Kualitas Udara Jakarta Terburuk Sedunia Saat Libur Lebaran

Penyebab utama buruknya kualitas udara bukan hanya dari gas timbal dari padatnya kendaraan bermotor saat sebelum libur Idul Fitri 2019 saja.

Oleh JawaPos.com diperbarui 10 Jun 2019, 09:53 WIB
Asap knalpot dari angkutan umum yang meintas di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Selasa (12/3). Rata-rata harian kualitas udara di Jakarta dengan indikator PM 2.5 pada 2018 adalah 45,3 mikrogram per meter kubik udara. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Libur panjang Idul Fitri 1440 Hijriah berakhir pada Minggu, 9 Juni 2019. Jutaan kendaraan diperkirakan akan kembali memadati Ibu Kota usai mudik dari kampung halaman. Namun, hal tersebut justru bukan yang menjadi permasalahan inti dari buruknya kualitas udara yang ada di Jakarta.

Menurut Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Nur Hidayati, pihaknya telah melakukan pengecekan kualitas udara saat H-1 perayaan Idul Fitri 2019.

Rupanya, penyebab utama buruknya kualitas udara bukan hanya dari gas timbal dari padatnya kendaraan bermotor. Sehingga, harus dilakukan penelitian apa yang menjadi sebab buruknya kualitas udara di Jakarta.

"Satu hari sebelum Lebaran kalau enggak salah kita menduduki peringkat pertama pada pagi hari ya. Kota yang paling terpolusi di dunia, dari indeks standar kualitas udara," kata wanita yang akrab disapa Yaya saat dihubungi JawaPos.com, Minggu, 9 Juni 2019.

Yaya menjelaskan, tingginya mobilitas kendaraan di Ibu Kota menjadi salah satu penyebab buruknya kualitas udara di Jakarta. Namun, kata dia, perlu juga dilihat sumber lainnya yang dapat mengakibatkan buruknya udara di wilayah Ibu Kota.

"Misalnya industri dari cerobong asap, industri pabrik-pabrik, lalu juga pembangkit listrik tenaga batu bara yang ada di sekitar Jakarta, itu juga perlu diteliti," ucapnya.

Yaya menilai, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dapat bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk melakukan penelitian dari buruknya kualitas udara di Jakarta.

Karena menurut Yaya, pemerintah kurang melakukan monitoring tehadap kualitas udara khususnya di Jakarta. Selain itu, dirinya berharap Pemda DKI Jakarta dapat terus melakukan monitoring dengan melakukan pemasangan alat pengecekan udara.

"Jadi sebenarnya kualitas udara kita sudah buruk dan masyarakat berhak tahu apa resiko di udara dan apa resiko dampaknya," papar Yaya.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Kualitas Udara Terburuk

Petugas mengetes gas buang pada uji emisi mobil gratis di Lapangan Gris Semarang, Selasa(23/4). Dinas Lingkungan Hidup Perhubungan Kota Semarang mengadakan uji emisi gratis untuk mendukung program biru langitku di wilayah Kota Semarang. (Liputan6.com/Gholib)

Senada dengan Yaya, juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mencatat, Air Quality Index (AQI) Jakarta pada Selasa, 4 Juni 2019 atau H-1 Lebaran, polusi udara sempat menyentuh 210 US AQI.

Angka tersebut menurut Yaya, justru menunjukkan, kota Jakarta menjadi juara kualitas udara terburuk di dunia pada hari itu.

"Jakarta sempat nomor satu (terburuk) dengan US AQI 210. Angka ini berarti masuk kategori sangat tidak sehat. Padahal Jakarta sangat lowong saat itu," ucap Bondan.

Bondan menyebut, angka polusi tersebut mengalahkan kota Chengdu, China dengan 171 US AQI dan kota Dubai, Uni Emirat Arab.

Kendati salah satu sumber polutan yakni pembakaran kendaraan bermotor sudah berkurang signifikan mengingat jutaan kendaraan telah meninggalkan Jakarta.

Oleh karena itu, Bondang menilai, ada sumber polutan lain yang membuat udara Jakarta sangat buruk. Sehingga dia pun meminta Pemprov DKI dapat bekerjasama dengan pihak KLHK untuk melakukan pemantauan kualitas udara di Ibu Kota.

"Harusnya tren ini ini dicatat oleh KLHK. Kadang tinggi, kadang rendah, itu harus dicari sumber polutannya. Lalu supaya ada langkah strategis yang bisa dilakukan," pungkas Bondan.

 

Baca Berita Menarik Jawapos lainnya di Sini

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya