Liputan6.com, Yogyakarta - Rektor UGM Panut Mulyono mengaku belum membaca secara langsung hasil penelitian Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta dan beberapa perguruan lain yang menyebutkan kelompok Islam yang bergerak eksklusif berkembang pesat di delapan Perguruan Tinggi Negeri (PTN).
UGM menjadi salah satu universitas yang disebutkan dalam penelitian tersebut. Tujuh perguruan tinggi lainnya adalah UNY, UNS Surakarta, Unnes Semarang, Undip Semarang, Unsoed Purwokerto, UIN Purwokerto, dan UIN Surakarta.
"Ketika itu dirilis kami berkepentingan menanyakan dan berdiskusi seperti apa penelitian itu," ujar Panut di UGM, Jumat (24/5/2019).
Baca Juga
Advertisement
Meskipun demikian, ia berkaca pada rilis Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang merilis sejumlah perguruan tinggi yang terpapar radikalisme dan nama UGM tidak disebutkan. Bahkan, UGM mendapat apresiasi dari BNPT terkait usaha mengatasi isu radikalisme di kampus.
"Saya juga tidak membantah hasil penelitian itu karena penelitian basis ya fakta sehingga perlu diuji benar atau tidak, dan yang terpenting paham yang aneh-aneh tidak punya tempat di UGM," ucapnya.
Menurut Panut, UGM sudah berupaya luar biasa membebaskan kampus dari paham radikalisme. Terlebih, UGM mempunyai jati diri sebagai universitas nasional, universitas Pancasila, universitas perjuangan, universitas kerakyatan, dan universitas pusat kebudayaan.
"Ini jadi pegangan kami dalam melangkah," kata Panut.
Memutihkan Mereka yang Terpapar Radikalisme
Panut mengungkapkan UGM tidak bisa menangkal potensi radikalisme dari penerimaan mahasiswa baru. Sebab, belum ada sistem yang mengatur hal itu. Penerimaan mahasiswa baru hanya berdasarkan prestasi.
Namun, Panut menerapkan strategi untuk memutihkan mahasiswa baru yang sudah terpapar radikalisme supaya menjadi nasionalis.
Pada masa orientasi, mahasiswa baru diberi nilai-nilai UGM dan keindonesiaan. Demikian pula ketika mereka mengikuti kegiatan perkuliahan, mata kuliah agama dan Pancasila pun mengandung nilai-nilai nasionalisme.
"Untuk mata kuliah Agama I tidak lagi dikelola per fakultas tetapi dibuat terpadu di Fakultas Filsafat," tuturnya.
Penanaman nilai nasionalisme juga diterapkan kepada para akademisi. Dosen yang mengajar mata kuliah agama mendapat pelatihan untuk menyamakan persepsi sehingga memiliki visi yang sama ketika mengajarkan agama.
"Pengajaran agama tidak hanya salat dan doa, tetapi juga diisi nilai-nilai berbau nasionalisme," tuturnya.
Panut menilai langkah ini tepat karena saat seseorang mengajar agama di fakultas tertentu tidak memasukkan nilai-nilai yang dianutnya lewat kuliah agama.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement