Liputan6.com, Banyumas - Berada di lembah pegunungan Wangon Desa Cikakak, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Masjid Saka Tunggal dipercaya sebagai masjid tertua Indonesia, atau setidaknya salah satu yang tertua.
Dari Jalan raya Wangon-Ajibarang, Banyumas, lokasi masjid masuk ke jalan desa sekitar dua kilometer. Jarak dari Kota Purwokerto sekitar 35 kilometer ke arah barat. Masjid Saka Tunggal dikelilingi hutan pinus yang sejuk.
Masjid Saka Tunggal dibangun oleh Kiai Mustolih atau Kiai Tolih pada tahun 1288 Hijriyah atau jika dikonversikan dengan kalender Masehi, yakni tahun 1522 Masehi. Angka itu tampak di saka atau tiang tunggalnya.
Bagian depan tertulis angka 1288 dengan huruf Arab yang diyakini sebagai tahun Hijriyah. Adapun di samping, ada angka 1522 yang dipercaya sebagai tahun Masehi.
Baca Juga
Advertisement
Satu tiang penyangga berukuran 40x40 sentimeter dengan tinggi sekitar lima meter membuat masjid tertua Indonesia tegak berdiri menyangga langit-langit atau wuwungan masjid. Tiangnya yang hijau dipenuhi ukiran bunga dan tanaman serta dilindungi kaca.
Pada bagian ujung atas saka tunggal tersebut, juga terdapat empat sayap kayu yang disebut "papat kiblat lima pancer" yaitu menunjuk empat arah mata angin dan satu pusat atau arah menunjuk ke atas. Secara umum, ini diartikan sebagai simbol pasrah kepada Yang Maha Kuasa.
Sejak tahun 1976, sebagian bangunan telah ditembok. Namun, anyaman bambu bermotif wajik melapisi bagian interior masjid berukuran 15x17 meter itu. Semilir angin lembut menelusup di sela-sela jendela jeruji di bagian depan dan samping masjid tertua Indonesia itu.
Bukti lain dari peradaban masjid tertua Indonesia ini adalah karakteristik masyarakat di sekitar Masjid Saka Tunggal. Mereka masih melestarikan tradisi Islam yang kental bernuansa Jawa tradisional.
Mayoritas warga di sekitar masjid tertua Indonesia ini adalah penganut Islam Aboge, atau umat Islam yang menggunakan kalender Alif Rebo Wage.
Tradisi Islam Aboge di Masjid Saka Tunggal Banyumas
"Jumlah penduduk 3.700 orang, kira-kira. Rata-rata Aboge. Memang ada juga yang menggunakan kalender nasional," ucap Imam Masjid Saka Tunggal dan juga juru kunci masjid tertua Indonesia ini, Sulam.
Sulam adalah generasi ke-12 juru kunci. Ayahnya, Sopyani (77) juga merupakan juru kunci ke-11 yang kini telah pensiun. Bersama dengan Sulam, masih ada dua kunci lainnya, yakni Subagyo dan Sudirman.
"Pak Dirman sudah meninggal dunia, tapi sekarang belum mengangkat penggantinya," ucapnya.
Salah satu tradisi yang masih kental dan terus dilestarikan oleh masyarakat sekitar Masjid Saka Tunggal adalah tradisi penjarohan atau jaroh yaitu ziarah dengan tujuan menghormati leluhur, dan biasa digelar setiap tanggal 26 Rajab dan mencapai puncaknya pada Syakban.
Dalam kegiatan tersebut biasanya warga bergotong-royong mengganti pagar bambu yang mengelilingi masjid dan juga makam sekitar masjid.
Secara umum, tata peribadatan jemaah penganut Islam Aboge tak jauh berbeda dengan umat Muslim lainnya. Yang membedakan adalah kalendernya. Ini membuat hari-hari besar Islam Aboge tiba pada hari berbeda dengan umat Islam lainnya.
Ada yang unik dengan peribadatan di Masjid Saka Tunggal. Masjid ini hanya digunakan untuk tiga kali salat berjamaah, yakni Magrib, Isya, dan Subuh, serta salat Jumat. Tak ada salat jamaah Zuhur dan Ashar di masjid ini.
Juru kunci generasi ke-11, Sopyani mengatakan kebiasaan ini dipengaruhi oleh pekerjaan masyarakat sekitar yang kebanyakan berprofesi sebagai petani. Siang dan sore hari, sebagian besar warga masih berada di ladang atau di hutan.
Advertisement
Pengeras Suara Hanya Digunakan Saat Salat Ied
Keunikan lainnya, masjid ini tidak menggunakan pengeras suara kecuali untuk Salat Idulfitri dan Salat Idul Adha. Azan dan ikamah pada hari-hari biasa tidak pernah menggunakan pengeras suara. Untuk menandakan masuk waktu salat, pengurus masjid akan membunyikan kentong dan beduk.
"Mau dikeras-kerasin pakai pengeras suara kalau tidak mau ya tetap tidak mau. Tapi hanya dengan beduk dan kentong kalau memang ada panggilan hati ya cepat-cepat ke masjid," Sopyani menerangkan.
Pada Ramadan, salat tarawih di Masjid Saka Tunggal berjumlah 23 rakaat, terdiri dari 20 salat tarawih dan tiga salat witir, mirip dengan yang dilakukan oleh Muslim NU. Namun, ada satu tradisi unik usai salat tarawih.
Tradisi setelah salat adalah zikir dengan cara mematikan seluruh lampu. Sekitar lima menit kemudian, lampu dinyalakan.
Kemudian, tradisi tidur atau jidur dimulai untuk mengiringi salawatan jemaah yang saling bersalaman satu sama lainnya. Sepanjang bersalam-salaman, jemaah melantunkan salawat Nabi dan puji-pujian doa kepada Allah.
Sulam mengatakan mematikan lampu usai salat tarawih adalah kebiasaan yang sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Pada zaman listrik belum masuk ke kawasan ini, sentir atau teplok juga selalu dimatikan untuk memanjatkan zikir dan doa. Lampu dimatikan agar doa lebih khusyuk.
"Maksud lampu dimatikan itu biar lebih khusyuk sewaktu berdoa. Itu saja," ucap Sulam.
Legenda Monyet Keramat Penunggu Masjid Tertua
Usai berdoa, tiap malam Ramadan, jemaah akan melakukan tradisi makan nyamikan atau makanan kecil yang dibuat secara bergilir oleh warga. Di sela itu, sejumlah anggota jemaah melakukan tadarus rutin tiap malam pada bulan Ramadan.
Aktivitas ibadah Ramadan akan bertambah seiring masuknya 10 hari terakhir Ramadan, atau malam likuran. Jemaah akan melakukan sejumlah tradisi, di antaranya kepungan.
Itu dilakukan sebagai pertanda bahwa jemaah bersyukur telah melewati sebagian bulan Ramadan dengan selamat dan menginjak sepertiga akhir Ramadan yang dipercaya sebagai malam-malam penuh berkah.
Keunikan lain masjid ini adalah tinggalnya ratusan monyet di sekitar masjid. Keberadaan monyet-monyet ini diyakini tak kalah tua dengan keberadaan masjid.
Ada legenda yang menyebut bahwa monyet ini merupakan jelmaan santri yang dikutuk lantaran abai dengan panggilan ibadah salat Jumat. Oleh Kiai Tolih, santri-santri itu dikutuk.
"Monyet itu kan tabiatnya susah diatur. Ya ceritanya seperti itu," Sulam mengungkapkan.
Dahulu, konon monyet hidup berdampingan dengan penduduk setempat. Akan tetapi, kini monyet justru sangat menggangu. Monyet kerap masuk ke rumah penduduk dan merusak apa yang ada di rumah tersebut. Tanaman juga tak luput dari serbuan monyet.
Sayangnya, kini monyet telah berubah menjadi hama. Seorang warga, Karsini menduga, jumlah makanan yang tersedia di hutan tak lagi sebanding dengan jumlah monyet yang mencapai ratusan ekor. Mereka terbagi menjadi lima koloni.
Namun, warga tak pernah menyakiti atau membunuh monyet ini. Sebab mereka percaya bahwa monyet ini adalah peninggalan masa lalu yang harus dijaga.
"Ya paling digusah, diusir," ucap Karsini.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement