Husky Cnooc Fokus Jaga Kapasitas Produksi Gas untuk Jawa Timur

Husky CNOOC Madura Limited fokus menjaga kapasitas produksi agar bisa memasok kepentingan industri dan pupuk di Jawa Timur secara maksimal.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 28 Mei 2019, 21:12 WIB
Ilustrasi Foto Gas Bumi (iStockphoto)

Liputan6.com, Surabaya - Setelah berhasil memastikan keseluruhan hasil produksi gas sebesar 110 MMscfd terserap pasar, kini Husky CNOOC Madura Limited fokus menjaga kapasitas produksi agar bisa memasok kepentingan industri dan pupuk di Jawa Timur secara maksimal.

"Keseluruhan gas HCML sudah terserap pasar, Kini kita fokus menjaga produksi di lapangan BD sebesar 110 MMscfd,” tutur Fahrozi Ibrahim, Officer of Government & Media Relation, Legal & Relations Departement HCML di Surabaya, Selasa (28/5/2019).

Fahrozi menambahkan, selain itu HCML akan mulai mengembangkan lapangan MDA/MBH dan MAC yang akan berproduksi 120 MMscfd  pada akhir 2020 atau awal 2021.

"Sesuai arahan dari SKK Migas, HCML berupaya  bisa berkontribusi terhadap meningkatkan  keandalan produksi gas nasional, salah satunya melalui pengembangan lapangan MDA/MBH," ujar dia.

Seperti diketahui, Jawa Timur kini menjadi lumbung minyak dan gas (Migas)  nasional. Sekitar 30 persen dari 800 ribu Barrel of Day (BoD) produksi minyak nasional disumbang dari produksi lapangan migas dari Jatim. Tak hanya itu, Jatim juga menyumbang 10 - 12 persen dari total pasokan gas di Tanah Air.

HCML yang bekerja di bawah pengawasan dan pengendalian SKK Migas  sudah produksi gas di perairan Sampang Madura sejak 2017. HCML yang mengelola 4 lapangan di Jatim diharapkan bisa menjadi salah satu back bone pemenuhan gas di Jatim.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini


64 Persen Produksi Gas RI Dialokasikan untuk Dalam Negeri

Ilustrasi Foto Gas Bumi (iStockphoto)

Sebelumnya, Pemerintah telah mengalokasikan 64 persen produksi gas untuk dalam negeri. Dengan alokasi ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Sebaliknya, porsi gas untuk ekspor dipastikan bakal menurun.

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerjasama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi mengatakan, berdasarkan catatan Kementerian ESDM per April 2019, porsi pemanfaatan gas bumi untuk dalam negeri mencapai 64 persen, sedangkan untuk ekspor turun menjadi 36 persen.

Adapun rincian pemanfaatan gas domestik tersebut untuk industri sekitar 25 persen, sektor pupuk 12,2 persen, sektor kelistrikan 11 persen, untuk LNG domestik 10,6 persen, lifting minyak 3,2 persen, LPG domestik 1,7 persen, bahan bakar gas 0,14 persen dan pipa gas kota 0,07persen.

"Memaksimalkan sumber energi domestik untuk pemanfaatan dalam negeri merupakan bagian dari meningkatkan kemandirian dan ketahanan energi nasional," kata Agung dikutip dari situs resmi Kementerian ESDM, di Jakarta, Selasa, 21 Mei 2019.

Agung mengungkapkan, pertama kali porsi gas domestik lebih besar dari ekspor terjadi pada 2013, yakni sebesar 53 persen. Hingga saat ini porsi gas domestik tersebut terus meningkat dan bisa signifikan mencapai 64 persen.

Jika dibandingkan data 10 tahun yang lalu atau pada 2009, porsi pemanfaatan gas domestik hanya 47 persen, bahkan tahun 2003 hanya sebesar 25 persen.


Penyerapan Pertamina

Ilustrasi Foto Gas Bumi (iStockphoto)

Tak hanya gas untuk prioritas domestik, lanjut Agung, minyak mentah hasil produksi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang sebelumnya untuk ekspor, kini telah diserap maksimal oleh domestik alias Pertamina.

Berdasarkan data Pertamina, hingga pertengahan Mei 2019  atau tepatnya pada 14 Mei 2019, sebanyak 135 ribu barel per hari (bpd) minyak mentah para KKKS telah diserap Pertamina. Pada Juli 2019 nanti, ditargetkan seluruhnya atau 225 ribu bpd minyak mentah KKKS dapat diambil sepenuhnya oleh Pertamina.

Hal ini sesuai Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional bahwa kemandirian energi dan ketahanan energi dicapai, dengan mewujudkan sumber daya energi yang tidak dijadikan sebagai komoditas ekspor semata, tetapi sebagai modal pembangunan nasional.

"Kalau mau mengurangi defisit neraca perdagangan migas, bisa saja gas dibiarkan diekspor terus. Tapi bukan itu kebijakan energi nasional kita. Gas itu bukan hanya sekedar komoditas ekspor, tetapi harus sebagai modal pembangunan, mendorong pertumbuhan ekonomi nasional," tandasnya.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya