Liputan6.com, Cilacap - Ini adalah kisah bagaimana toleransi mewujud dalam kondisi yang sulit dan unik. Toleransi adalah soal hati.
Alkisah, suatu hari, Romo Boni, seorang Rohaniwan Katolik menengok seorang tetangganya yang tengah dirawat di sebuah rumah sakit Kota Purwokerto. Saat itulah, seorang tenaga medis rumah sakit tersebut bergegas mendekati romo bernama lengkap Boni Fausius Abbas ini.
Si dokter mengatakan ada seorang pasien yang tengah sekarat, atau jelang kematian. Ini adalah rumah sakit yang berafiliasi dengan organisasi yang identik dengan agama Kristen. Tentu, Romo Boni ini sudah dikenal sebagai rohaniwan.
Baca Juga
Advertisement
Belakangan diketahui, pasien yang dimaksud adalah seorang muslim. Jiwa toleran Romo Boni diuji. Hatinya sempat gundah.
“Saat itu pasien masih sadar,” ucapnya.
Sebagaimana yang diketahui, ketika seorang muslim hendak meninggal dunia, maka pendamping rohani yang bisa dari kalangan keluarga atau pemuka agamanya menuntunnya untuk mengucapkan kalimat Allah dan syahadat.
Masalahnya, pikir Romo saat itu, jika ia mengucapkan syahadat, maka secara agama Katolik salah. Pun, ia ragu sebagai penganut Katolik menuntun seorang muslim mengucapkan kalimat-kalimat suci dalam agama Islam.
Namun, ia melihat tak ada orang yang menuntun pasien muslim. Nuraninya pun bergemuruh lebih kencang untuk menolong saudara muslimnya ini. Karenanya, ia bertekad menuntun si muslim mengucapkan syahadat atas nama toleransi.
Saat Romo Boni Tuntun Seorang Muslim Bersyahadat
“Saya berulang-ulang mengucapkan Asyhadu Allaa Ilaahaillallaah, Wa Asyhadu Anna Muhammadarrosulullah. Saya ingin agar ia berada dalam keimanannya,” ucap pastor Gereja Santa Theresia, Majenang, Kabupaten Cilacap, ini.
Usai menuntun pasien yang menghadapi kematian itu, Romo Boni kembali ke kamar perawatan tetangganya. Dua jam kemudian, ia dikabari bahwa pasien muslim tersebut sudah meninggal dunia. Romo pun berdoa agar pasien muslim itu meninggal dunia dalam iman dan Islam.
Kisah itu diceritakan oleh Romo Beni ketika menjadi pembicara dalam Sarasehan Budaya dan Buka Bareng Kerukunan Umat Beragama bertajuk ‘Wareg Bareng Kencot Bareng’ yang digelar Komunitas Kristiani dan Komunitas Muslim di Majenang, Senin sore, 27 Mei 2019.
Romo Boni yakin, apa yang dilakukannya tak salah. Sebab, ia hanya ingin menolong agar saudaranya yang berbeda agama itu kembali kepada Tuhannya dalam keimanannya.
Menurut dia, agama adalah jalan menuju Tuhan. Agama yang berebeda menyebabkan jalan menuju Tuhan berbeda. Namun tiap jalan ini punya tujuan akhir yang sama, yakni Tuhan.
Tiap agama mengajarkan kebajikan yang sama. Dan toleransi di antara agama bisa dibentuk jika ada dialog dengan keterbukaan menerima perbedaan.
Perbedaan itu bukan berarti antar umat beragama saling bertarung. Agama mengajarkan untuk saling menerima dan menghargai.
“Agama tidak menyebabkan kita berkelahi. Dalam agama kita diajarkan untuk saling menghormati,” ujar Romo Boni.
Advertisement
Ahmad Tohari: Membangun Toleransi dari Kesejahteraan Bersama
Dalam kesempatan yang sama, budayawan Banyumas, Ahmad Tohari, menilai toleransi dan kerukunan antar umat beragama di Indonesia mesti dibangun dari berbagai sektor. Salah satu yang menurut dia krusial adalah kesejahteraan masyarakat.
“Sudah sering diucapkan. Kebersamaan orang gereja, orang masjid, orang pure itu sudah biasa. Akan tetapi, kebersamaan antara orang kenyang dan orang lapar itu yang tidak digarap sama sekali,” kata Ahmad Tohari.
Menurut Tohari, kesejahteraan ekonomi dan sosial masyarakat menjadi faktor yang kerap dilupakan ketika membangun kerukunan atau toleransi. Ia pun mengkritik model pembangunan toleransi dan kerukunan umat beragama yang hanya berupa simbol belaka.
Itu termasuk oleh pemerintah yang kerap melupakan isu ekonomi dan sosial saat membangun budaya kerukunan. Pemerintah lalai bahwa kesejahteraan yan rendah bisa pula menjadi pemicu gangguan sosial dalam masyarakat.
Sebab, sikap intoleran masyarakat bisa berawal dari kondisi susah. Akibatnya, mereka mudah terprovokasi untuk melakukan beragam tindakan, ucapan yang membenarkan diri atau kelompok sendiri.
Tohari yakin, sebagian masyarakat yang mudah terprovokasi adalah masyarakat yang lapar. Lapar itu diartikan Tohari sebagai hasrat atau keinginan-keinginan ekonomi dan sosial yang belum terpenuhi.
Menurut dia, masyarakat yang kurang sejahtera lebih mudah terprovokasi. Ujungnya, orang tersebut bisa saja larut dalam isu sektarian.
Dia meminta agar tiap umat beragama belajar toleransi dalam agamanya masing-masing. Sebab, semua agama telah mengajarkan toleransi. Salah satunya adalah perintah untuk saling berbagi dan melindungi.
“Wareg bareng, kencot bareng’. Kelihatannya kasar, tetapi artinya menarik. Nah, artinya saya kira, penting sekali, kebersamaan, antara Jawa dengan Sunda, Tionghoa, itu sudah umum. Yang lebih penting adalah kebersamaan saat susah,” Tohari menjelaskan.
Saksikan video pilihan berikut ini: