Liputan6.com, Garut Bagi masyarakat Garut, Jawa Barat, sepekan menjelang datangnya Idul Fitri, kesibukan di dapur bakal semakin seiring bertambah. Emak-emak lintas generasi, nampak asik menyiapkan ragam penganan khas yang akan dihidangkan untuk menyambut tamu yang datang.
Di antara begitu banyak kue kering, ada satu kue yang selalu mengisi sajian meja masyarakat Garut saat lebaran, yakni kue Seroja. Berbahan tepung beras, makanan ringan, krenyes dengan rasa asin gurih itu, seolah sulit dipisahkan di rumah warga saat lebaran tiba.
"Meskpun sebagian masyarakat diperkotaan sudah ada kue kaleng, tapi di pedesaan seroja pasti paling banyak dicari," ujar Dandan Gandhani, (47), salah satu warga penikmat berat kue saroja saat ditemui di kediannya komplek Bumi Asri, Kamis (30/5/2019).
Menurutnya, keberadaan seroja sudah ada sejak lama di masyarakat desa, meskipun secara tahun belum ada data resmi kapan masyarakat memulai, namun diperkirakan pada dekade 1950-an, makanan renyah tersebut sudah ada. "Sekilas seperti kerupuk, cuma bentuknya yang berbeda seperti bunga," kata dia.
Kue itu khusus dibuat sepekan atau menjelang datangnya perayaan lebaran Idul Fitri. Kalau hari biasa sulit ditemukan, hanya saat lebaran saja," kata dia.
Baca Juga
Advertisement
Tak ayal saat sepekan menjelang lebaran, seroja selalu menjadi menu pembuka bagi tamu yang tengah bertandang ke rumah saudara, saat liburan idul fitri tiba.
"Saya pernah menemukan di banyak desa, rasanya hampir sama, hanya ukuran saja yang berbeda, ada yang lebih besar atau kecil," papar dia.
Memiliki bentuk bunga seroja yang tengah mekar, dengan warna putih, kue seroja memang sangat menggoda lidah Anda, terutama saat memiliki pasangan makanan yang serasi. "Paling enak jika ada bakso, atau mie ayam, mantap lah," kata dia sambil bercanda.
Selain itu, bahanan beras dan bumbu dapur lainnya yang dipakai dalam pengolahan seroja, cukup aman bagi tubuh jika dikonsumsi dalam jumlah banyak. "Tidak ada pantangan, siapa pun boleh mencoba kerenyahan saroja," ujar Dandan menawari.
Seiring perkembangan zaman, serta masuknya era pewarna makanan dalam penganan yang diolah warga, warna dan rasa kue seroja pun sudah mulai mengalami perubahan. Jika awalnya hanya gurih manis renyah, kini sudah ada rasa manis. "Saya juga pernah menemukan yang dicampur cokelat dan tetap enak," kata dia.
Dengan bahan alami yang digunakan tanpa campuran kimia, rata-rata kue seroja mampu bertahan hingga dua bulan dalam sebuah toples penyimpaan makanan. "Asal tertutup rapat tanpa ada kebocoran, kerenyahan dan rasa tidak berubah," ujarnya.
Proses Pembuatan
Satu di antara banyak pembuat kue khas Idul Fitri seroja yang masih eksis hingga kini yakni mak Atimah, (72). Perempaun berusia lanjut tersebut, terlihat masih telaten mengolah makanan khas lebaran masyarakt sudan tersebut.
"Jika sedang tidak puasa silahkan mencoba, sayang puasa, nanti saja ya," katanya kepada Liputan6.com sambil tersenyum ramah.
Nenek Atimah mengenang, pertama kali mengolah kue seroja pada tahun 1950-an, saat berusia remaja. Mewarisi keahlian khusus dari sang ibu yang selalu mengajari mengolah seroja, ia masih terlihat fit mengambil adonan tiap adonan ke dalam wajan cetakan yang telah disipkan.
"Minyaknya harus mendidih betul, jika tidak adonan sulit lepas dari cetakan," ujarnya.
Kulit tangan kanannya yang terlihat sudah kendur, tak mengalahkan semangat dan kecekatannya mengolah kue seroja. Sambil mengubah posisi kayu bakar, ia begitu lihai mengambil satu demi satu cetakan adonan ke dalam sebuah wajan catel penggorengan.
"Jangan lupa bahan adonan jangan terlalu kental juga, sebab sulit lepas saat penggorengan," kata dia.
Dalam satu kali adonan sebanyak 3 kilogram bahan dasar tepung beras yang ia buat, dibutuhkan dua telur untuk mencampur bahan, kemudian dua atu tiga sihung bawang putih, tambahkan penyedap rasa, garam hingga ketumbar. "Pakai juga sedikit jeruk nipis agar lebih enak," katanya.
Dengan jumlah itu, mak Atimah mampu menghasilkan hingga 4 kilogram kue seroja dengan jumlah hingga 240 butir kue. "Satu kilo itu rata-rata sekitar 60 biji seroja," kata dia.
Namun seiring masuknya momen Idul Fitri dua atau sepekan terakhir, kesibukan Atimah bertambah. Para klien setianya yang sejak lama berlangganan tetap kembali memesan kue seroja olahannya. "Alhamdulillah pesanan terus ada, mungkin sudah cocok dengan lidahnya mereka," ujarnya.
Untuk satu kilo kue serojoa, ia menjual dengan harga Rp 70 ribu berisi 60 biji kue. Menurutnya harga itu terbilang murah, dibanding dengan ukuran kue yang terbilang besar. "Kebetulan seroja yang nenek buat lebih besar silahkan bandingkan saja," kata dia.
Namun apapun itu, keseriusan mak Atikah melestarikan kue Seroja patut diacungi jempol. Ia tidak lekang digerus waktu, untuk melestarikan makanan tradisional.
"Sudah beberapa tahun akan saya juga sudah diajari dan sekarang mahir, membuat sendiri," kata dia, sedikit membocorkan proses regenerasi yang tengah ia rintis.
Advertisement
Rasa Global
Budayawan Garut Franz Limiart mengatakan dibanding dengan makanan tradisional sunda khas Idul Fitri lainnya, popularitas kue Saroja terbilang lebih mentereng. Tercatat di beberapa negara di Amerika Latin dan Afrika, kue tersebut, ternyata cukup digandrungi. "Di Bolivia ada, rasa dan bahannya sama," kata dia.
Ia belum memastikan apakah kue tersebut merupakan akuluturasi dari luar atau sebaliknya, namun kehadiran kue seroja memang sangat dinanti khalayak tamu saat lebaran tiba. Mereka bisa mendapatkan panganan khas dengan tekstur renyah menggoda lidah Anda.
"Memang enaknya jika dibarengi makan lain seperti baso atau makanan berkuah lainnya," ujar pemilik kerajinan akar wangi Zocha ini.
Selain seroja ujar dia, ada beberapa panganan khas lainnya yang selalu dihidangkan saat Idul Fitri tiba, sebut saja wajit, angling, ranginang, bugis, aliagrem, cuhcur dan tentunya si manis legit dodol yang sudah melegenda. "Tapi kalau dipedesaan justru yang paling banyak ditemui adalah seroja, itu pasti ada," kata dia.
Ada makna terselubung dalam makanan khas lebaran yang dihidangkan warga, konon dengan mayoritas rasa manis tersebut, pihak pemilih rumah memberikan pesan mamanis atau penyemangat bagi para tamu yang hadir.
"Dengan adanya 'mamanis' ada semangat dan spirit baru yang ditunjukan bagi para tamu yang datang," ujar dia.
Sebagai suku terbesar tanah air, yang lekat dengan ajang sono, pesta lebaran di masyarakat Sunda khususnya Garut, terasa hambar dan kurang jika tidak menemukan makanan tradisional yang khas. "Memang sudah berlangsung sejak lama secara turun temurun, sulit tergantikan," kata dia.
Simak juga video pilihan berikut ini: