Liputan6.com, Yerusalem - Israel memiliki hak untuk mencaplok setidaknya beberapa bagian, tetapi "tidak mungkin semua" wilayah Tepi Barat yang dipersengketakan dengan Palestina, kata Duta Besar Amerika Serikat untuk Israel, David Friedman dalam sebuah wawancara.
Komentar itu datang menjelang pengumuman proposal perdamaian Timur Tengah rumusan pemerintahan Presiden Donald Trump atau "Deal of the Century" yang diharapkan rilis pada akhir Juni 2019.
Friedman juga semakin menguatkan niat Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang telah berjanji untuk mulai mencaplok permukiman Yahudi di Tepi Barat, sebuah langkah yang akan melanggar hukum internasional dan bisa menjadi pukulan fatal bagi solusi dua negara atau Two-State Solution untuk konflik Israel - Palestina.
"Dalam keadaan tertentu," kata Friedman, "Saya pikir Israel memiliki hak untuk mempertahankan beberapa, tetapi tidak semua, dari Tepi Barat," jelasnya kepada The New York Times, dikutip dari The Guardian, Senin (10/6/2019).
Baca Juga
Advertisement
Friedman menolak untuk mengatakan bagaimana Washington akan menanggapi pencaplokan, tetapi mengatakan:
"Kami benar-benar tidak memiliki pandangan sampai kita mengerti seberapa banyak, pada istilah apa, mengapa itu masuk akal, mengapa itu baik untuk Israel, mengapa itu baik untuk kawasan, mengapa tidak menciptakan lebih banyak masalah daripada menyelesaikannya."
"Ini semua adalah hal yang ingin kami pahami, dan saya tidak ingin berprasangka."
Banyak dunia menganggap permukiman Israel di Tepi Barat pasca Perang 1967 adalah ilegal dan akan menganggap pencaplokan sebagai kejahatan. Pengkritik Israel, termasuk sekelompok mantan pejabat militer dan keamanan nasional AS yang disegani, memperingatkan bahwa pencaplokan dapat menyebabkan kekerasan dan mengharuskan militer untuk menduduki wilayah perkotaan Palestina untuk pertama kalinya dalam beberapa dekade.
Friedman juga menyalahkan pemerintahan presiden AS sebelumnya, Barack Obama, yang ia sebut telah mempromosikan disetujuinya Resolusi Dewan Keamanan PBB 2334 Tahun 2016 --yang mengutuk permukiman Israel sebagai "pelanggaran mencolok" hukum internasional.
Resolusi itu, kata Friedman, memberikan kepercayaan kepada argumen Palestina "bahwa seluruh Tepi Barat dan Yerusalem Timur adalah milik mereka."
"(Tapi) tentu saja Israel berhak untuk mempertahankan sebagian dari itu," kata Friedman tentang Tepi Barat.
David Friedman, yang merupakan mantan pengacara finansial Trump dan pendukung firma-firma Israel, adalah satu dari setidaknya tiga orang kepercayaan presiden dalam menyusun proposal 'the Deal', di samping Jared Kushner dan Jason Greenbllatt. Mereka tidak datang dengan pengalaman politik, tetapi telah berbagi minat dan koneksi yang lama dengan Israel.
Gedung Putih telah mengerjakan proposal untuk perdamaian antara Israel dan Palestina.
Belum diungkapkan detail proposal. Tapi, dalam sebuah wawancara dengan Axios pekan lalu, penasihat Gedung Putih Jared Kushner meragukan kemampuan Palestina untuk memerintah sendiri, serta mengindikasikan sikap AS yang tak meyakini Solusi Dua Negara dalam proposal mereka.
"Ada perbedaan antara keinginan para teknokrat dan ada perbedaan di antara keinginan orang-orang. Para teknokrat berfokus pada hal-hal yang sangat teknokratis dan ketika saya berbicara dengan orang-orang Palestina, yang mereka inginkan adalah kesempatan untuk menjalani kehidupan yang lebih baik," jawab Kushner.
Pejabat Palestina melihat rencana Gedung Putih sebagai bias terhadap mereka. Dalam pidato yang disiarkan di TV Palestina baru-baru ini, Presiden Otorita Palestina Mahmoud Abbas mengatakan bahwa "kesepakatan abad ini" dan KTT untuk Ekonomi Palestina di Bahrain yang berlangsung bulan ini "dapat pergi ke neraka."
Tujuan KTT Bahrain adalah untuk menggalang dukungan bagi komponen ekonomi dari rencana perdamaian pemerintah tanpa terhambat dalam isu-isu teritorial yang lebih kontroversial.
Abbas mengatakan para pejabat Palestina akan memboikot pertemuan puncak itu.
AS Tak Komitmen pada Solusi Dua Negara?
Ketidakmampuan Jared Kushner untuk secara eksplisit mengatakan apakah rencana perdamaiannya mencakup Solusi Dua Negara, akan semakin menguatkan persepsi di kalangan pejabat Ramallah bahwa rencana menantu Presiden Trump itu bias terhadap Israel.
Namun, persepsi itu sudah tertanam lama, lewat dukungan kuat administrasi Trump untuk Israel, yang telah ditunjukkannya dengan retorika dan dengan serangkaian langkah kebijakan kontroversial yang telah melemahkan kepentingan Palestina, meliputi: memindahkan kedutaan AS ke Yerusalem, mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, dan memotong dana untuk badan PBB yang mendukung pengungsi Palestina (UNRWA).
Kushner menepis anggapan bahwa tindakan pemerintahan Trump telah menyebabkan ketidakpercayaan antara dia dan Palestina, dengan mengatakan dia "tidak di sini untuk percaya."
"Padahal kepercayaan tampaknya merupakan komponen yang sangat vital untuk mendapatkan dukungan untuk kesepakatan perdamaian apa pun," tulis Jen Kirby dari Vox.
Advertisement
Sekilas Solusi Dua Negara
Solusi dua negara merupakan salah satu opsi solusi konflik Israel - Palestina yang menyerukan untuk dibuatnya "dua negara untuk dua warga."
Dengan solusi dua negara, Negara Palestina berdampingan dengan Israel, di sebelah barat Sungai Yordan. Perbatasan antarnegara masih dipersengketakan dengan pemimpin Palestina, dan negara Arab menginginkan "perbatasan pada tahun 1967", yang tidak disepakati oleh Israel.
Wilayah bekas Mandat atas Palestina tidak akan menjadi bagian dari Negara Palestina, dan akan menjadi bagian dari wilayah Israel.
Sejarah dari kerangka solusi telah tertulis dalam resolusi PBB mengenai "penyelesaian damai tentang masalah Palestina" yang ada sejak tahun 1974, PBB melaporkan, seperti dikutip dari The United Nations - Question of Palestine.
Resolusi tersebut menyerukan untuk "kedua negara, Israel dan Palestina ... hidup berdampingan dengan batas negara yang diakui" dengan "sebuah resolusi masalah sesuai dengan Resolusi PBB 194. Batas negara Palestina berdasarkan dengan batas negara sebelum tahun 1967".
Resolusi terbaru pada bulan November 2013 disahkan dengan suara 165-6, dengan 6 abstain, catat arsip Majelis Umum PBB. Negara yang menentang adalah Kanada, Israel, Amerika Serikat, Negara Federasi Mikronesia, Kepulauan Marshall dan Palau.
Palestina telah "menunjukkan niat yang serius" untuk solusi dua negara sejak pertengahan tahun 1970-an, dan pemimpin negara lainnya telah mendukung konsep sejak tahun 1982 KTT Arab di Fez, tulis Mark A Tessler dalam bukunya 'A History of the Israeli-Palestinian Conflict'.
Sudah banyak upaya diplomatik yang dilakukan untuk mewujudkan solusi dua negara, mulai dari Konferensi Madrid tahun 1991. Kemudian Perjanjian Oslo 1993 dan Pertemuan Camp David 2000 yang gagal, dan dilanjutkan dengan Pertemuan Taba di awal tahun 2001.
Pada tahun 2002, Liga Arab mengusulkan Prakarsa Perdamaian Arab. Prakarsa perdamaian terbaru adalah Pembahasan Perdamaian tahun 2013-2014 yang juga gagal.