Liputan6.com, Cilacap - Musim angin timur di perairan selatan Jawa salah satunya ditandai dengan munculnya ubur-ubur. Di antara ubur-ubur yang bisa di panen itu, ada pula ubur-ubur tudung biru atau ubur-ubur api.
Nelayan Kebumen dan Cilacap menyebutnya sebagai Rawe. Dan Rawe, dalam bahasa lokal berkonotasi dengan gatal dan pedas layaknya semak Rawe yang juga menyebabkan panas dan gatal sekujur tubuh.
Disebut ubur-ubur api lantaran makhluk laut itu bisa menyebabkan iritasi, gatal dan pedas di bagian kulit yang bersentuhan langsung dengan ubur-ubur api ini.
Baca Juga
Advertisement
Nah, celakanya, musim ubur-ubur api kali bersamaan dengan libur lebaran 2019. Tak pelak, banyak wisatawan yang terserang ubur-ubur api ini.
Sebenarnya, tak tepat pula mengatakan wisatawan diserang ubur-ubur. Pasalnya, ubur-ubur pasif dan hanya mengikuti arus laut. Ubur-ubur ini banyak terdampar di pantai.
"Kalau serangan kan ubur-ubur aktif menyerang. Ya karena menempel saja di kulit,” ucap Komandan Basarnas Pos SAR Cilacap, Moelwahyono, Sabtu (8/6/2019).
Di sejumlah pantai wisata Kebumen dan Cilacap puluhan wisatawan dilaporkan tersengat ubur-ubur api sepanjang libur lebaran 2019. Wisatawan tak menyadari keberadaan ubur-ubur di air atau pinggir pantai.
Terapi Tradisional
Sebab, ukuran ubur-ubur tudung biru itu kecil dan transparan sulit terdeteksi di air. Terlebih saat terdampar di pantai penuh buih air.
"Lebih tepatnya ya karena menempel kemudian gatal-gatal dan panas," katanya.
Hingga Sabtu pagi ini, Basarnas belum memperoleh laporan terperinci mengenai jumlah korban serangan ubur-ubur. Kemungkinan karena dampak ubur-ubur ini tak begitu fatal.
Ubur-ubur dilaporkan muncul di seluruh pantai wisata Kebumen hingga Cilacap. Dari Pantai Suwuk hingga Teluk Penyu, Cilacap, ada laporan wisatawan yang tersengat ubur-ubur.
Korban terbanyak ubur-ubur biru adalah anak-anak. Diduga, mereka tertarik untuk bermain dengan ubur-ubur kecil yang warnanya biru dan menarik.
Anak-anak ini tidak menyadari bahwa ubur-ubur itu bisa mengeluarkan zat yang berbahaya bagi kulit. Akibatnya, korban mengalami iritasi kulit dan panas seperti terbakar.
Secara tradisional, dampak serangan ubur-ubur bisa diobati dengan cairan cuka. Jika tak ada cairan cuka, masyarakat lokal mengobati iritasi akibat ubur-ubur dengan kapur sirih atau enjet.
"Penanganan sekarang ya diobati oleh tenaga medis yang tergabung dalam tim pengamanan wisata di pantai wisata. Sudah dibekali obat untuk mengobati dampak ubur-ubur," dia menjelaskan.
Advertisement
Bisa Pingsan
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Cilacap, Sarjono mengatakan musim ubur-ubur biasanya memang muncul pada musim angin timur sekitar Juli-Agustus.
Di antara jenis-jenis ubur-ubur itu, ada pula jenis ubur-ubur tudung biru atau ubur-ubur api. Nelayan telah terlatih untuk menangani jenis ubur-ubur ini.
Mereka menghindari kontak langsung dengan jenis ubur-ubur ini. Sebab, ubur-ubur ini bisa menyebabkan iritasi dan panas di kulit.
Ada kalanya, saat tubuh tidak dalam kondisi baik, dampaknya juga bisa lebih besar. Misalnya, sampai menyebabkan sesak napas.
Bahkan, ubur-ubur yang oleh warga lokal disebut Leteh atau Rawe, yang sengatannya bisa bikin melepuh. Tak jarang, tentakelnya yang beracun bikin korban pingsan.
"Itu biasanya kalau yang kena ubur-ubur memang punya penyakit bawaan. Normalnya hanya iritasi, panas dan gatal," ucap Sarjono.
Sarjono memperingatkan, ubur-ubur banyak ditemui di kawasan pantai. Sebab itu, wisatawan diminta untuk berhati-hati. Sebab, ubur-ubur bisa menyebabkan gatal-gatal pedas.
Sarjono menerangkan, Leteh ini banyak ditemukan bersamaan dengan munculnya ubur-ubur biasa. Termasuk di pinggiran pantai, lantaran terdampar terbawa ombak.
Praktisi makanan laut (Sea food), Steve Saputra mengatakan, ubur-ubur tudung biru dikenal sebagai ubur-ubur api. Hewan ini, menurut dia, memang berbahaya.
Ubur-ubur api ini tak lazim dikonsumsi lantaran bahayanya. Hanya menyentuhnya saja, bisa menyebabkan iritasi lantaran semburan Venom atau racunnya.
Saksikan video pilihan berikut ini: