Tarumpah Garut Sandal Menak, Tergeser Sejak Datang Sandal Lily

Pada masa keemanasannya, sandal tarumpah merupakan pijakan para menak dan kalangan bangsawan.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 04 Jun 2019, 05:02 WIB
Pada massanya, sandal tarumpah asal Garut, Jawa Barat selalu menjadi barang pilihan para menak dan bangsawan dalam berbagai hajatan dan kegiatan (liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut Pernah mendengar atau mengetahui sandal 'Tarumpah'? Bagi masyarakat Garut, Jawa Barat, tarumpah adalah salah satu bagian aksesoris kebanggaan pada masanya. Bahkan, konon dulu hanya kalangan menak dan bangsawan yang bisa memakai sandal ini, karena harganya yang cukup mahal.

Namun itu semua tinggal catatan sejarah, saat ini era kejayaan tarumpah tinggal kenangan. Jumlah peredaran sandal di beberapa galeri, toko pengrajin kulit Garut, bisa dihitung jari, sementara kedigdayaan sandal jenis lain semakin berkuasa.

Asep Mauludin, pemilik galeri kulit Garvis Leather, Sukaregang, Garut mengatakan, berkurangnya peminat sandal tarumpah memang sudah berlangsung lama, pakemnya model sandal yang terkesan jadul, diakui menjadi salah satu penyebab menurunnya hegemoni sandal tarumpah.

"Jika dulu orang tua kita pakai sandal tarumpah adalah kebanggaan tersendiri, tapi buat anak sekarang mana mau (pakai)," ujar dia dalam obrolan hangatnya dengan Liputan6.com, Ahad (2/6/2019) petang.

Menggunakan bahan kulit sapi pilihan, pembuatan sandal tarumpah, memang membutuhkan ketelatenan tangan pengrajin, salah sedikit bahan sandal sulit dibentuk sempurna.  "Memang harus pas (teliti) agar kualitasnya bisa terjaga," kata dia.

Tak mengherankan, ongkos produksi yang harus dikeluarkan pengrajin pun terbilang mahal, termasuk jika digabung dengan tingginya harga beli bahan kulit sapi.

“Minimnya (pesanan) bukan tanpa alasan, Karena bisnis di produk tarumpah dirasa belum menjanjikan,” kata dia.

Derasnya produk luar terutama sandal berbahan sintetis dan swallow dengan harga cukup murah, memukul deras peredaran tarumpah di pasaran, sehingga peminatnya kian hari semakin menyusut.

“Mahalnya bahan baku tak sebanding dengan harga jual tarumpah di pasaran, jika spek diturunkan untuk mengikuti standar harga pasar, otomatis kualitas menjadi berkurang,” papar dia. 

Asep mengatakan masa keemasan Tarumpah memang sudah lewat. Padahal dalam momen besar warga, seperti lebaran, tarumpah selalu menjadi buruan warga untuk memanjakan pijakan. “Dulu ada merek terkenal tarumpah namanya tiga roda, sekarang sudah tidak ada,” kata dia.

Namun meskipun demikian, munculnya tren model jadul alias jaman dulu pada model fashion saat ini, diprediksi bakal kembali mengangkat pamor tarumpah. “Lihat saja nanti,” ujar Asep.

 


Sejarah Panjang

Salah satu contoh dan bentuk sandal tarumpah asal Garut, Jawa Barat yang keberadaannya sulit didapatkan (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Budayawan Franz Limiart mengatakan, berdasarkan catatan sejarah, penggunaan sandal tarumpah pertama kali dipelopori saat pusat pemerintahan Garut, berpindah dari Balubur Limbangan ke wilayah Garut Kota, awal abad 18 silam.

“Dulu biasanya dipakai para menak dan bangsawan,” ujar dia.

Awalnya seluruh bahan tarumpah menggunakan kain sapi termasuk bagian bawah yang digunakan sebagai pijakan, namun seiring naiknya harga kulit dan mulai beredarnya bahan karet mentah, akhirnya lambat laut tergantikan.

“Makanya sampai sekarang akhirnya pakai karet mentah,” kata dia.

Dengan bahan serba kulit itu, pengguna tarumpah pun hanya dipakai kalangan tertentu dengan ekonomi cukup mapan. “Masa keemanan tarumpah berakhir hingga tahun 1960-an,” ujar Diar Cahdiar Antadiredja, ujar ketua komunitas Ontel Garut.

Pengagum berat tarumpah itu mengakui, jika keberadaan tarumpah merupakan kebanggan tersendiri bagi pemakainya. “Karena yang pakainya juga masih jarang sebab mahal,” ujar dia.

Saat itu sekitar tahun 1960-an, harga tarumpah sudah mencapai Rp 50 rupiah, sementara harga baju dan fashion lainnya berkisar di angka Rp 25 rupiah.

“Jelas termasuk mahal, saya saja hanya mendapat uang jajan Rp 5 rupiah,” ujar dia sambil bercanda.

Namun seiring datangnya sandal ‘Lily’ berbahan sintetis dan swalom dari Cina, lambat laut pamor tarumpah mulai meredup. Selain modelnya yang terkenal pakem pada budaya, juga harga tarumpah terbilang mahal. “Jaman dulu jangankan membeli tarumpah mahal, membeli beras saja sulit,” kata dia.

 


Butuh Strategi Pemasaran

Deretan sandal kulit Sukaregang, Garut di salah satu gerai, tanpa meninggalkan satu pun sandal tarumpah dalam barang jualan mereka (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Franz mengatakan, sebagai daerah yang mempelopori lahirnya tarumpah di tanah sunda, ia berharap seluruh lapisan masyarakat, mulai pengusaha, warga hingga pemerintah Garut kembali menghidupkan salah satu ikon fashion jaman dulu tersebut.

“Seperti baju pangsi (baju hitam-hitam khas sunda) kan mulai bangkit lagi,” kata dia.

Bahkan dalam perkembangan selanjutnya, munculnya kawasan kerajinan kulit Sukaregang saat ini, dipelopori karena tingginya permintaan sandal tarumpah. “Sukaregang itu awalnya bukan pusat jaket, tapi pusat tarumpah,” kata dia.

Selain unik ujar dia, penggunaan tarumpah diharapkan mampu melestariakan kebudayaan lokal masyarakat. “Coba tanya anak-anak muda sekarang, tak sedikit yang tidak mengetahui tarumpah,” kata dia.

Ia pun mendorong kalangan pengusaha bisa lebih kreatif menghasilkan tarumpah yang disesuaikan jaman milenial alias kekinian. “Lakukan inovasi kan sekarang banyak yang bagus desain sandal itu,” kata dia.

Hal sama disampaikan Diar. Untuk mengembalikan pamor sandal tarumpah, selain adanya gerakan bersama masyarakat, juga dibutuhkan sentuhan inovasi gaya agar terlihat lebih trendy.

“Bawahnya jangan pakai karet mental, bisa pakai kulit seperti dulu atau bagaimana baiknya,” kata dia.

Dengan keunikan dan ciri khasnya itu, ia yakin pamor tarumpah akan kembali hidup, seiring banyaknya warga yang menggunakan. “Memang saat ini hilang sama sekali juga tidak, namun jumlahnya terbatas dan sulit,” ujar dia menjelaskankan sulitnya mendapatkan sandal tarumpah.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya