Liputan6.com, Havana - Deru mesin Iberia Airlines DC-8 terdengar saat pesawat itu bersiap meninggalkan Bandara Jose Marti, Havana, Kuba pada 3 Juni 1969 petang.
Di ujung landasan pacu, di antara ilalang tinggi yang rapat, mata Armando Socarras Ramirez menatap lekat ke arah burung besi yang sedang taxi atau bergerak perlahan sebelum tinggal landas.
Advertisement
"Ini saatnya," kata pemuda 17 tahun itu seperti dikutip dari situs Reader's Digest.
Penerbangan Iberia Airlines dari Havana ke Madrid, Spanyol hanya dijadwalkan sekali sepekan. Berbulan-bulan sebelumnya, Armando dan rekannya, Jorge Perez Blanco (16) menyusun rencana. Mereka akan menyusup ke bagian roda pesawat.
Dua pemuda tanggung itu tahu benar, kapal terbang akan bergerak ke ujung landasan sepanjang 11.500 kaki, berhenti sejenak setelah berbalik, lalu menderu dengan kecepatan penuh hingga lepas landas.
Keduanya mengenakan sepatu bersol karet yang membantu mereka merangkak di atas roda. Juga tali pengaman, serta kapas untuk menyumpal telinga.
"Lari!," seru Armando pada Jorge saat pesawat berada sangat dekat dari posisi mereka. Kala semburan mesin merebahkan rerumputan.
Keduanya kemudian ambil langkah seribu sekuat tenaga ke landasan, menuju ke arah roda kiri pesawat yang saat itu tak sedang bergerak. "Saat Jorge memanjat roda setinggi 42 inchi (106 cm), aku melihat tak ada ruang bagi kami berdua di sana," kata Armando.
Lalu, ia berteriak, "Aku coba ke sisi lainnya!" Armando kemudian memanjat roda kanan, meraih penopang, memutar tubuh, menggeliat, memastikan dirinya masuk ke ceruk di bagian roda pesawat yang agak gelap.
Tak lama kemudian, pesawat mulai menderu kencang. Armando meraih bagian mesin apapun yang bisa ia raih, agar tak jatuh. Gemuruh mesin nyaris membuatnya tuli.
Gangguan pada Roda Pesawat
Ketika pesawat mengudara, dua roda pesawat, masuk kembali ke kompartemen penyimpannya dengan cepat. Permukaannya masih panas gara-gara gesekan dengan landasan. Armando nyaris terjepit.
Untungnya, roda pesawat itu kemudian kembali ke tempatnya tanpa menjepit tubuhnya yang kurus. Pintu tertutup, Armando tak bisa bergerak, suasana gelap gulita.
Belum lagi menghela napas lega, pintu kompartemen kembali terbuka dan roda-roda itu terentang seakan hendak landing.
Jantung Armando nyaris copot. "Jangan-jangan keberadaanku diketahui, pesawat ini akan berbalik untuk menyerahkanku ke polisi (Fidel) Castro."
Namun, tak lama kemudian, roda ditarik kembali. Armando melihat ada ruang ekstra di antara mesin-mesin di mana ia bisa menempatkan diri.
Pemuda itu menelan beberapa tablet aspirin untuk mengatasi efek suara yang bikin kepala puyeng. Susah bernapas. Ia menyesal tak mengenakan pakaian yang lebih hangat.
Sementara itu, di kokpit Penerbangan 904 ada Kapten Valentin Vara del Rey merasakan hal tak beres terjadi. Tepat setelah lepas landas, satu dari tiga lampu merah pada panel instrumen tetap menyala, menunjukkan penarikan landing gear yang sempurna.
"Anda mengalami kesulitan?" tanya petugas ATC.
"Ya," jawab pilot 44 tahun itu. "Ada indikasi roda kanan belum dimasukkan dengan benar. Saya akan ulangi prosedur."
Sang pilot kembali merentangkan roda pendaratan, lalu menariknya kembali. Kali itu, tak ada lagi kedipan lampu merah.
Pesawat kembali mengudara, menempuh 8 jam 20 menit ke titik tujuan.
Advertisement
Nyaris Beku
Kondisi Armando Socarras Ramirez bak surga dan neraka dengan para penumpang yang ada di dalam kabin.
Tubuhnya menggigil hebat di tengah hawa dingin yang menusuk. Pemuda itu bertanya-tanya apakah Jorge, kawannya, berhasil masuk ke roda kiri dengan baik.
Ia memikirkan orang tua, kekasih, dan apa yang mungkin mereka pikirkan saat mengetahui ulahnya.
Armando juga memikirkan apa gerangan yang membuatnya terjebak dalam keputusasaan hingga nekat menyusup ke roda pesawat.
"Aku memimpikan kebebasan. Aku ingin menjadi seorang seniman dan tinggal di Amerika Serikat. Di sana ada pamanku," kata dia.
Nyaris tak ada kesempatan untuk lari. Meski setiap hari ada dua pesawat yang meninggalkan Havana, namun daftar tunggunya mencapai 800 ribu orang.
"Siapapun yang mendaftar, pemerintah akan menganggapnya gusano -- cacing. Hidup bisajadi semakin tidak tertahankan.
Setelah meyibukkan pikirannya, kepala Armando tiba-tiba pening bukan kepalang. Kurang oksigen, ia tak sadarkan diri.
Keajaiban
Tanggal 4 Juni 1969, mafatahari terbit di atas Atlantik seperti bola emas yang besar. Sinarnya menyoroti pesawat DC-8 yang sedang melintasi pantai Eropa, di atas Portugal.
Jelang berakhirnya penerbangan yang menempuh jarak 5563 mil, Kapten Vara del Rey mulai menurunkan pesawatnya menuju Bandara Barajas, Madrid, Spanyol.
Pesawat dijadwalkan mendarat pukul 08.00. Lewat interkom, kapten memberi tahu para penumpangnya bahwa cuaca di Madrid cerah dan menyenangkan.
Tak lama setelah melewati Toledo, Kapten Vara del Rey menurunkan landing gear. Seperti biasa, manuver itu disertai dengan hentakan.
Akhirnya, pendaratan pesawat DC-8 berlangsung sempurna. Tanpa halangan.
Setelah pemeriksaan singkat pascapenerbangan, Kapyen Vara del Rey berjalan menuruni tangga tanjakan dan berdiri di dekat hidung pesawat menunggu mobil jemputan, bersama para kru.
Di dekat situ, tiba-tiba sesuatu terjatuh ke landasan di bawah pesawat. Tubuh Armando Socarras.
"Ketika aku menyentuh pakaiannya, pakaian itu beku seperti kayu," penjaga keamanan yang menemukan korban, Jose Rocha Lorenzana. "Ia hanya mengeluarkan suara aneh, seperti erangan."
Hal pertama yang diingat Armando usai siuman adalah ketika tubuhnya menghantam aspal bandara. Lalu, ia pingsan lagi sebelum terbangun di RS Gran de la Beneficencia di pusat kota Madrid.
Ia lebih mirip jenazah daripada tubuh yang bernyawa. Saking rendahnya, suhu tubuhnya tak bisa diukur dengan termometer.
"'Apakah saya di Spanyol?', Itu kata pertama yang saya ucapkan," kata Armando.
Ia juga bertanya di mana kawannya, Jorge Perez Blanco. Ternyata ia tak selamat, entah terjatuh atau terbawa semburan mesin jet dan masih ada di Kuba.
"Dokter mengatakan, kondisiku mirip pasien yang menjalani operasi 'deep-freeze'...," tulis Armando seperti dikutip dari Fox News.
"Dokter menyebut, aku berhasil selamat adalah sebuah 'keajaiban medis'. Sesungguhnya, aku merasa beruntung masih hidup."
Advertisement