Rasulullah Beri Peringatan soal Orang-Orang yang Bangkrut Saat Lebaran

Makna Lebaran dan halalbihalal kini menjadi sekadar seremoni belaka. Selain itu, ada pula orang-orang yang senang beribadah, tapi justru bangkrut. Siapa mereka?

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Jun 2019, 00:20 WIB
Cara Rasulullah Sambut Lailatul Qadar / Sumber: iStcokphoto

Liputan6.com, Jakarta Lebaran adalah saat untuk  bersukacita. Namun, Nabi Muhammad SAW pernah membuat peringatan tentang orang-orang yang bangkrut saat Lebaran. Suatu ketika Nabi Muhammad SAW bertanya kepada sahabat-shahabatnya: “Tahukah kalian siapa itu yang disebut orang bangkrut?” Mereka pun menjawab, “Kalau di kita, orang bangkrut ialah orang yang sudah tak lagi punya uang dan barang.”

Dikutip dari nu.or.id, ternyata Nabi Muhammad SAW mempunyai maksud lain. Terbukti Beliau berkata: “Sesungguhnya orang bangkrut di antara umatku ialah yang datang di hari kiamat kelak dengan membawa pahala-pahala salat, puasa, dan zakat; namun dalam pada itu sebelumnya pernah mencaci ini, menuduh itu, memakan harta ini, mengalirkan darah itu, dan memukul ini. Maka dari pahala-pahala kebaikannya, akan diambil dan diberikan kepada si ini dan si itu, kepada orang-orang yang yang telah ia lalimi. Jika pahala-pahala kebaikannya habis sebelum semua yang menjadi tanggungannya terhadap orang-orang dipenuhi, maka akan diambil dari keburukan-keburukan orang-orang itu dan ditimpakan kepadanya; kemudian dia pun dilemparkan ke neraka.” (Dari hadis shahih riwayat imam Muslim bersumber dari shahabat Abu Hurairah). Na’udzu billah min dzalik. 

Dari pernyataan Nabi Muhammad SAW tersebut, kita menjadi tahu betapa pentingnya menjaga hubungan baik dengan sesama. Sering sekali kita menyaksikan orang yang mengaku umatnya Nabi Muhammad SAW seperti sangat mengandalkan amal ibadahnya bagi keselamatan dan kebahagiaannya di akhirat kelak. Orang ini begitu yakin akan selamat dari neraka dan akan masuk ke dalam surga karena dia merasa sudah melaksanakan sembahyang, puasa, zakat, dan haji. Bahkan, sering kita melihat orang yang seperti itu kemudian memandang sebelah mata kepada orang lain yang dinilainya tidak setekun dia dalam beribadah.

 


Mengapa bangkrut?

KH Mustofa Bisri atau Gus Mus membacakan puisi dalam acara doa bersama untuk Palestina di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (24/8). Acara ini merupakan bentuk kemanusiaan, solidaritas dan rasa empati untuk Palestina (Liputan6.com/Angga Yuniar)

K.H. Ahmad Mustofa Bisri mengatakan, sedemikian yakinnya orang yang mengandalkan amal ibadah ritualnya itu, sehingga acap kali tidak menghiraukan orang lain dan tidak merasa perlu menjaga hubungan baik dengan sesama. Maka kita menyaksikan setiap hari seorang muslim dengan ringan melecehkan sesama saudaranya.

Maka kita menyaksikan seorang haji—bahkan hampir setiap tahun naik haji—yang memperlakukan buruh-buruhnya secara tidak manusiawi. Menyaksikan orang yang rajin puasa tapi sekaligus rajin memakan harta rakyat. Kita menyaksikan orang yang rajin sembahyang sekaligus rajin merampas hak orang lain. Kita menyaksikan ustaz yang rajin mengkhotbahi orang dan sekaligus memprovokasi untuk melakukan tindakan kekerasan terhadap sesama. Menyaksikan kelompok orang beragama tanpa merasa bersalah melakukan tindakan sewenang-wenang kepada hamba-hamba Allah karena merasa lebih benar dan lebih dekat kepadaNya. Dan seterusnya dan sebagainya.

Melihat sabda Nabi Muhammad SAW di atas, nyatalah bahwa meskipun orang pulang ke alam baka dengan membawa bekal banyak berupa ibadah-ibadah ritual, bisa bangkrut bila tidak menjaga hubungannya dengan sesama. Ketika di dunia banyak menyakiti dan merampas hak orang. 

Maka sungguh bijaksana leluhur kita yang mentradisikan adanya halalbihalal setelah ritual puasa Ramadan. Dengan puasa dan salat malam di bulan Ramadan, diharapkan dosa-dosa yang langsung terhadap Allah, telah diampuni sesuai sabda Rasulullah SAW, “Man shâma Ramadhâna îmânan waihtisâban ghufira lahu mâ taqaddama min dzanbihi.” Barangsiapa puasa Ramadan karena iman dan mencari pahala Allah, maka akan diampuni dosanya yang sudah-sudah."

Setelah itu untuk menyempurnakan kefitrian kita sebagai manusia, ditradisikanlah saling bersilaturahmi dengan tujuan utama untuk saling memaafkan dan saling menghalalkan. Halal-bi-halal."

Jangan sampai kesalahan-kesalahan terhadap sesama manusia kelak menjadi ganjalan dan menyita modal amal baik kita. Dengan demikian kita benar-benar Lebaran, lepas dari ganjalan-ganjalan dan terbebaskan dari dosa-dosa baik yang langsung terhadap Tuhan maupun yang terhadap sesama hamba.

Sayangnya, di zaman modern ini, tradisi mulia Lebaran dan halalbihalal tersebut sudah semakin terkikis maknanya. Upacara ‘mudik’ yang terus berlangsung pun, umumnya lebih merupakan ritual kangen-kangenan antar kerabat sendiri. Tradisi ‘open house’ juga lebih merupakan kunjungan silaturahmi seremonial bawahan kepada atasan. Tidak ada atau sudah jarang ada silaturahmi seperti dulu yang secara khusus berniat melebur kesalahan dan mencari kehalalan tanggungan yang telanjur diperbuat terhadap sesama.

Oleh KH Ahmad Mustofa Bisri. Tulisan ini pernah dipubikasikan melalui akun Facebook pribadinya pada 1 September 2011 dengan judul “Lebaran”

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya