Ridwan Kamil dan Ustaz Rahmat Baequni Bahas Anggapan Simbol Illuminati di Masjid Al Safar

Pertemuan bertajuk silaturahmi dan diskusi yang digelar di lingkungan Gedung Pusdai itu turut membahas Masjid Al Safar.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 10 Jun 2019, 17:00 WIB
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Ustaz Rahmat Baequni berdiskusi mengenai Masjid Al Safar di Gedung Pusdai, Kota Bandung, Senin (10/6/2019). (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Ustaz Rahmat Baequni akhirnya bertemu dalam sebuah forum yang digelar Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jabar, Senin (10/6/2019). Pertemuan bertajuk silaturahmi dan diskusi yang digelar di lingkungan Gedung Pusdai itu turut membahas Masjid Al Safar.

Seperti diketahui, Masjid Al Safar merupakan rancangan Ridwan Kamil. Tempat ibadah kaum muslim di rest area KM 88 B, Tol Cipularang itu menjadi sorotan dan viral beberapa waktu lalu. Karya Emil, sapaan Ridwan Kamil, dianggap oleh sebagian orang memiliki simbol illuminati.

Tudingan simbol illuminati itu muncul karena di bagian mimbar mirip dengan 'All Seeing Eye' alias mata satu, yang diketahui sebagai simbol utama dalam illuminati. Melewati sejarah panjang, illuminati biasa digunakan untuk menyebut organisasi persekongkolan yang dipercaya mendalangi dan mengendalikan berbagai peristiwa di dunia melalui pemerintah dan korporasi. 

Sebelumnya, cerita soal Masjid Al Safar muncul dalam tayangan Youtube yang dipublikasikan akun Teras Dakwah. Dalam video yang tayang pada periode Januari hingga Mei 2019 tersebut, Ustaz Rahmat Baequni sedang berceramah di suatu tempat di Yogyakarta.

Dia mengaitkan bentuk masjid itu dengan gerakan pemuja dajjal dan iblis. Cuplikan videonya lantas berkembang menjadi viral di media sosial Twitter.

Imbas dari perdebatan masjid tersebut, MUI Jabar menggelar pertemuan yang menghadirkan Ridwan Kamil dan Rahmat Baequni. Pantauan di lokasi, gedung Pusdai tersebut penuh sesak oleh warga. Sementara penengah diskusi ialah Ketua MUI Jabar, Rahmat Syafei.

Kedua pembicara sama-sama diberi waktu untuk mengungkapkan pandangannya. Rahmat Baequni diberi panggung pertama untuk presentasi selama 30 menit. Namun, sang ustaz tampaknya belum sepenuhnya menyampaikan isi pemikirannya. Setelah diingatkan panitia, Rahmat pun terpaksa memberikan penjelasan yang belum masuk pokok persoalan.

Sedangkan Emil yang juga menampilkan presentasinya menutup dengan pertanyaan tentang masjid-masjid lain yang juga punya segitiga atau satu lingkaran termasuk mihrab Masjid Nabawi di Madinah. Dia meminta agar ulama mengambil kesepakatan yang sama terkait simbolisme.

Seusai berdiskusi, Ketua MUI Jabar, Rahmat Syafei menyebutkan, bahwa acara silaturahmi dan diskusi adalah cara untuk mendengarkan pendapat masing-masing pihak yang sedang berbeda pemikiran.

Namun, ia menegaskan bahwa walau berbeda pendapat, semua tetap harus rukun dalam persatuan dan kesatuan.

“Tadi kita mendengarkan bahwa silaturahmi pada kesempatan ini menerima apapun keyakninan masing-masing itu dihargai, silakan. Tapi yang disepakati adalah bagaiamana menjaga persaudaraan dan bagaimana kita saling menghargai perbedaan pendapat,” kata Rahmat Syafei.

Dia mengatakan, pertemuan ini sengaja dilaksanakan untuk memperkuat silaturahim atas perdebatan Masjid Al Safar. Namun perbedaan pandangan tidak perlu lagi dipersoalkan.

“Saling minta maaf, tidak ada yang merasa paling benar, walaupun mereka punya keyakinannya masing-masing,” ujarnya.


Ketua MUI: Diskusi Harus Dikedepankan

Ketua MUI Jabar, Rahmat Syafei mengingatkan pentingnya pertemuan untuk membahas hal yang diperdebatkan. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Menanggapi permintaan Ridwan Kamil terkait kesepakatan ulama atas simbolisme di masjid, Ketuai MUI Jabar, Rahmat Syafei mengaku akan mengkaji hal tersebut.

“Ya kalau perlu dan ada masalahnya nanti kami berkewajiban untuk melihat masalah yang tadi supaya kita merasa lebih jelas lagi. Tadi itu masalah pandangan, makanya kita dengar. Jangan sampai hasil karya yang orangnya sudah punya niat baik tapi ada kekhawatiran dan kita lihat sejauh mana dampaknya terhadap keimanan,” kata Rahmat.

Menurut Rahmat, fatwa untuk membangun masjid dengan aturan tanpa simbol tertentu bukan hal yang urgen. Ia melihat perbedaan pendapat harus diberi ruang untuk saling berdiskusi terlebih dulu.

“Ya (fatwa) tidak diperlukan. Kalau ada yang bertanya, ada masalah baru dikaji. MUI sadar kalau sebelumnya ada masalah, kedua belah pihak menjelaskan dulu,” ujarnya.

Ia pun tidak menampik jika perlu menghadirkan forum untuk menjembatani perbedaan pendatap ini ke depan.

“Pasti, diundang bukan hanya MUI saja,” ujarnya.

Simak video pilihan di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya