Liputan6.com, Tangerang: Sejarah tradisi Tiongkok yang sangat tua dan besar membuat anggapan bahwa Negeri Cina adalah pusat dan pusar budaya dunia. Satu di antaranya terbukti di Kampung Sewan Gili, Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten. Wilayah yang terletak di bantaran Sungai Cisadane dan dihuni sekitar 100 kepala keluarga ini menjadi satu pemukiman komunitas warga Cina Benteng dengan tradisi dan agama leluhur yang relatif masih terjaga.
Generasi pertama etnis Tionghoa di Tangerang datang melalui pelabuhan rakyat Tanjung Pasir, Teluk Naga, sekitar abad ke-15. Saat itu mereka menyebut wilayah Tangerang dengan nama "Boen-Teng". Berawal dari sebutan itulah mereka kemudian dijuluki Cina Boen Teng. Julukan itu lama-kelamaan berubah menjadi Cina Benteng yang mayoritas warganya menjalani kehidupan sebagai pedagang kecil, buruh informal atau pencari ikan di pinggir kali.
Awalnya para pendatang Tionghoa generasi pertama di Tangerang hanya tinggal di kawasan Teluk Naga. Karena jumlahnya terus bertambah, mereka kemudian menyebar di beberapa wilayah. Antara lain Tanjung Kait, Cikupa, Rajeg, dan Kampung Sewan. Namun komunitas yang relatif masih asli hanya terdapat di Kampung Sewan.
Sayangnya, masyarakat Cina Benteng tak seberuntung warga etnis Tionghoa lainnya. Mereka kebanyakan hidup miskin. Diperkirakan mereka kalah bersaing dengan pendatang etnis Tionghoa generasi berikutnya yang lebih mahir berdagang. Ini bisa dilihat di daerah Pasar Lama, sebuah kawasan yang kini menjadi pusat Kota Tangerang.
Di sebuah sudut kawasan ini juga terdapat Klenteng "Boen Tek Bio", klenteng tua yang dibangun sekitar tahun 1750. Klenteng ini adalah bangunan rumah ibadah yang menjadi satu peninggalan bersejarah warga Cina Benteng.
Pada mulanya klenteng itu adalah bangunan sederhana dengan atap rumbai yang terbuat dari daun kelapa. Kemudian para pendatang etnis Tionghoa dari Batavia serta beberapa daerah lain memberikan sumbangan berupa uang dan bahan bangunan. Bangunan itu pun dibuat berbentuk permanen seperti sekarang ini melalui beberapa kali renovasi.
Klenteng Boen Tek Bio, yang secara harfiah berarti tempat ibadah yang penuh kebajikan, terdiri dari sebuah bangunan utama dan bangunan pendamping yang memiliki delapan kamar. Bangunan utama terdiri dari altar pemujaan Tuhan, altar pemujaan penguasa alam semesta, dan altar pemujaan Dewi Kuan Im sebagai tuan rumah klenteng. Sementara bangunan pendamping terdiri dari delapan kamar, tempat pemujaan bagi delapan Sinbeng atau dewa.
Saat ini klenteng dengan tuan rumah Dewi Kuan Im ini tak hanya berfungsi sebagai rumah peribadatan, tapi juga menjadi satu pusat interaksi antarwarga etnis Tionghoa di Tangerang, termasuk warga Cina Benteng. Apalagi pengelolaan klenteng dilakukan oleh sebuah paguyuban, yakni perkumpulan Boen Tek Bio, yang melaksanakan berbagai kegiatan termasuk kegiatan sosial.
Tradisi lain warga Kampung Sewan Gili yang hingga kini masih terjaga adalah upacara pernikahan. Kendati sebagian pasangan pengantin tak lagi mengenakan pakaian adat sesuai tradisi Cina Benteng, resepsi pernikahan tetap harus dilaksanakan di sebuah rumah khusus yang disebut "Rumah Kawin". Pemilik rumah kawin adalah sesama warga Cina Benteng yang khusus menyewakan kepada warga yang ingin melaksanakan pernikahan. Kedua keluarga yang ngawinin putra-putri mereka pun mengundang sesama warga Cina Benteng, tak ketinggalan warga pribumi setempat.
Layaknya persepsi pernikahan, sang pembuat hajatan menggelar hiburan buat para undangan. Para tamu pun dihibur oleh rombongan Gambang Kromong, penyanyi, dan penari Cokek, yang personelnya adalah warga Cina Benteng. Tembang demi tembang dilantunkan dengan iringan musik Gambang Kromong dan penari Cokek.
Saat malam mulai larut, para undangan pun ikut menari menggoyang tubuh ditingkahi iringan musik ritmis Gambang Kromong. Mereka tak kuasa menolak ajakan sang penari yang mengalungkan selendang untuk menggaet pasangannya. Namun hiburan ini khusus diperuntukan bagi para undangan, sedangkan warga yang tidak diundang hanya boleh menyaksikan dari luar rumah kawin. Karenanya selain memberikan angpao untuk pengantin, para undangan juga harus menyediakan uang sawer yang mesti diberikan kepada para penari. Inilah satu warisan leluhur warga Cina Benteng yang kemudian mengilhami kesenian Betawi dengan nama yang sama, Cokek.(PIN/Tim Potret)
Generasi pertama etnis Tionghoa di Tangerang datang melalui pelabuhan rakyat Tanjung Pasir, Teluk Naga, sekitar abad ke-15. Saat itu mereka menyebut wilayah Tangerang dengan nama "Boen-Teng". Berawal dari sebutan itulah mereka kemudian dijuluki Cina Boen Teng. Julukan itu lama-kelamaan berubah menjadi Cina Benteng yang mayoritas warganya menjalani kehidupan sebagai pedagang kecil, buruh informal atau pencari ikan di pinggir kali.
Awalnya para pendatang Tionghoa generasi pertama di Tangerang hanya tinggal di kawasan Teluk Naga. Karena jumlahnya terus bertambah, mereka kemudian menyebar di beberapa wilayah. Antara lain Tanjung Kait, Cikupa, Rajeg, dan Kampung Sewan. Namun komunitas yang relatif masih asli hanya terdapat di Kampung Sewan.
Sayangnya, masyarakat Cina Benteng tak seberuntung warga etnis Tionghoa lainnya. Mereka kebanyakan hidup miskin. Diperkirakan mereka kalah bersaing dengan pendatang etnis Tionghoa generasi berikutnya yang lebih mahir berdagang. Ini bisa dilihat di daerah Pasar Lama, sebuah kawasan yang kini menjadi pusat Kota Tangerang.
Di sebuah sudut kawasan ini juga terdapat Klenteng "Boen Tek Bio", klenteng tua yang dibangun sekitar tahun 1750. Klenteng ini adalah bangunan rumah ibadah yang menjadi satu peninggalan bersejarah warga Cina Benteng.
Pada mulanya klenteng itu adalah bangunan sederhana dengan atap rumbai yang terbuat dari daun kelapa. Kemudian para pendatang etnis Tionghoa dari Batavia serta beberapa daerah lain memberikan sumbangan berupa uang dan bahan bangunan. Bangunan itu pun dibuat berbentuk permanen seperti sekarang ini melalui beberapa kali renovasi.
Klenteng Boen Tek Bio, yang secara harfiah berarti tempat ibadah yang penuh kebajikan, terdiri dari sebuah bangunan utama dan bangunan pendamping yang memiliki delapan kamar. Bangunan utama terdiri dari altar pemujaan Tuhan, altar pemujaan penguasa alam semesta, dan altar pemujaan Dewi Kuan Im sebagai tuan rumah klenteng. Sementara bangunan pendamping terdiri dari delapan kamar, tempat pemujaan bagi delapan Sinbeng atau dewa.
Saat ini klenteng dengan tuan rumah Dewi Kuan Im ini tak hanya berfungsi sebagai rumah peribadatan, tapi juga menjadi satu pusat interaksi antarwarga etnis Tionghoa di Tangerang, termasuk warga Cina Benteng. Apalagi pengelolaan klenteng dilakukan oleh sebuah paguyuban, yakni perkumpulan Boen Tek Bio, yang melaksanakan berbagai kegiatan termasuk kegiatan sosial.
Tradisi lain warga Kampung Sewan Gili yang hingga kini masih terjaga adalah upacara pernikahan. Kendati sebagian pasangan pengantin tak lagi mengenakan pakaian adat sesuai tradisi Cina Benteng, resepsi pernikahan tetap harus dilaksanakan di sebuah rumah khusus yang disebut "Rumah Kawin". Pemilik rumah kawin adalah sesama warga Cina Benteng yang khusus menyewakan kepada warga yang ingin melaksanakan pernikahan. Kedua keluarga yang ngawinin putra-putri mereka pun mengundang sesama warga Cina Benteng, tak ketinggalan warga pribumi setempat.
Layaknya persepsi pernikahan, sang pembuat hajatan menggelar hiburan buat para undangan. Para tamu pun dihibur oleh rombongan Gambang Kromong, penyanyi, dan penari Cokek, yang personelnya adalah warga Cina Benteng. Tembang demi tembang dilantunkan dengan iringan musik Gambang Kromong dan penari Cokek.
Saat malam mulai larut, para undangan pun ikut menari menggoyang tubuh ditingkahi iringan musik ritmis Gambang Kromong. Mereka tak kuasa menolak ajakan sang penari yang mengalungkan selendang untuk menggaet pasangannya. Namun hiburan ini khusus diperuntukan bagi para undangan, sedangkan warga yang tidak diundang hanya boleh menyaksikan dari luar rumah kawin. Karenanya selain memberikan angpao untuk pengantin, para undangan juga harus menyediakan uang sawer yang mesti diberikan kepada para penari. Inilah satu warisan leluhur warga Cina Benteng yang kemudian mengilhami kesenian Betawi dengan nama yang sama, Cokek.(PIN/Tim Potret)