang ka saluhureun, ke bawahan adik atau ade, atau rai,“ kata dia.
Sehingga dengan pola seperti itu, para pengikut sunda wiwitan madrais jarang berkonflik dengan pihak lain di mana pun mereka berada. “Kami bisa melaksanakan dulu sebelum bertindak, contoh kalau mau mukul, pukul dulu diri sendiri kalau sakit, maka orang lain pun sama,” kata dia.
Untuk itu ada lima dasar yang harus diperhatikan seluruh pengikut sunda wiwitan madrais yakni, soca dua jeung awasna (Mata dengan penglihatannya), Pangambung dua jeung angseuna (Hidung dengan penciumannya).
Cepil dua jeung danguna (telinga dua dengan pendengarannya), Lambey satu jeung ucapna (Lidah satu dengan perkatannya), Panangan dua sampean dua sareng tingkahna (tangan dua kaki dua dengan tingkahnya).
“Ulah satincak-tincakna, ulah sancandak- candakna upami sanes candakeuna (Jangan salah berpijak, jangan asal mengambil hak orang lain hika bukan haknya”,” kata dia.
Ritual Ibadah
Selain warga muslim yang tengah melaksanakan ibadah puasa Ramadan, pengikut ajaran sunda wiwitan pun memiliki tradisi yang hampir sama. “Hanya beda waktu saja, jika orang islam Ramadan, maka kami bulan Rayagung (Bulan haji),” ujar Abah Entis.
Dalam pelaksanaannya, ibadah puasa pengikut sunda wiwitan madrais tercatat lebih lama, dibanding puasa Ramadan yang dilakukan muslim. “Puasa kami 40 hari dan itu wajib,” kata dia.
Kemudian dalam prakteknya, mereka membagi ke dalam empat bagian dengan kewajiban berbuka yang berbeda. “Ada 10 hari pertama, kemudian 10 hari kedua dan seterusnya sampai akhir,” kata dia.
Untuk 10 hari pertama, pemeluk sunda wiwitan madrais wajib berbuka dan sahur memakan bebeutian (hasil pertanian), kemudian 10 hari kedua memakan buah-buahan.
Kemudian pada 10 hari ketiga mengkonsumsi campuran buah-buahan dan hasil pertanian. “Baru 10 terakhir makanan bebas apa saja yang penting halal,” ujar dia.
Akhirnya setelah selesai melaksanakan puasa wajib tersebut, pengikut sunda wiwitan madrais pun menikmati hari besar riyaya atau lebaran setiap tanggal 1 Syura. “Itu lebaran kami berbarengan dengan pergantian tahun,” kata dia.
Sementara dalam pelaksanaannya, perayaan lebaran sunda wiwitan madrais dilaksanakan di dua lokasi berbeda. “Pertama di rumah atau kampung masing-masing puncaknya nanti di Cigugur Kuningan,” ujar Ajat.
Dalam proses itu mereka melaksanakan ritual bersoa bersama, kemudian bersyukur atas nikmat yang diberikan gusti yang dilanjutkan berbagai hiburan rakyat mulai tari buyung, angklung buncis, jamparing apsari, tari progabaya, kaulinan anak.
Advertisement
Cinta Indonesia
Sebagai ajaran yang dibesarkan hasil akulturasi antara kerajaan Padajaran, Mataram kuno dan Galuh, sunda wiwitan madrais mengajarkan falsafah hidup sederhana dan saling menghormati sesama mahluk hidup. “Sebagaimana ajaran siliwangi harus saling membantu,” ujar abah Entis.
Mereka selalu mengedepankan sikap saling menghargai dan menghormati antar sesama, meskipun terjadi banyak perbedaan. “Silahkan saja berbeda keyakinan, sebab kami juga memiliki prinsip hidup sendiri yang sudah ada sejak lama,” kata dia.
Tak pelak dalam kehidupan sehari-hari, sunda wiwitan madrais tetap hidup sahaja berdampingan, termasuk dengan pemeluk islam yang merupakan agaman mayoritas rakyat Indonesia. “Mereka punya Allah, kami punya Gusti nu maha suci, Gusti sikang sawiji-wiji,” ujar dia.
Bahkan sejak diakuinya aliran kepercayaan sebagai agama dalam administrasi kependudukan di Indonesia, komitmen mereka terhadap bangsa Indonesia semakin tebal. “Itu (Cinta negara) sudah masuk dalam ajaran Tri Tangtu,” kata dia.
Ajat menambahkan, sejak diakuinya keberadaan mereka, warga penganut sunda wiwitan madrais Garut, semakin pede menunjukan jati diri. “Kami punya KTP dan diakui sebagai aliran kepercayaan,” ujaranya.
Mereka bisa mendapatkan perhatian dari pemerintah, termasuk mendapatkan hak berpolitik laiknya warga lainnya. “Saat pemilu lalu, kami juga semua memberikan hak pilihnya,” ujarnya.
Hal itu sejalan dengan sikap leluhur mereka, yang lebih mementingkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan semuanya. “Memang dari dulu cerita dari leluhur kami, tetap mencintai Indonesia,” kata dia.