Liputan6.com, Jakarta Tidak ada nikmat yang lebih besar daripada mendapatkan pahala dari Allah SWT. Selain untuk menyempurnakan ibadah, umat muslim yang menjalankan puasa Syawal mengejar pahala seperti berpuasa selama setahun penuh.
Agar keutamaan puasa Syawal didapatkan secara maksimal, umat muslim harus mengikuti tata cara melakukan ibadah puasa Syawal.Dilansir dari muslim.or.id, secara umum tata cara puasa Syawal sama dengan tata cara puasa Ramadan. Perbedaannya hanya pada beberapa hal yakni :
Advertisement
1. Boleh niat puasa setelah terbit fajar
Syarat untuk melakukan ibadah Ramadan, yaitu diawali dengan niat pada malam hari sebelum puasa atau sebelum terbit fajar. Dijelaskan oleh para ulama, hal itu hanya berlaku untuk ibadah puasa wajib saja. Pada puasa sunah, diperbolehkan untuk melakukan niat setelah terbit fajar. Sebagamana yang diceritakan Aisyah ra dalam hadis :
قال لي رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ، ذاتَ يومٍ
يا عائشةُ ! هل عندكم شيٌء ؟
قالت فقلتُ : يا رسولَ اللهِ ! ما عندنا شيٌء
قال فإني صائمٌ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepadaku pada suatu hari: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan pagi ini?)’. Aku menjawab: ‘wahai Rasulullah, kita tidak memiliki sesuatupun (untuk dimakan)’. Beliau lalu bersabda: ‘kalau begitu aku akan puasa’” (HR. Muslim no. 1154).
Menurut pendapat Imam An-Nawawi, niat puasa sunah dapat dilakukan siang hari :
وَفِيهِ دَلِيلٌ لِمَذْهَبِ الْجُمْهُورِ أَنَّ صَوْمَ النَّافِلَةِ يَجُوزُ بِنِيَّةٍ فِي النَّهَارِ قَبْلَ زَوَالِ الشَّمْسِ
“Hadits ini merupakan dalil bagi jumhur ulama bahwa dalam puasa sunah boleh menghadirkan niat di siang hari sebelum zawal (matahari mulai bergeser dari tegak lurus)” (Syarah Shahih Muslim, 8/35).
2. Pelaksanaannya tidak harus berurutan
Berbeda dengan puasa Ramadan, pelaksanaan puasa Syawal tidak diwajibkan harus berurutan atau boleh dilakukan secara terpisah-pisah. Hal ini dijelaskan oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagai berikut :
صيام ست من شوال سنة ثابتة عن رسول الله – صلى الله عليه وسلم – ويجوز صيامها متتابعة ومتفرقة ؛ لأن الرسول – صلى الله عليه وسلم – أطلق صيامها ولم يذكر تتابعاً ولا تفريقاً ، حيث قال – صلى الله عليه وسلم
من صام رمضان ثم أتبعه ستاً من شوال كان كصيام الدهر
أخرجه الإمام مسلم في صحيحه
“Puasa enam hari di bulan Syawal telah sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dan boleh mengerjakannya secara mutatabi’ah (berurutan) atau mutafarriqah (terpisah-pisah). Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan puasa Syawal secara mutlaq (baca: tanpa sifat-sifat tambahan) dan tidak disebutkan harus berurutan atau harus terpisah-pisah. Beliau bersabda: ‘Barangsiapa yang puasa Ramadan lalu diikuti dengan puasa enam hari di bulan Syawal, ia mendapatkan pahala puasa setahun penuh‘ (HR. Muslim dalam Shahihnya)” (Majmu’ Fatawa wa Maqalah Mutanawwi’ah, 15/391).
3. Boleh membatalkan puasa dengan atau tanpa uzur (halangan)
Dalam Islam, dibolehkan membatalkan puasa sunah baik karena suatu uzur syar’i maupun tanpa uzur. Hal ini diceritakan Aisyah radhiallahu’anha dalam hadis berikut:
دخل علي النبي صلى الله عليه وسلم ذات يوم فقال : هل عندكم شيء ؟ فقلنا : لا ، قال : فإني إذن صائم ، ثم أتانا يوما آخر فقلنا : يا رسول الله أهدي لنا حيس ، فقال أرينيه فلقد أصبحت صائما ، فأكل
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam suatu hari masuk ke rumah dan bertanya: ‘Wahai Aisyah, apakah engkau memiliki sesuatu (untuk dimakan)?’. Aisyah menjawab: ‘tidak’. Beliau bersabda: ‘kalau begitu aku akan berpuasa’. Kemudian di lain hari beliau datang kepadaku, lalu aku katakan kepada beliau: ‘Wahai Rasulullah, ada yang memberi kita hadiah berupa hayis (sejenis makanan dari kurma)’. Nabi bersabda: ‘kalau begitu tunjukkan kepadaku, padahal tadi aku berpuasa’. Lalu Nabi memakannya” (HR. Muslim no. 1154).
Walaupun dibolehkan membatalkan puasa sunah tanpa uzur, akan tetapi lebih baik tidak membatalkannya tanpa alasan yang jelas. Hal itu dijelaskan okeh Syaikh Abdul Aziz bin Baz sebagai berikut :
إذا كان الصوم نافلة فله أن يفطر، ليس بلازم، له الفطر مطلقاً، لكن الأفضل ألا يفطر إلا لأسباب شرعية: مثل شدة الحر، مثل ضيف نزل به، مثل جماعة لزَّموا عليه أن يحضر زواج أو غيره يجبرهم بذلك فلا بأس
“Jika puasa tersebut adalah puasa sunah, maka boleh membatalkannya, tidak wajib menyempurnakannya. Ia boleh membatalkannya secara mutlak. Namun yang lebih utama adalah tidak membatalkannya kecuali karena sebab yang syar’i, semisal karena panas yang terik, atau badan yang lemas, atau ada orang yang mengundang ke pernikahan, atau hal-hal yang memaksa untuk membatalkan puasa lainnya, maka tidak mengapa.”
4. Bagi wanita hendaknya meminta izin kepada suaminya
Bila seorang wanita ingin mengerjakan puasa sunah, termasuk puasa Syawal, maka wajib meminta izin kepada suaminya terlebih dahulu atau ia mengetahui bahwa suaminya mengizinkan. Apabila tanpa izin suami, maka ibadahnya terhitung berdosa. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لا يحِلُّ للمرأةِ أن تصومَ وزَوجُها شاهِدٌ إلَّا بإذنِه، ولا تأذَنْ في بيته إلا بإذنِه
“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sedangkan suaminya hadir (tidak sedang safar) kecuali dengan seizinnya. Dan tidak halal seorang wanita membiarkan orang lain masuk kecuali dengan seizin suaminya” (HR. Bukhari no. 5195).
Puasa yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah puasa sunah, sebagaimana dijelaskan Al-Hafizh Ibnu Hajar berikut :
قَوْلُهُ شَاهِدٌ أَيْ حَاضِرٌ قَوْلُهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْنِي فِي غَيْرِ صِيَامِ أَيَّامِ رَمَضَانَ وَكَذَا فِي غَيْرِ رَمَضَانَ مِنَ الْوَاجِبِ إِذَا تَضَيَّقَ الْوَقْتُ
“Sabda beliau [sedangkan suaminya hadir] maksudnya sedang tidak safar. [kecuali dengan seizinnya] maksudnya selain puasa Ramadan. Demikian juga berlaku pada puasa wajib selain puasa Ramadan jika waktunya sempit (maka tidak perlu izin.)”.
Beliau juga mengatakan:
وَفِي الْحَدِيثِ أَنَّ حَقَّ الزَّوْجِ آكَدُ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنَ التَّطَوُّعِ بِالْخَيْرِ لِأَنَّ حَقَّهُ وَاجِبٌ وَالْقِيَامُ بِالْوَاجِبِ مُقَدَّمٌ عَلَى الْقِيَامِ بِالتَّطَوُّعِ
“Dalam hadis ini terdapat dalil bahwa hak suami lebih ditekankan bagi wanita daripada ibadah sunah. Karena menunaikan hak suami itu wajib dan wajib mendahulukan yang wajib daripada yang sunah” (Fathul Baari, 9/296).