Liputan6.com, Bangkalan - Saat masih sehat dan encok belum akrab di pinggangnya, Arifin, yang saat ini berusia 65 tahun, merupakan petani yang rajin. Tiap hari, saban pagi, dia jalan kaki puluhan kilometer, dari rumahnya di Desa Sanggra Agung, Kecamatan Socah, menuju Desa Tellang, Kecamatan Kamal, untuk merawat padinya.
Berada di hamparan sawah yang luas, suara beduk surau tak sampai ke ladang. Maka, satu-satunya penanda untuk pulang adalah menanti kereta api lewat.
"Kalau sepur sudah lewat, tandanya sudah mau zuhur, jadi petani-petani segera pulang," katanya mengenang.
Baca Juga
Advertisement
Meski kerap melihat lalu lalang 'si ular besi', Arifin merasa dirinya tak beruntung. Hingga kereta itu 'lenyap', dia tak pernah menaikinya.
Namun seingat dia, kereta api Madura jalannya lamban. Keretanya juga tak panjang, hanya tiga atau empat gerbong sekali jalan.
Dua gerbong pertama untuk penumpang orang, gerbong ketiga khusus barang-barang dagangan dan keempat biasanya khusus ternak seperti sapi atau garam juga tembakau.
"Dulu pernah kereta anjlok di Desa Telang karena relnya dicuri. Dua hari dua malam, penumpangnya menginap di gerbong kereta api sambil menunggu rel selesai diperbaiki," kenang dia lagi, namun tak ingat lagi tahun kejadiannya.
Kereta api Madura kini sudah tinggal kenangan. Banyaknya rel yang dipreteli Jepang untuk bahan baku pembuatan senjata, seperti di Sumenep dan Bangkalan-Kawanyar, serta masuknya mobil dan pembuatan jalan raya pada awal 1980, membuat 'si ular besi' itu sepi peminat dan mulai berhenti beroperasi.
Akhirnya, stasiun pun bertahap ditutup. Pertama di Sumenep. Kemudian di Pamekasan, Sampang, dan terakhir stasiun di Bangkalan.
Depo Kereta Api Kamal
Desa Kamal, 10 kilometer dari Desa Tellang, dulunya adalah kantor pusat Jawatan Kerata Api Madura, namanya Madoera Stoomtram Masshjcaaphij (MSM). Letaknya sekitar 500 meter sebelum Pelabuhan Ujung-Kamal. Penyeberangan di pelabuhan ini pernah tercatat sebagai yang tersibuk se-Asia Tenggara. Namun lantas sepi, setelah Suramadu beroperasi pada 2006.
Kantor MSM masih terawat. Kini jadi kantor Pendataan Aset PT KAI. Berderet di belakang kantor itu, menuruni dinding bukit, terdapat kompleks perumahan karyawan juga gedung jembar bekas depo kereta api.
Terbagi menjadi empat ruangan, kondisi depo tak terawat dan memprihatinkan. Dua ruangan di bagian samping, dulunya adalah bengkel tempat mengganti onderdil kareta yang rusak. Sementara, dua ruangan di tengah, untuk menyimpan lokomotif.
Kini, depo itu disewakan. Gedung paling kanan disewa perusahaan air kemasan, yang tengah jadi lapangan futsal. Dan gedung terakhir, ditempati seorang tunawisma.
"Nah di sana, tempat memutar lokomotif," kata Muhammad, warga Kamal, menunjuk sebuah tanah lapang depan depo.
"Besi-besinya masih ada, tapi sudah ditimbun bedel oleh warga," dia menambahkan.
Dari depo itu, memandang ke utara, tampaklah atap kantor ASDP Kamal berwarna biru. Dulunya gedung itu adalah stasiun kereta api Kamal dan telah mengalami beberapa kali renovasi.
Dan di Dermaga I, di pangkal jembatan tempat kapal Feri bersandar, menyembul dua batang besi menjorok lima meter ke laut. Itu adalah hulu rel kereta api yang menjalari seluruh pulau Madura, yang pembangunannya selesai pada 1901.
Saat Kapal-kapal mulai sandar, rangkaian gerbong akan ke ujung rel itu, agar mudah memindahkan barang-barang milik pedagang yang pulang kulakan dari Surabaya ke gerbong kereta.
Advertisement
Rute Kereta Api Madura
Saat pertama dibangun pada 1898, jalur kereta di Bangkalan terbagi dua, lajur Batu Porron dan lajur Kota Bangkalan. Setelah pendudukan Jepang, jalur ke Batu Porron dihapus karena kawasan itu dijadikan gudang penyimpanan senjata dan masih aktif hingga kini.
Sebagai gantinya, Jepang membangun jalur baru di Tellang. Tellang kini terkenal karena Universitas Trunojoyo Madura, satu-satunya universitas negeri di Madura, dibangun di desa itu. Ada pun lokasi rel dekat SMAN 1 Kamal. Lajur Tellang dan Lajur Bangkalan, nantinya bertemu di Stasiun Kawanyar.
Seorang pegawai PT KAI memberi petunjuk. Katanya, dari pintu masuk kampus UTM, menghadaplah ke utara. Di tengah hamparan sawah, akan tampak deretan pohon berbaris rapi, di situlah rel kereta api. Dulu, di sepanjang sisi rel pasti ditanami pohon agar teduh selama perjalanan.
Jalur ini berakhir di Stasiun kereta api Labang, yang letaknya jauh dari permukiman. Kini, tak jauh dari situ telah berdiri SMK Labang.
Sepasukan polisi pernah menggerebek gedung bekas stasiun itu dan menemukan tumpukan sepeda motor tak bertuan, diduga hasil pencurian.
Menengok Stasiun Buddan
Dari Labang, pemberhentian berikutnya di Stasiun Buddan, Kecamatan Sukolilo. Stasiun ini terlihat paling baik kondisinya di banding stasiun-stasiun lain. Dindingnya masih bau cat dan penuh grafiti dengan tema kemerdekaan.
Juga ada kehidupan di stasiun itu. Sepasang pasutri muda menempati bekas ruang karcis dan peralatan dapurnya di letakkan di ruang tunggu penumpang. Begitu melihat orang memotret stasiun itu, mereka langsung ngibrit.
Stasiun ini terletak di puncak bukit, rel-relnya masih menyembul di tanah. Menurut cerita warga, konon saat kereta menanjak, penumpang banyak turun dari gerbong karena lebih cepat langkah kaki mereka.
Sembari menunggu kereta mencapai puncak, penumpang masih sempat memanjat pohon, mengambil buah yang mereka temukan untuk dimakan.
Tak jauh dari stasiun itu, masih ada sisa jembatan rel melintasi sungai. Di ujung jembatan telah penuh sesak oleh pemukiman warga. Bahkan, wesel atau halte kereta telah jadi garasi mobil.
Setelah melewati dataran tinggi ini, rel menyusuri pesisir pantai hingga Stasiun Kwanyar. Kondisi stasiun ini juga masih terawat dan kini dijadikan gudang.
Dari Kawanyar, jalur kereta melintas pesisir Kecamatan Modung, kemudian Blega dan masuk ke Kabupaten Sampang. Salah satu halte di Sampang terletak di Kecamatan Torjun.
Stasiun ini khusus untuk mengangkut garam dari Kecamatan Pangarengan, sentra penambakan garam terbesar di Madura.
Advertisement
Stasiun Pamekasan Kini Gemerlap
Selain di Kamal Bangkalan, stasiun kereta api Pamekasan juga masuk kategori stasiun besar. Karena dilengkapi tempat memutar dan mengganti kepala lokomotif. Kereta dari Sumenep yang hendak ke Bangkalan atau sebaliknya, akan berganti lokomotif di stasiun yang terletak di Kelurahan Patemon ini.
Karena kecepatan kereta uap sekitar 3 kilometer per jam. Jarak Pamekasan-Bangkalan dan sebaliknya harus di tempuh sehari semalam. Penumpang sampai harus bermalam di stasiun untuk menunggu kedatangan kereta dari Bangkalan.
Namun, stasiun Pamekasan kini lenyap. Berubah menjadi Pujasera yang gemerlap pada malam hari. Tapi bekas kantornya dan rumah pegawai masih ada, sebagian disewa warga. Dan tempat pemutar lokomotifnya telah menjadi warung pecel lele.
Di Sumenep lebih parah lagi. Susah menjumpai sisa rel kereta api. Namun, di seberang masjid Jamik, di dekat Taman Bunga, ada aspal menggunduk membentuk garis lurus memanjang. Itulah bekas rel kereta api.
Jalur ini melintas tepat di belakang Keraton Sumenep yang kini menjadi rumah dinas bupati. Bila terus ke timur, rel kereta sampai ke Kecamatan Kalianget. Kecamatan ini dijuluki 'kota tua' karena banyak gedung-gedung peninggalan Belanda. Sebagian dipakai kantor PT Garam.
Menurut sejarawan Madura, Edy Setiawan, jalur kereta api di Sumenep hilang sejak pendudukan Jepang. Rel dari baja dibongkar Jepang untuk dijadikan bahan membuat senjata. "Dulu kereta melintas di depan rumah saya ini," kata dia beberapa waktu silam.
Melahirkan Kelas Pekerja
Ada fakta penting lain di balik masuknya kereta api di Madura, yaitu munculnya kelas pekerja baru, yang cara penggajiannya tidak sama dengan pekerja di birokrasi dan pengangkatannya tidak memandang status kepriyayian.
Mantri misalnya status pekerjaannya berlaku seumur hidup dan turun temurun. Bila meninggal, posisinya digantikan anaknya, bila tak punya anak laki-laki, maka menantunya menjadi mantri.
Sebagian mantri desa misalnya tidak mendapatkan gaji rutin. Kebutuhan ekonomi keluarga dipenuhi hasil bumi dari jatah tanah percaton atau apanege.
Sebelum ada jawatan kereta api, kalangan pekerja tradisional pun hanya dikelompok menjadi dua yaitu pekerja kasar dan pekerja harian. Pekerja buruh kasar umumnya bergelut di dunia garam, yang upahnya berdasarkan bagi hasil dari hasil jumlah garam yang dipanen.
Sedangkan buruh harian, umumnya mereka yang bekerja di perkebunan tebu. Mereka diupah harian antara 30 hingga 35 sen per hari.
Sedangkan para pekerja di jawatan kereta api adalah pekerja pertama di Madura yang digaji secara tetap, dengan sistem kontrak tahunan dan diberi fasilitas perumahan oleh perusahaan. Sederhananya, mereka adalah kaum buruh swasta pertama di Madura.
Pada 1901 tercatat, total jumlah pekerja tetap MSM sebanyak 268 orang, 40 orang di antaranya orang Belanda dan sisanya 85 persen pekerja urban pribumi.
"Personel pribumi di MSM ditempatkan pada posisi keadministrasian dan pekerjaan kasar. Tapi dengan pekerjaan-pekerjaan dan gaji tetap, mereka suatu gejala baru di masyarakat," tulis Kuntowijoyo dalam buku Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura.
Setelah menziarahi sejarah kereta api di Madura, sepertinya rencana revitalisasi kereta api di Madura bakal sulit terealisasi. Pasalnya, terlalu banyak persoalan yang harus diatasi, serta kebutuhan dana yang besar. Belum lagi, melihat kondisi Suramadu yang tidak didesain bisa dilewati sepur.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement