Liputan6.com, Jakarta Sesaat setelah kemenangnya dalam pemilu terbesar di dunia, Narendra Modi kembali menggaungkan janji kampanyenya, yakni memberi dorongan besar bagi peningkatan perekonomian India.
Partai pengusungnya, Bharatiya Janata (BJP), menjanjikan dukungan dana sebesar US$ 1,44 triliun (setara Rp 20.822 triliun) untuk membangun jalan, jalur kereta, dan infrastruktur lainnya di seluruh dunia. Tujuannya adalah untuk menaikkan jumlah ekspor minimal dua kali lipat dari sekarang.
Dikutip dari The Straits Times pada Jumat (24/5/2019), janji besar itu --dan juga pemotongan pajak bagi kelas menengah-- merupakan daya tarik terbesar yang membuat BJP meraih suara mayoritas di Parlemen India.
Baca Juga
Advertisement
Sementara itu, laju investasi di India dilaporkan telah melambat, di mana angka tidak resmi menunjukkan peningkatan jumlah pengangguran.
Para ekonom memperkirakan pertumbuhan ekonomi India hanya akan berjalan di angka 6,5 persen hingga akhir kuartal kedua tahun ini, di mana itu akan menjadi laju paling lambat sejak pertengahan 2017.
Ditambahkan oleh para ekonom, upaya mendapatkan dana untuk membayar janji populis akan menjadi tantangan langsung bagi Modi. Saat ini, pemerintah India telah memperluas target defisit anggarannya hingga Maret 2020, menjadi 3,4 persen dari produk domestik bruto.
Dengan pendapatan lesu, pemerintah India jadi berutang lebih banyak, dan berusaha untuk mengambil modal tambahan dari bank sentral.
"Setiap pelebaran defisit fiskal lebih lanjut akan membahayakan peringkat kredit negara," kata Shilan Shah, ekonom senior India di Capital Economics Ltd. di Singapura
"Mengingat bahwa terdapat ruang fiskal yang terbatas, sulit untuk melihat mereka (BJP) memenuhi target tersebut," kata Shilan Shah, salah seorang ekonom senior India.
Catatan Ekonomi Modi Tidak Merata
Para ekonom mengingatkan bahwa catatan ekonomi Modi dalam masa jabatan pertamanya tidak merata. Dia mengurangi birokrasi, merombak undang-undang kebangkrutan yang dibuat berabad-abad lalu, dan memperkenalkan pajak penjualan nasional, yang membuatnya dipuji banyak investor.
Tetapi, peluncuran yang kacau balau dari sistem pajak baru, dan penarikan uang nominal tinggi akibat tekanan ekonomi pada 2016, mengganggu kegiatan bisnis yang dampaknya masih terasa hingga saat ini.
Sementara, euforia awal di pasar modal pasca-kemenangan Modi menunjukkan investor berharap tentang kebijakan dan reformasi ekonomi lebih lanjut.
"Dia (Modi) perlu melakukan itu dengan latar belakang ketegangan perdagangan global dan harga minyak yang fluktuatif --barang impor terbesar India-- yang menjadi pendorong utama inflasi dan defisit perdagangan di negara itu," jelas Shilan.
Advertisement
Mencari Solusi untuk Kurangnya Lapangan Pekerjaan
Masih menurut Shilan, salah satu kegagalan utama pemerintahan Modi dalam masa jabatan pertama adalah kurangnya lapangan kerja yang tercipta, terutama bagi kaum muda.
Untuk mengatasi hal tersebut, BJP dalam kampanyenya, berjanji mendorong kewirausahaan melalui pinjaman tanpa agunan, dan melonggarkan peraturan untuk para pebisnis pemula.
Modi juga diperkirakan akan menjual beberapa saham erusahaan milik negara, memprivatisasi unit usaha yang sakit seperti Air India, dan menggabungkan bank yang dikelola pemerintah.
"Disebut secara lokal sebagai investasi, opsi ini akan membantu pemerintah meningkatkan pendapatan untuk membiayai pengeluaran," kata Shilan.
Adapun untuk eksportir, BJP telah berjanji untuk mempromosikan perdagangan dan meningkatkan pangsa manufaktur dalam perekonomian.
"Manifes politik itu aspiratif, tetapi kemudian kita harus melihat sejumlah angka yang diletakkan tanpa membahayakan stabilitas ekonomi makro," kata Rajat Nag, mantan direktur jenderal manajemen di Bank Pembangunan Asia, dan anggota Dewan Nasional Ekonomi Terapan yang berbasis di New Delhi.
"Stabilitas ekonomi makro akan sangat penting dipertahankan untuk menarik investasi asing," lanjutnya mengingatkan.