China Nilai AS Telah Campur Tangan dengan Jual Drone ke Negara ASEAN

China menilai usaha AS dalam menjual drone ke sebagian negara anggota ASEAN sebagai tindak campur tangan.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Jun 2019, 09:05 WIB
Pesawat tanpa awak atau drone militer Amerika Serikat, MQ-1 Predator (U.S. Air Force photo/Lt Col Leslie Pratt)

Liputan6.com, Beijing - Para pakar mengatakan China akan memperlakukan penjualan pesawat nirawak senilai US$ 47,9 miliar yang disetujui untuk Asia Tenggara sebagai upaya lain untuk mengesampingkan klaim negara itu atas kawasan Laut China Selatan yang disengketakan.

Beijing telah menyerang balik secara verbal maupun ekonomis, sebagaimana dikutip dari VOA Indonesia pada Selasa (11/6/2019).

Kementerian Pertahanan Amerika mengatakan pada 31 Mei lalu bahwa kontraktor Amerika Insitu akan menjual 34 pesawat tanpa awak ScanEagle ke Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Vietnam.

Keempat negara itu telah berhadapan dengan kapal-kapal angkatan laut dan nelayan milik China selama dekade terakhir dalam persaingan untuk menguasai laut yang kaya sumber daya itu.

Amerika Serikat tidak memiliki klaim atas laut dengan jalur laut seluas 3,5 juta kilometer persegi antara Hong Kong dan Pulau Kalimantan itu, tetapi Amerika menginginkan agar kawasan Laut China Selatan tetap terbuka untuk jalur pelayaran internasional.

China mengklaim sekitar 90 persen dari laut itu, dan telah mengembangkan pulau-pulau kecil sebagai pangkalan militer. Negara-negara di Asia Tenggara tertinggal dibandingkan dengan China dalam kekuatan militer.

Kontraktor Amerika itu mengantongi persetujuan untuk menjual 12 drone ke Malaysia, delapan ke Indonesia, delapan ke Filipina dan enam ke Vietnam, menurut situs web departemen pertahanan Amerika.

Pengiriman pesawat nirawak itu dijadwalkan pada tahun 2022 yang mencakup suku cadang, peralatan pendukung, dan pelatihan untuk perangkat keras yang akan memantau aktivitas maritim China dari udara, kata situs web itu.

Adapun Indonesia tidak memiliki klaim atas wilayah Laut China Selatan yang disengketakan itu, tetapi secara berkala menghadapi kapal-kapal Tiongkok di dekat kepulauan Natuna yang terpencil.


Indonesia Beli 8 Drone

Ilustrasi drone AS (Massoud Hossaini/AP)

Indonesia, dilaporkan oleh Reuters dikutip dari The Straits Times, membeli delapan pesawat tak berawak yang dimaksud. Sementara Malaysia membeli 12 set drone, dengan Negeri Jiran mengucurkan dana sekitar US$ 19 juta (sekitar Rp 270 triliun) untuk itu.

Adapun Filipina membeli depalan unit, dengan Vietnam membeli enam pesawat tak berawak.

Pada tahun 2018, pemerintahan Presiden AS Donald Trump meluncurkan perombakan kebijakan ekspor senjata AS yang telah lama ditunggu-tunggu. Hal itu bertujuan memperluas penjualan ke para sekutunya, dengan mengatakan bahwa langkah yang dimaksud akan meningkatkan industri pertahanan Amerika dan menciptakan lapangan kerja di dalam negeri.

Inisiatif itu memudahkan aturan untuk mengekspor beberapa jenis drone buatan AS ke puluhan negara mitra.

Tidak ada versi drone bersenjata dari ScanEagle, tetapi Insitu, divisi Boeing yang membuat drone, juga membuat RQ-21A Blackjack yang merupakan drone bersenjata opsional yang digunakan oleh Angkatan Laut AS dan Korps Marinir.


AS: Presiden China Ingkar Janji soal Laut Tiongkok Selatan

Presiden China Xi Jinping menyantap pancake buatannya bersama Presiden Rusia Vladimir Putin di sela acara Eastern Economic Forum di Vladivostok, Rusia, Selasa (11/9). (Sergei Bobylev/TASS News Agency Pool Photo via AP)

Sementara itu, AS beberapa waktu lalu mengatakan Presiden China Xi Jinping telah "mengingkari janji" untuk tidak melakukan militerisasi di Laut China Selatan yang tengah disengketakan. 

Jenderal Joseph Dunford, ketua Kepala Staf Gabungan Pentagon, mengatakan ia tidak menyerukan aksi militer, tetapi menekankan bahwa ada kebutuhan untuk menegakkan hukum internasional, demikian sebagaimana dikutip dari Channel News Asia.

"Musim gugur 2016, Presiden China Xi Jinping berjanji kepada Presiden Obama bahwa mereka tidak akan melakukan militerisasi di pulau-pulau itu. Namun yang kita lihat sekarang adalah landasan pacu 10.000 kaki, fasilitas penyimpanan amunisi, peningkatan rutin kemampuan pertahanan rudal, kemampuan penerbangan, dan sebagainya," katanya dalam sebuah pembicaraan tentang keamanan dan pertahanan AS di lembaga Brooking.

"Jelas sekali mereka (China) telah meninggalkan komitmen itu," ungkap sang jenderal berusaha meyakinkan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya