Liputan6.com, Jakarta Merauke memiliki banyak cerita. Banyak pengalaman. Semua bisa didapat dalam Festival Crossborder Sota 2019. Salah satu yang menarik untuk dibahas dari Merauke adalah sejarah. Terutama seputar Suku Marind Anim. Inilah suku terbesar yang mendiami salah satu ujung Indonesia itu.
Festival Crossborder Sota 2019 akan digelar 14-16 Juni. Lokasinya ada di Lapangan Pattimura, Distrik Sota, Merauke, Papua. Tema yang diangkat adalah ‘Indonesia Incorporated’. Event ini akan dimeriahkan jawara Indonesia Idol Nowela. Merauke sangat menarik untuk dibahas. Apalagi jika berbicara mengenai tradisi. Khususnya, dari Suku Marind Anim. Suku ini mendiami Papua di sisi selatan. Tepatnya, mulai dari Selat Muli (Selat Mariane) hingga di perbatasan Papua dan Papua Nugini.
Advertisement
Mereka banyak mendiami aliran Sungai Buraka, Bian, Eli, Kumbe, dan Maro. Secara administrasi masuk zona Distrik Okaba, Merauke, Kimam, dan Muting.
“Secara budaya, suku Marind Anim tentu sangat unik. Dengan karakternya, Suku Marind tentu menjadi daya tarik lain Festival Crossborder Sota 2019. Silahkan eksplorasi banyak hal dari suku ini,” ungkap Asisten Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran I Regional III Kemenpar Muh. Ricky Fauziyani, Minggu (2/6).
Secara harfiah, kata Anim diadopsi dari anem yang berarti laki-laki. Untuk penyebutan wanita adalah anum. Sebagai suku besar, Marind Anim juga terdiri dari sub-suku. Sebut saja Kanum-Anim, Yei-Anim, Yab-Anim, Maklew-Anim, dan Kukari-Anim. Khusus Kukari-Anim, suku ini mendiami zona geografis PNG. Kesamaan sub-suku itu yang menguatkan ikatan antara Merauke dengan Papua Nugini.
“Papua dan PNG dipisahkan oleh hukum negara. Namun, secara budaya mereka sangatlah dekat. Dengan potensi ini, kami berharap bisa menarik masuk sebanyak mungkin masyarakat Papua Nugini ke Sota,” terang Ricky lagi.
Secara ekonomi, Merauke dan Papua Nugini juga memiliki kedekatan. Aktivitas bisnis yang melibatkan warga dari 2 negara ini sangat kuat. Budaya barter juga masih berlaku di sana. Suku Marind Anim ini mengandalkan produksi pertaniannya. Mereka mengolahnya dari berladang. Komoditinya ada ubi jalar, ubi kayu, kava, hingga sagu. Aktivitas lainnya menangkap ikan dan berburu.
“Produktivitas Suku Marind Anim sangat tinggi. Komoditi utamanya memang berladang. Caranya pun unik dan menarik untuk digali. Bukan hanya menikmati hasilnya, wisatawan bisa belajar cara bercocok tanam ala Suku Marind Anim. Pasti ada experience yang luar biasa,” ujar Ricky.
Mengacu hukum adat, suku ini tetap terkenal sebagai bangsa pengayau. Kaum lelakinya punya peranan dan pengaruh tinggi dalam kehidupan sosial. Dalam peradaban lama, suku ini mengembangkan sendiri persenjataannya. Fungsinya untuk berperang dan berburu. Bentuknya, busur dari bambu, anak panah dari galah, tombak, dan gada.
Suku Marind Anim juga mendesain sendiri arsitektur rumah dan seni ukirnya. Rumah dibangun dengan lantai tanah, lalu dindingnya dari balok kayu yang kokoh. Atapnya terbuat dari daun ilalang juga nipah. Detaiknya menarik dengan ukiran penghias tiang bangunannya. Terlihat semakin energik, suku ini juga memiliki busana yang sangat khas dan semarak. Apalagi, prajuritnya.
“Sosial budaya Suku Marind Anim makin unik. Mereka menganut konsep klen patrilineal. Yaitu, ikatan teritorial eksogamik totemisme. Hal ini bisa dilihat dari komposisi perkampungannya,” papar Ricky.
Masyarakat Suku Marind Anim memiliki rumah bujang atau gotad, yang diperuntukan bagi remaja laki-laki. Di sekeliling gotad berdiri rumah keluarga atau oram aha. Ada juga rumah kaum wanita dengan ukuran lebih kecil. Konsep ini semakin kental melalui tata perkawinan di sana. Sebab, perkawinannya bersifat eksogami dan sistem kekerabatan patrilineal.
“Suku Marind Anim memang menarik untuk dikaji. Mereka tetap mempertahanan beragam tradisi dari para leluhur. Semuanya terpelihara rapi, meski arus modernisasi di sana juga sangat kuat. Karena sangat unik, kami rekomendasikan Suku Marind Anim untuk dieksplorasi,” tutup Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya yang juga Menpar Terbaik Asia Pasifik.
(*)