Petisi Menolak Pakai Sepatu Hak Tinggi Saat Bekerja Bergema di Jepang

Menggunakan tagar #KuToo, petisi menolak pakai sepatu hak tinggi saat bekerja itu sudah nyaris memenuhi target dalam empat hari peluncuran.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 07 Jun 2019, 21:01 WIB
Menggunakan tagar #KuToo, petisi menolak pakai sepatu hak tinggi saat bekerja itu sudah nyaris memenuhi target dalam empat hari peluncuran. (dok. Change.org/Yumi Ishikawa/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Jakarta - Sekelompok perempuan Jepang telah memasukkan petisi kepada pemerintah setempat. Mereka memprotes kebijakan perusahaan yang tidak tertulis terkait kewajiban penggunaan sepatu hak tinggi bagi para pekerja wanita selama bekerja.

Kampanye dengan tagar KuToo itu pertama kali diluncurkan oleh aktris dan penulis lepas Yumi Ishikawa. Baru empat hari diluncurkan, petisi tersebut nyaris memenuhi target.

Dilansir laman The Telegraph, Ishikawa menyebut penggunaan sepatu hak tinggi seringkali dianggap nyaris diwajibkan ketika perempuan mencari kerja ataupun bekerja di banyak perusahaan lokal.

Ia mengatakan telah mengajukan petisi yang meminta perlindungan hukum untuk melarang perusahaan memaksa pegawainya mengenakan sepatu hak tinggi, setelah bertemu dengan pejabat Kementerian Tenaga Kerja. Kepada media, ia menyebut pejabat yang ditemuinya adalah seorang perempuan dan bersimpati pada petisi tersebut.

"Dan dia mengatakan bahwa ini adalah pertama kalinya disuarakan dan sampai ke kementerian," kata Ishikawa. "Dan ini baru langkah pertama," ia menambahkan.

Meski begitu, belum ada pernyataan resmi dari pejabat kementerian perihal petisi tersebut. Sejumlah ahli mengatakan kasus tersebut dilatarbelakangi oleh masalah mendalam tentang misogini di Jepang.

Tahun lalu, seorang anggota parlemen dari partai berkuasa, Kanji Katp, menyebut perempuan semestinya memiliki banyak anak. Sementara, perempuan yang memilih melajang dinilai akan membebani negara di kemudian hari.

 

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Pemicu Petisi

Ilustrasi High Heels atau Sepatu Hak Tinggi (iStockphoto)

Sebelumnya, awal tahun ini, Ishikawa mencuit tentang keluhannya atas permintaan menggunakan sepatu hak tinggi demi pekerjaan di hotel. Keluhan itu kemudian viral dan mendorongnya meluncurkan kampanye tersebut.

Dia menyebut hal itu juga sekaligus merespons gerakan anti-kekerasan seksual, #MeToo, yang bergaung di seluruh dunia. "Setelah aku sadari banyak orang yang menghadapi masalah yang sama, aku memutuskan meluncurkan kampanye ini."

Petisi serupa yang menolak penggunaan sepatu hak tinggi di tempat kerja juga telah ditandatangani oleh 150 ribu orang di Inggris. Petisi itu diluncurkan sebagai bentuk dukungan pada Nicola Thorp, seorang resepsionis yang dipecat karena menggunakan sepatu tanpa hak.

Nicola mengaku dipulangkan pada hari pertama dia bertugas sebagai resepsionis sementara pada Mei 2016 karena menolak menggunakan sepatu dengan hak 2-4 inci.

Kasus tersebut mendapat perhatian dari parlemen dan mencuatkan sejumlah masalah serupa karena perempuan diminta menggunakan sepatu hak tinggi, termasuk untuk pekerjaan memanjat tangga, membawa bawaan berat, hingga berjalan jauh. Namun, pemerintah bergeming dengan menyebut aturan itu sudah masuk dalam Undang-Undang Kesetaraan 2010.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya