Liputan6.com, Jakarta Parlemen Jerman telah menyetujui suatu paket legislasi yang merombak peraturan mengenai suaka dan migrasi di negara tersebut.
Undang-undang yang disahkan Jumat kemarin mencakup legislasi usulan pemerintah yang dimaksudkan untuk mempersulit mereka yang gagal mendapatkan suaka, menghindari deportasi atau menyembunyikan identitas mereka yang sesungguhnya.
Baca Juga
Advertisement
Dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu (9/6/2019), lebih dari 200 ribu pencari suaka yang gagal itu diminta untuk meninggalkan Jerman tahun lalu.
Namun, pihak berwenang baru berhasil mendeportasi sekitar 25 ribu orang saja.
Sebuah legislasi terpisah yang disahkan oleh parlemen juga mempermudah tenaga kerja terampil yang bukan warganegara Uni Eropa untuk datang ke Jerman.
Mereka dengan kualifikasi memadai, yang mampu berbicara dalam bahasa Jerman, pada masa mendatang juga akan dapat mengajukan permohonan izin enam bulan untuk berburu pekerjaan di Jerman.
Sebelumnya, para pekerja migran dari luar Uni Eropa harus menunjukkan bahwa mereka memiliki kontrak ketenagakerjaan sebelum tiba di Jerman.
Parlemen Jerman Halangi Migran dari 4 Negara
Pada awal tahun ini, anggota parlemen Jerman telah menyetujui rencana pemerintah untuk menyatakan tiga negara di Afrika Utara dan Georgia sebagai negara yang aman.
Ini merupakan langkah yang dimaksudkan untuk mencegah migran dari negara-negara tersebut dan merampingkan proses penanganan permohonan suaka.
Majelis rendah di parlemen memutuskan dengan 509 suara mendukung berbanding 138 menolak dan empat abstain, untuk mendukung penetapan Aljazair, Maroko, Tunisia dan Georgia sebagai negara aman.
Tetapi peluang pemerintah untuk menjadikan legislasi tersebut sebagai undang-undang tampaknya diragukan karena rencana tersebut memerlukan persetujuan majelis tinggi, yang merupakan lembaga perwakilan 16 pemerintah negara bagian di Jerman. Banyak di antara pemerintah negara bagian itu mencakup partai Hijau yang beroposisi, yang menentang penetapan negara-negara Afrika Utara sebagai negara yang aman.
Majelis tinggi di parlemen menolak serupa pada tahun 2017.
Advertisement