Liputan6.com, Bangkok - Pengadilan di Thailand menjatuhkan hukuman dua tahun penjara kepada mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, karena terbukti menyalahi skema lotere nasional yang ia luncurkan saat menjabat lebih dari satu dekade lalu.
Putusan in absentia itu diketuk palu oleh Divisi Kriminal Pemegang Posisi Politik pada Mahkamah Agung Thailand pada Kamis 6 Juni 2019, yang menyimpulkan bahwa Thaksin telah melanggar undang-undang kebijakan negara.
Baca Juga
Advertisement
Thaksin sendiri digulingkan oleh kudeta militer pada tahun 2006, dan telah absen dari perpolitikan Thailand sejak 2008 ketika ia melarikan diri untuk menghindari penyelidikan hukum.
April lalu, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera pada Jumat (7/6/2019), Thaksin dijatuhi hukuman tiga tahun penjara karena mengarahkan Bank Ekspor-Impor Thailand untuk memberi pinjaman ke Myanmar, di mana faktanya justru digunakan untuk mendanai perusahaan komunikasi satelit yang dikendalikan oleh dia dan keluarganya.
Namun, tidak disebutkan apakah Thaksin akan menerima gabungan kedua hukuman penjara, atau ada penyesuaian khusus dari otoritas hukum Thailand.
Kasus lotre diketahui bermula pada 2003 silam, sebagai upaya untuk meniru pertaruhan serupa di ranah ilegal.
Permainan ini dinilai fleksibel karena setiap orang bisa memilih dua dan tiga angka, dan bertaruh dalam jumlah kecil, dibandingkan dengan sistem lotre resmi yang memiliki nomor tetap dan berpeluang lebih sedikit untuk menang.
Tidak Ada Komentar dari Thaksin
Lotre ilegal sangat populer di Thailand, dan skema Thaksin adalah upaya untuk mengarahkan sebagian uang yang masuk ke kas pemerintah sebagai gantinya.
Pengadilan menemukan bahwa Thaksin mengabaikan praktik administrasi standar dalam memulai lotre baru, yang dihentikan ketika ia dipaksa turun dari jabatan perdana menteri.
Tidak ada komentar langsung dari Thaksin, yang memiliki rumah di Dubai dan sering bepergian antar negara.
Dia secara konsisten membantah melakukan kesalahan saat menjabat sebagai perdana menteri, dan menggambarkan berbagai tuduhan kasus terhadapnya sebagai motivasi politik.
Thaksin menggunakan kekayaannya sebagai miliarder telekomunikasi untuk menciptakan partai politik yang memenangkan pemilihan umum tahun 2001, di mana menjadikannya perdana menteri.
Dengan melembagakan kebijakan populis, ia memenangkan dukungan luas dari mayoritas pedesaan di negara itu, dan kelompok miskin perkotaan.
Advertisement
Kekacauan Politik Pasca-Kudeta
Kudeta memicu perjuangan panjang dan kadang-kadang keras untuk merebut kekuasaan antara pendukung dan penentang Thaksin.
Pengadilan, salah satu institusi paling royalis dan konservatif di Thailand, memainkan peran utama dalam memerangi kembalinya Thaksin, melalui keputusan kontroversial yang secara konsisten menggerogoti sekutu-sekutunya.
Hal tersebut, pada akhirnya, memaksa tiga perdana menteri lainnya yang loyal kepada Thaksin untuk mundur.
Smeentara itu, para pengkritik pengadilan menyatakan Thailand berada di bawah pengaruh sistem yang dikenal sebagai "juristokrasi" atau "judiokrasi", di mana pengadilan menjalankan kekuasaan politik yang mengesampingkan cabang-cabang pemerintahan lainnya, termasuk pejabat terpilih.