Sepenggal Kisah di Balik Viralnya Foto Ahmad Tohari Salat di Gereja Cilacap

Ia punya alasan kuat mengapa salat di gereja. Tohari ingin menunjukkan bahwa perbedaan agama bukan menjadi halangan seseorang, atau sebuah kelompok untuk saling membantu dan menghargai.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 30 Mei 2019, 01:00 WIB
Ahmad Tohari menjadi imam salat di Gereja Paroki Theresia, Majenang, Cilacap, Jawa Tengah . (Foto: Liputan6.com/Dok. Panitia/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Indahnya toleransi antara umat beragama bisa berwujud apa saja. Tak perlu ingar bingar untuk menunjukkan bahwa Indonesia memang sangat toleran.

Kisah toleransi sederhana ini terjadi di Cilacap, Selasa, 28 Mei 2019 lalu. Dari secuplik cerita ini, para pegiat toleransi umat beragama menunjukkan contoh bagaimana indahnya saling menghargai dan menghormati kepercayaan orang lain.

Ceritanya, komunitas Nasrani dan Muslim menggelar sarasehan dan buka bareng kerukunan umat beragama. Tempatnya, di Gereja Paroki Theresia, Majenang Kabupaten Cilacap.

Acara itu telah usai. Namun, sepenggal kisahnya masih menjadi bahan pembicaraan. Itu terjadi ketika Ahmad Tohari, budayawan yang juga tokoh NU salat di gereja.

Ahmad Tohari menjadi imam dalam salat di gereja itu. Fotonya sangat ikonik. Dalam salah satu foto, Tohari dan sejumlah Muslim lainnya tengah rukuk dengan latar belakang Yesus dan Bunda Maria.

Segera saja, foto ini beredar viral di berbagai lini massa. Kontroversi pun meruar bersamaan dengan beredarnya foto-foto ini, antara yang setuju dengan yang kontra salat di gereja.

Kepada Liputan6.com, Ahmad Tohari mengatakan ia salat di gereja bersama sejumlah panitia dan pembicara dalam sarasehan dan buka bersama. Rupanya, panitia memang menyediakan ruang khusus di bagian dalam gereja untuk peribadatan umat Muslim.

Dan ternyata, ini bukan kali pertama Tohari salat di gereja. Sebelumnya, Tohari mengaku sempat beribadah di lingkungan gereja dalam sebuah acara yang digelar oleh lembaga Katolik.

 


Alasan Ahmad Tohari Salat di Gereja

Komunitas Nasrani dan komunitas Muslim di Majenang menggelar sarasehan dan buka bersama kerukunan umat beragama bertajuk “Wareg Bareng Kencot Bareng”. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

"Sebelumnya saya juga pernah mengisi acara oleh sebuah lembaga Katolik. Karena waktunya bersamaan dengan waktu salat dan tidak ada waktu lagi, saya segera salat di lingkungan gereja," ucapnya Rabu malam, 29 Mei 2019.

Tohari menyadari, sebagai orang terkenal atau publik figur, momentum ketika ia salat di aula geraja bakal menjadi sorotan. Ibadah seorang Muslim di gereja pasti akan membulkan pro dan kontra.

Ia punya alasan kuat mengapa salat di gereja. Tohari ingin menunjukkan bahwa perbedaan agama bukan menjadi halangan seseorang, atau sebuah kelompok untuk saling membantu dan menghargai.

Agama tidak menjadi alasan bagi seseorang atau satu kelompok dengan kelompok lainnya untuk saling bertikai. Salat di gereja justru menunjukkan bahwa antara umat beragama bisa saling menghargai.

Tohari mengungkapkan, dalam sebuah riwayat, Rasulullah SAW pernah kedatangan serombongan tamu nonmuslim. Tiba saatnya beribadah, rombongan itu lantas meminta izin untuk menjalankan peribadatan di rumah Rasulullah.

Dan Rasulullah pun tak mempermasalahkan ketika tamu yang nonmuslim itu beribadat di rumahnya. Kisah Rasulullah itu adalah bentuk toleransi antarumat beragama yang mestinya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

"Saya ingin menunjukkan bahwa Islam adalah Rahmatan Lil ‘Alamin. Kebetulan, saya salat di bumi Allah yang di situ didirikan gereja. Itu saja," ucapnya.

 


Tauhid dan Kesalehan Sosial

Tarian Sufi yang diiringi oleh paduan suara Gereja Paroki Theresia, Majenang, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Dok. Panitia/Muhamad Ridlo)

Merespon maraknya tindakan intoleransi yang terjadi di Indonesia, ia berpesan agar masyarakat bisa menghindari fanatisme agama yang berlebihan. Menurut dia, fanatik perlu tetapi tidak dengan cara mengorbankan kerukunan antarumat beragama.

"Kuncinya ada dua. Ketauhidan dalam diri manusia. Dan yang kedua, kesalehan sosial," dia menerangkan.

Salah satu panitia acara, Imam Hamidi mengatakan sebelumnya, panitia menyadari bahwa acara buka bersama tersebut bertepatan dengan waktu salat Magrib. Masalahnya, lokasi Gereja Paroki Theresia relatif jauh dari musala atau masjid.

Atas kesepakatan tokoh agama, panitia meminjam karpet dan sajadah dari musala di Majenang. Kemudian, karpet itu dipasang di aula gereja untuk memfasilitasi peserta Muslim yang hendak beribadah.

Imam mengatakan, salat berjemaah dilakukan secara bergantian mengingat terbatasnya tempat. Ia sendiri turut menjadi makmum salat berjemaah dengan imam Ahmad Tohari. Bersama dia, ada sejumlah pegiat Lesbumi, NU, panitia, dan anggota Banser NU.

"Musala dan masjid memang agak jauh. Jadi kita siapkan tempat agar teman-teman tidak kesulitan saat akan beribadah," ujar Imam.

Ketua Panitia yang juga perwakilan komunitas Nasrani, Nico Wahyu Widiatmoko mengatakan buka bersama itu adalah wujud kerukunan dan toleransi masyarakat Majenang yang telah terjalin sejak puluhan tahun silam. Buka bersama ini hanyalah salah satu contoh kecil toleransi pada Ramadan.

 


Umat Nasrani Turut Bahagia pada Bulan Ramadan

Komunitas Nasrani dan komunitas Muslim di Majenang menggelar sarasehan dan buka bersama kerukunan umat beragama bertajuk “Wareg Bareng Kencot Bareng”. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Jemaat atau komunitas Nasrani menyiapkan hidangan berbuka untuk umat Muslim yang berasal dari berbagai komunitas, seperti Komunitas Gusdurian, Ormas NU, Banser, Muhammadiyah, dan komunitas Muslim lainnya.

Menurut dia, tujuan besar kegiatan ini adalah bagaimana umat nonmuslim, terutama Nasrani, menghormati dan menghargai umat Islam yang tengah menjalankan ibadah Ramadan. Menyiapkan hidang berbuka adalah cara umat Nasrani turut bergembira pada Ramadan ini.

"Kerja sama komunitas Gusdurian, dari saudara-saudaraku Muslim dan juga dari jemaat Kristiani, di wilayah Majenang ini, sudah terjalin lama," ucapnya.

Koordinator Gusdurian Majenang, Murtadlo mengatakan sarasehan dan buka bersama ini adalah salah satu upaya komunitas lintas agama meneguhkan kebersamaan di tengah isu sektarian yang belakangan marak di Indonesia.

Komunitas lintas agama hendak meneruskan tradisi Islam yang toleran dan perjuangan ulama, terutama Gus Dur yang memperjuangkan Islam inklusif atau Islam yang terbuka.

"Ini adalah warisan penduhulu kita. Para ulama, bahwa Islam ada lah Rahmatan Lil ‘Alamiin," kata Murtadlo.

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya